Orde ”Beja”
Ada yang bilang Reformasi 1998 gagal total atau jalan di tempat. Barangkali ini periode transisi menuju negeri dengan tatanan demokrasi yang diidealkan. Terasa lebih klop jika zaman ini disebut Orde Beja. Zaman mujur.

Ilustrasi
Setiap Mei tiba dan orang bertanya apa hasil reformasi, maka aneka jawaban berseliweran, dari yang normatif, pesimistis, tumpang tindih, jumpalitan akrobatik, sampai jawaban penuh ironi dan sarat kejenakaan.
Ada yang bilang Reformasi 1998 nasibnya seperti nama jenderal purnawirawan—Gatot—alias gagal total. Yang lain menyebut sekadar jalan di tempat. Cuma ganti kemasan.
Isinya berganti pemain dengan watak sama. Sama-sama bobrok. Sama-sama serakah. Tetap dikuasai jejaring oligarki sehingga siapa pun yang ingin memanen rezeki dan kekayaan negeri ini harus mengibarkan panji KKN: korupsi, kolusi, nepotisme. Orang kerap memarodikan Indonesia ibarat keledai yang hobinya terperosok di lubang yang sama.
Memainkan terminologi orde-ordean—menyebut Orde Lama untuk era Bung Karno dan Orde Baru untuk zaman Pak Harto—kita justru bingung mau menamai orde apa periode pasca-Reformasi 1998. Ada pihak ingin memuliakan masyarakat sipil dan menamai Orde Sipil karena kekuatan kepemimpinan nasional—lima presiden setelah 1998, empat tak beraroma tentara—berhasil menyingkirkan dominasi militer.
Saatnya kekuatan masyarakat sipil yang berkuasa, dan militer pulang ke barak. Kembali bertugas menjaga kedaulatan negara saja. Tak perlu lagi ”kurang kerjaan” ber-”Dwifungsi” dengan nyambi sebagai birokrat, politisi, bupati, wali kota, gubernur, pedagang, makelar, atau preman resmi. Orde Sipil sebenarnya predikat yang pas.
Masalahnya, julukan ini rentan jadi sasaran tembak lawan politik, dipelesetkan jadi Orde Sipilis. Mungkin secara sinis orang bisa juga menamai Orde Korup mengingat tabiat korupsi di berbagai sektor semakin menggila.
Jika dulu korupsinya sentralistis, seperti dikendalikan godfather, biangnya koruptor yang bertakhta di pusat kekuasaan, setelah reformasi yang membuahkan otonomi daerah, korupsinya justru merata sampai wilayah terkecil Indonesia.
Korupsi seakan-akan bisa terjadi ”secara adil dan merata”. Jika dulu korupsinya sentralistis, seperti dikendalikan godfather, biangnya koruptor yang bertakhta di pusat kekuasaan, setelah reformasi yang membuahkan otonomi daerah, korupsinya justru merata sampai wilayah terkecil Indonesia. Dari birokrat, polisi, politisi, kepala daerah, petugas pajak dan cukai, para penegak hukum, bahkan menteri. Supaya tak main gebyah-uyah, asal menggeneralisasi, sebut saja para koruptor ini ”oknum”. Oknum, tapi jumlahnya lebih dari satu.
Silakan, atas nama kemerdekaan berekspresi, kita boleh menjejer aneka sebutan di zaman baru ini: Orde Merdeka, Orde Oligarki, Orde Plonga-Plongo, Orde Radikal, Orde RaTu alias Orde Rakyat Bersatu, Orde Dagelan, dan seterusnya.
Memelekkan milenial
Merenungi seperempat abad usia Reformasi 1998 dan memonitor celoteh-celoteh di media sosial, apa boleh buat, kita merasakan sinisme yang menghunjam. Namun, di antara jawaban yang pesimistis dan bernada keputusasaan itu, tak sedikit yang dirasakan seperti meneguk es sirop di tengah hari bulan Ramadhan. Menyegarkan. Mengembuskan harapan dan optimisme.
Saya juga tergoda merefleksikan. Mengabarkan kesaksian. Merenungi perjalanan sejarah dan mempersandingkan dengan era sebelumnya, zaman yang dirobohkan oleh kekuatan ”rakyat bersatu tak bisa dikalahkan” Ini semacam kesaksian melihat perubahan demi perubahan. Kesaksian yang penuh syukur, berpengharapan, dan meyakini Reformasi 1998 bukan kerja sia-sia.
Kesaksian ini terutama untuk membuat melek ”generasi milenial” yang ketika 1998 baru mbrojol dari rahim ibunya di ranjang persalinan. Supaya mereka tak terjebak pada salah kaprah. Menyangka Orde Baru sebuah zaman yang divisualkan bak truk bergambar priayi sepuh melambaikan tangan bertuliskan, ”Piye, penak jamanku ta?”

