Permainan Hantu Happy Salma
Ternyata hantu masih tetap menjadi ”juru bicara” yang strategis untuk melampaui batas-batas dunia konkret kita sehari-hari.
Apa pun bantahannya, pentas teater berjudul Ariyah dari Jembatan Ancol oleh Titimangsa tetap menjadi kepanjangan tangan dari geliat industri hiburan yang mereduksi dunia perhantuan. Konstruksi terhadap hantu disederhanakan sebatas kematian yang tak wajar. Dalam terminologi kebudayaan Bali, kematian tak wajar itu disebut dengan salah pati. Tradisi memberi jawaban atas kematian itu dengan ritual. Arwah orang-orang yang salah pati harus diperlakukan dengan upacara khusus agar perjalanannya ke akhirat tidak tersandung.
Sebelum masuk ke Teater Jakarta di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Rabu (26/7/2023), saya membawa bekal cerita-cerita hantu selepas peristiwa pembantaian 1965 dari kampung halaman. Sewaktu kecil, saya sering kali mendengarkan tetua desa bernama Pekak Mokoh bercerita soal wong papa. Ini sejenis hantu yang menebar bau bangkai dan konon memiliki wajah pipih bundar seperti tampah. Pada awal tahun 1970-an, kata Pekak Mokoh, wong papa sudah muncul selepas petang hari. Jalan-jalan sepi dan gelap. Penerangan listrik hanya satu titik di perempatan jalan. Rumah-rumah warga dikunci rapat-rapat. Para penghuninya memilih mengurung diri di dalam kamar, yang hanya diterangi damar, lampu minyak tanah yang berjelaga.
Baca juga: Si Manis dan Hantu-hantu Modern
Kata Pekak, tanda-tanda kemunculan wong papa selalu didahului bau bangkai yang menyengat dan lolongan anjing di mana-mana. Kemudian biasanya terdengar suara: ”Aduh baet, aduuhhhh baetttt….” Kata Pekak Mokoh menirukan suara wong papa itu.
Dulu saya tak pernah bertanya mengapa hantu selepas Gestok (Gerakan Satu Oktober) itu disebut wong papa dan mengapa ia selalu mengulang-ulang frasa ”aduh baet” itu. Saat menulisnya menjadi sebuah cerpen tahun 1990-an, saya melakukan riset kecil-kecilan secara literer dan bertanya kepada beberapa orang tentang frasa ”wong papa”.
Baca juga: Hantu ”Ibu” dalam Film Horor Indonesia
Guru Bahasa Indonesia saya di SMP, Pak Ketut Suyadnya, menjawab bahwa wong papa itu artinya manusia yang kehidupannya kelewat menderita. ”Menderita jiwa raga,” katanya. Bukankah para korban pembantaian 1965 orang-orang yang salah pati? Mereka mati secara tidak wajar karena dibunuh secara keji seperti ditebas dengan kelewang atau ditenggelamkan ke dasar laut. Bahkan, salah satu kesaksian dari Bapak menyebutkan, di sebuah toko berloteng yang dikenal dengan nama Toko Wong, orang-orang ditembaki tentara dari atas loteng.
”Darah menggenang sampai sebatas pergelangan kaki,” kata Bapak. Asal tahu, waktu itu Bapak diberi semacam ”hukuman” menjadi pengangkut mayat-mayat yang bertumpuk-tumpuk di lantai dasar Toko Wong. Sewaktu pulang kampung ke Negara awal Juli 2023, Toko Wong tetap tak berpenghuni. Penduduk kota menyebutnya sebagai toko yang banyak hantunya.
Sementara frasa aduh baet tak lain bahasa Bali yang artinya aduh berat. Wong papa, tambah Pekak Mokoh, selalu meraung-raung di jalanan sebagai hantu gentayangan. Para entitas ini konon merasa bahwa perjalanan hidupnya terasa berat. Persoalan politik di Jakarta berdampak keji terhadap kaum petani di desa-desa. Sebuah imbas politik yang tak masuk logika.
Baca juga: Runtuhnya Harga Diri Hantu
Uniknya isu tentang wong papa selalu melanda desa-desa yang kebetulan warganya mayoritas bersuku Bali. Kau tahu, menurut cerita Pekak Mokoh juga, pasca-pembantaian 1965, orang-orang Bali selalu diidentikkan dengan PKI. Aku sendiri sebagai generasi yang lahir tahun 1965 dan tumbuh menjadi remaja pada tahun 1970-an masih sempat mendengar tuduhan semacam itu. Sebuah stigma politik yang keji! Ada relasi inter-teks antara wong papa, Bali, dan PKI. Bahwa orang Bali yang dibantai karena dituduh PKI dan mayatnya dibiarkan tergeletak di mana-mana, arwahnya gentayangan sebagai wong papa; jiwa yang merana semerana-merananya jiwa seorang yang teraniaya.
Ada relasi inter-teks antara wong papa, Bali, dan PKI.
Di kalangan para pendatang yang menetap di Negara, muncul pula isu hantu bernama jerangkong. Sebagian dari para tokohnya pernah bertindak sebagai algojo, yang menebas leher orang-orang yang dituduh PKI tadi. Suatu hari Pak Zaini, seorang algojo, bercerita bahwa jerangkong bentuknya mirip kambing. Telinganya lebar dengan rahang moncong ke depan serta berjalan dengan siku sehingga mengeluarkan suara ”toklak-toklak”, seperti langkah seekor kuda.
”Sukanya nyedot telur ayam di sarangnya,” kata Pak Zaini.
Kadang-kadang, tambah Pak Zaini, jerangkong suka menghabiskan nasi di dapur warga. Hantu ini berasal dari jenis hantu jail, yang suka ngerjain manusia. ”Tidak menakutkan, malah lucu…,” tutur Pak Zaini.
Pementasan lakon Ariyah dari Jembatan Ancol, 27-28 Juli 2023 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Menurut peneliti hantu, Risa Permanadeli, keberadaan hantu bersifat evolutif seiring dengan perubahan sosio-kultural dan religi sebuah masyarakat. Pandangan ini benar pula adanya. Wong papa dan jerangkong muncul sebagai isu pasca tragedi 1965 sampai awal tahun 1990-an. Seiring perubahan wajah kota, di mana lampu-lampu mulai benderang, kohesi sosial yang makin terjalin, isu wong papa dan jerangkong tiba-tiba menghilang. Sekarang tak satu pun warga di desaku yang mempercakapkan tentang kedua jenis hantu itu.
Baca juga: Risa Permanadeli, Riset di Jalur Hantu
Kenyataan itu juga membuktikan hal lain. Banyak peneliti hantu berteori bahwa cerita tentang hantu biasanya muncul pada masyarakat yang tertekan secara sosial dan ekonomi. Di sebuah desa miskin di Thailand beredar kisah hantu perempuan yang mengincar para lelaki. Secara sosial dalam kemiskinan yang mencekik, para perempuan justru menjadi korban yang paling menderita.
Bukankah kisah hantu Ariyah juga muncul dalam situasi serupa? Konon, kisah berlatar abad ke-19 ini bermula dari kemiskinan yang menjerat keluarga Ariyah. Ia dan ibunya, Mak Sabilah, tak mampu membayar utang dari juragan Tambas. Juragan Tambas dan para centengnya secara sengaja menjerat Ariyah dengan bunga utang yang kian mencekik. Tujuannya tak lain, memaksa Ariyah menjadi istri kedua Juragan Tambas. Namun, Ariyah sudah punya pacar bernama Karim. Singkat cerita, Karim dibunuh para centeng dan Ariyah bunuh diri di jembatan Ancol.
Baca: Transformasi Hantu dalam Perubahan Sosial dan Perlawanan Kultural
Cerita melodramatik hampir selalu meletakkan perempuan pada posisi terjepit. Kau bisa deretkan lagi kisah-kisah semacam ini, termasuk kisah klasik China seperti Sampek Engthay dan Macbeth dari Yunani. Bahwa pada masyarakat yang secara ekonomi termarjinalkan, tertindas secara politik, dan terdiskriminasi secara sosial, sering kali beredar kisah-kisah hantu yang ”menakutkan”. Tidak jadi soal apakah hantu itu benar-benar ada atau tidak, tetapi kisah-kisahnya terus-menerus direproduksi sehingga berkembang menjadi mitos-mitos lokal.