Mereka mesti mengerti bagaimana bisa disebut penak jika nyawa dihargai sangat murah, bisa di-dor setiap saat tanpa proses hukum. Berbeda pendapat dengan pemerintah dan instrumen negara dengan gampang di-PKI-kan, dan karena itu dengan gampang ditendang masuk hotel prodeo bernama penjara.
Mahasiswa dan aktivis sosial yang kritis menjelang reformasi bisa mengubah mawar yang indah tiba-tiba memancarkan keganasan sadis lantaran ”mawar” menjadi nama tim yang tugasnya menculik, menyiksa, menghilangkan mereka, konon dengan menenggelamkan di laut lepas. Hilang dan sampai hari ini belum ditemukan, sementara jenderal yang bagian dari mata rantai Tim Mawar itu hari ini bisa bergagah-gagah mencalonkan diri sebagai pemimpin.
Dan sangat ironis, ada sementara korban penculikan Tim Mawar justru kesambet Stockholm syndrome, jadi tokoh partai yang diketuai sang jenderal.
Kita mengenang, betapa di semua sektor kehidupan penuh absurditas. Penuh drama dan kekonyolan. Dari kehidupan ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, bahkan sampai relung-relung terkecil kehidupan di negeri ini, diteropong dan dikendalikan negara.
Jika warga bangsa diminta menulis kesaksian absurditas Orde Baru, satu atau dua alinea saja, seluruh kolom koran ini dijamin tak bisa mewadahi. Jika dibukukan, akan berjilid-jilid. Seumpama diserialkan secara sinematik sebagai film seri, bisa menghasilkan ribuan episode replika kehidupan yang full ironi, tragedi sekaligus komedi.
Kita mengenang, betapa di semua sektor kehidupan penuh absurditas. Penuh drama dan kekonyolan.
Jadi, wahai generasi milenial, bersyukurlah hari ini kalian bisa menghirup udara kebebasan, merdeka berpikir, berbicara, dan mengekspresikan diri.
Tak terbantahkan semua ini akibat Reformasi 1998. Kita tahu lahirnya lembaga-lembaga baru—KPU, KPPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial, KPK, PPATK, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Ombudsman di semua daerah, lembaga perlindungan saksi, perlindungan anak dan perempuan, lahirnya para senator dalam wadah Utusan Daerah yang bersekutu di Senayan, dan lainnya.
Semua itu diikhtiarkan sebagai sistem kontrol supaya kekuasaan tak menggumpal di satu tangan, supaya pemimpin tak lagi main mutlak-mutlakan dan orang berpolitik tak sekadar main sandiwara.
Barangkali ini periode transisi menuju negeri dengan tatanan demokrasi yang diidealkan. Kita memang masih tergagap-gagap, terus belajar, dan rela mengoreksi yang keliru. Bukankah sekarang ada MK yang membuka pintu selebar-lebarnya untuk judicial review, supaya hukum yang bengkok bisa diluruskan, sehingga keberadilan hadir nyata?
Karena itu, terasa lebih klop jika zaman ini disebut Orde Beja. Sebuah zaman yang nasibnya mujur. Sungguh sangat beruntung lembaga-lembaga baru buah Reformasi 1998 bisa mengerem nafsu-nafsu purba yang cenderung menghalalkan ketamakan kekuasaan.

Tempo hari tatkala muncul wacana jabatan presiden akan diperpanjang satu periode lagi, konstitusi yang disepakati menjadi pedoman berdemokrasi tidak bisa digoyahkan. Beja ana reformasi, yen ora ana njuk gek kepiye? Untunglah saat itu ada reformasi, jika tidak terus bagaimana nasib kita.
Kekuatan warganet
Hari ini seorang presiden tak lagi idugeni, ludahnya seperti api. Pemimpin bergerak dalam koridor konstitusi yang penuh aturan dan rambu-rambu. Anggota legislatif—meski tak sedikit yang niatnya hanya ongkang-ongkang memanen rezeki seraya bangga disapa dengan sebutan ”yang terhormat”—punya daya kritis dan setiap saat siap meniupkan peluit jika ada gejala pelanggaran.
Penegak hukum dan KPK tak ragu-ragu memenjarakan maling-maling APBD/APBN meski koruptor itu masih dalam status jabatan resminya. Dulu, hal seperti ini—dalam istilah pelawak Srimulat, (almarhum) Asmuni—adalah hil yang mustahal. Tak mungkin bisa terjadi. Jika hari ini bisa dimungkinkan, tak keliru, kan, disebut Orde Beja?
Bisa dibilang, kala itu setiap kali Presiden Soeharto ngunandika, bersabda, entah dalam pidato resmi atau wawancara, pejabat di bawahnya yang biasanya para militer yang sedang ber-Dwifungsi akan berlomba menafsir dan menerjemahkan apa yang dimaksudkan.