Sesunguhnya pandangan tentang evolusi hantu itu ”diselamatkan” oleh industri hiburan, terutama film. Lewat film kita masih bisa ”berkenalan” dengan jenis-jenis hantu seperti kuntilanak, tuyul, sundel bolong, atau jenglot. Di situ hantu berjuluk ”Si Manis” yang berasal dari jembatan Ancol, entitas dari perempuan bernama asli Ariyah menemukan ruang hidupnya. Meski jembatan Ancol kini sudah terang-benderang, mitos-mitos seputar dirinya masih terus dikisahkan. Bahkan banyak pengguna jalan masih perlu membunyikan klakson kalau melintas di Jembatan Ancol, terutama saat malam hari.
Baca juga: Ditakut-takuti, tetapi Bahagia
Pemanggungan kembali kisah Ariyah dengan label baru Ariyah dari Jembatan Ancol dan bukan Si Manis dari Jembatan Ancol, oleh Titimangsa dengan produser Happy Salma, tak lain dari reproduksi mitos lokal, yang kini jadi urban. Satu hal yang bisa dipastikan ”urbanisasi” atau sebut saja ”populerisasi” kisah Ariyah yang diproduksi oleh masyarakat tertindas di zaman Belanda lewat film dan (kini) panggung teater, menyebabkan entitas ini terus hadir di sekitar kita. Dan sepanjang perilaku sosial seperti membunyikan klakson kendaraan setiap lewat di jembatan Ancol, serta para penggelut dunia hiburan masih menganggap itu sebagai ”pasar” yang besar, maka entitas Ariyah akan terus hidup.
Nasib Ariyah jauh lebih ”baik” ketimbang hantu-hantu agraris di desa saya seperti wong papa dan jerangkong. Apalagi setelah ”mengenal” produser kawakan seperti Happy Salma, Ariyah diceritakan kembali dari mulut ke mulut dengan sensasi yang berbeda. ”Anak-anak remaja pada senang tuh dengan pentas ini,” kata Happy Salma. Itu artinya, reproduksi legenda urban ini telah berhasil menyeberangi jarak antargenerasi. Sebab, bukan tidak mungkin para remaja hari ini, memiliki gosip berbeda untuk diceritakan setiap waktu.
Baca juga: Larutlah Para Hantu di Air Mata
Hal yang mungkin tak terduga, tahun ini Happy tak cuma memanggungkan Ariyah dengan sederet artis ternama, ia pun ”turun gunung” untuk menjadi bintang utama dalam film Primbon. Film berbasis mitos Jawa dari sutradara Rudi Sudjarwo itu mulai diputar di bioskop 10 Agustus 2023. Primbon bergerak seputar kepercayaan masyarakat Jawa terhadap ramalan. Sebuah keluarga bangsawan Jawa diganggu hantu perempuan, lagi-lagi perempuan, karena melupakan kepercayaan mereka terhadap primbon. Dan seterusnya….
Sebuah keluarga bangsawan Jawa diganggu hantu perempuan, lagi-lagi perempuan.
Baiklah, apa pun isi ceritanya, Ariyah dari Jembatan Ancol dan Primbon telah menghadirkan permainan Happy Salma di dunia perhantuan. Secara sadar atau tidak, dunia perhantuan telah menariknya untuk melakukan hal-hal yang selama ini telah hidup di dasar jiwa masyarakat lokal. Bahkan sebelum kedua lakon di atas, Happy bersama Nicholas Saputra telah menggelar Sudamala: dari Epilog Calonarang di Jakarta dan kemudian Solo.
Kita tahu Calonarang adalah kisah berbasis mitos rakyat Jawa dan Bali yang sangat disakralkan. Sebagai kisah yang berangkat dari kepercayaan lokal, kisah ini juga beririsan dengan kisah-kisah sihir hitam dan dunia gaib. Meski bukan hantu, Calonarang seorang perempuan janda yang menguasai ilmu pengeleakan, sebuah ilmu sihir yang mengubah diri menjadi entitas yang menyeramkan. Dalam terminologi antropologis, makhluk semacam ini juga digolongkan sebagai hantu siluman.
Terhadap kecenderungan semacam ini, Happy mengakui bahwa Ariyah berangkat dari sebuah sandiwara sastra dan kemudian workshop teater. ”Bukan sesuatu yang dirancang untuk pertunjukan,” kata Happy. Itulah sebabnya, kata Happy, bahwa lakon Ariyah jauh berbeda dari konsep-konsep pemanggungan Titimangsa selama ini.
Para jurnalis dan pengamat teater boleh memberi cap pentas Ariyah sebagai kegenitan yang menyebar seperti virus dalam dunia film kita hari ini. Horor dan perhantuan dianggap sebagai ”pembodohan”, bahkan menjual kebohongan secara terang-terangan di hadapan publik. Tudingan ini tentu saja sangat sarkastik dan keji. Tidak bertumpu pada situasi nyata dan dinamika yang dihadapi masyarakat.
Baca juga: Utak-atik Mencari Sisi Seram Setan
Panggung dan lebih khusus film tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia hampir selalu berupa respons terhadap dinamika mutakhir dari kondisi sebuah masyarakat. Film seperti Cinema Paradiso (1988) dari Giuseppe Tornatore berkisah tentang kenyataan di sebuah desa di Sisilia, Italia, tahun 1940-an. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat desa justru didorong oleh kehadiran gedung bioskop bernama Cinema Paradiso. Terjadi pergulatan pendapat seputar soal-soal adegan seks antara pengelola bioskop dengan para pendeta.
Dalam kisahnya, para pendeta bahkan menjadi lembaga sensor, yang berhak memotong adegan sebuah film berdasarkan asas-asas kesusilaan. Ada dialektika tentang kepantasan adegan seks diekspose dalam sebuah film. Ada diskusi yang mendalam tentang perubahan cara pandang masyarakat terhadap masuknya kebudayaan baru lewat film.
Baca juga: Hantu Penguasa Sinema Nusantara
Kisah tentang hantu yang dimainkan oleh Happy Salma di panggung pertunjukan teater kita, boleh jadi mewakili jeritan para penyelenggara seni pertunjukan saat ini. Pengelolaan gedung dengan sewa yang ”ugal-ugalan”, lembaga perizinan yang berlapis-lapis dari kepolisian, serta sistem perpajakan yang tak memihak, membuat banyak kelompok teater kelimpungan. Budayawan sekelas Butet Kartaredjasa sudah mengkritik soal kewenangan lembaga kepolisian yang mengeluarkan izin pementasan.
”Masak polisi kasih izin pementasan. Kalau izin keramaian pun itu tidak pada tempatnya karena pentas teater hampir selalu di gedung pertunjukan yang sudah berizin,” kata Butet, sembari menambahkan mekanisme berlapis-lapis semacam ini menjadi semacam ”penindasan”.
Memang dibanding situasi yang dihadapi N Riantiarno bersama Teater Koma tahun 1990-an saat rezim Orde Baru berkuasa, situasi kini jauh lebih leluasa. Artinya, lembaga seperti tentara lewat jargon ”kamtibmas” tidak lagi ikut campur menjadi lembaga sensor terhadap materi seni pertunjukan. Materi yang digarap para kelompok teater di Tanah Air bisa membentang lebih luas. Tetapi aturan soal perizinan, sewa gedung, dan perpajakan menjadi hantu yang terus menebar ketakutan. Banyak kelompok teater yang takut membuat produksi lantaran sewa gedung pertunjukan yang tak terjangkau dengan pengelolaan yang makin kacau.
Baca juga: Orde ”Beja”
Pergelaran Ariyah dari Jembatan Ancol, hadir sebagai eufemisme terhadap perlakuan ”kasar” dari satu sistem penyelenggaraan pertunjukan yang tak berpihak kepada masyarakat. Pentas ini juga sudah membuktikan dalam situasi sulit, Titimangsa berhasil menjual hampir seluruh kursi yang tersedia di Teater Jakarta selama pertunjukan, 27-28 Juli 2023. Ternyata hantu masih tetap menjadi ”juru bicara” yang strategis untuk melampaui batas-batas dunia konkret kita sehari-hari.