Berinisiatif mengambil tindakan untuk menyenangkan hati Bapak Pembangunan meski terkadang melanggar konstitusi. Di zaman penak yang rakyatnya dibikin senantiasa happy dengan asupan subsidi BBM dan sembako ini, apa yang disebut konstitusi seperti bertekuk lutut di hadapan senapan. Aturan dan sistem hukum laksana diabaikan.
Di zaman penak yang rakyatnya dibikin senantiasa happy dengan asupan subsidi BBM dan sembako ini, apa yang disebut konstitusi seperti bertekuk lutut di hadapan senapan. Aturan dan sistem hukum laksana diabaikan.
Kekuatan warganet, yang hari ini bisa dirasakan sebagai bagian dari sistem kontrol, saat itu dibungkam. Pers sebagai pilar demokrasi dikendalikan dengan budaya telepon sehingga setiap terjadi fakta yang kategorinya hot news, ruang redaksi koran dan majalah akan disibukkan krang-kring dari Departemen Penerangan. Media yang bandel dan tidak tunduk ujung-ujungnya dibredel. Mati suri atau bablas nyemplung kuburan selamanya.
Wartawan yang boleh menulis berita hanya mereka yang punya kartu anggota PWI. Itu pun harus punya sertifikat lulus ujian Penataran Pancasila, dan diselidiki asal-usul keturunannya—bersih diri dan bersih lingkungan—seakan-akan yang namanya ideologi (kiri) itu bisa mengalir melalui DNA seseorang.
Kesimpulannya, Orde Baru itu sejenis orde paranoid. Para pemimpinnya hidup dalam ketakutan. Dalam pandangan mereka, orang-orang waras, terpelajar, para cendekia, seniman, budayawan, filsuf, ulama, rohaniwan, aktivis sosial, dan sebangsanya adalah ”musuh-musuh” yang harus dicurigai akan melakukan makar. Maka harus diwaspadai. Kalau perlu digebuk. Salah satu gebukan paling konyol adalah orang berjualan dan membaca buku sastra bisa meringkuk di penjara (Wirogunan Yogyakarta dan Nusakambangan) selama 8 tahun.
Wahai generasi milenial, silakan hari ini Anda bingung memahami absurditas itu. Hanya lantaran menjual, membaca, dan mendiskusikan buku sastra Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer—yang hari ini malah sudah difilmkan—seperti dialami Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono bisa menyebabkan mereka terampas masa depannya.
Jika hari ini generasi milenial bebas berekspresi mengungkapkan pikirannya di media sosial ataupun media arus utama, bebas membaca buku apa pun sesuka hati, tanpa gentar dengan ancaman sensor, apa tidak beja, mujur, namanya. Orde Beja keren, kan?

Mengoreksi konstitusi
Dalam imajinasi rezim yang hanya bisa berkata-kata dengan sentakan peluru panas, teks-teks sastra—puisi ataupun pertunjukan teater—percakapan di forum diskusi para mahasiswa dan intelektual, esai di buletin, koran dan majalah, dibayangkan bisa begitu saja merobohkan kekuasaan.
Karena itu, perhelatan seni rupa, seni pertunjukan, dan diskusi apa pun harus minta izin berkelok-kelok menempuh 13 meja pemberi rekomendasi, dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kepolisian, militer, dan lembaga khusus bentukan rezim seperti Laksusda dan Kopkamtib.
Betapa pun, Orde Beja yang hari ini masih compang-camping hendaknya dimaknai sebagai proses yang terus bergulir menuju adab berdemokrasi yang nggenah. Yang senantiasa berkeinginan memuliakan kemanusiaan, saling menghormati, dan membuka ruang-ruang toleransi yang penuh kehangatan.
Tentu masih bakal banyak menemui sandungan-sandungannya. Harapannya kita tak akan pernah bosan mengoreksi konstitusi, terutama jika aturan dan tatanan konstitusional itu tak lagi mampu mengakomodasi kehendak zaman yang berubah sangat dinamis ini.
Lalu, kapan demokrasi yang sejati akan terwujud di Indonesia? Mungkin 50 tahun atau seabad lagi. Ketika kualitas pendidikan seluruh rakyat negeri ini sudah setara. Tidak timpang lagi.
Jika ditanya begitu, saya selalu menjawab dengan bercanda, ”Nusantara Indonesia baru berdemokrasi secara baik dan benar ketika kelak kepala negaranya keturunan Tionghoa dan agamanya bukan agama mayoritas.”
Saat orang bersahaja pun bisa membedakan ”identitas politik” dan ”politik identitas” dengan hati yang sumeleh. Tahu persis bedanya madu dan racun.
Seperti terjadi di negara-negara yang matang dalam berdemokrasi, yang tentunya disebabkan kecerdasan dan keilmuan warga negaranya tak njomplang, saat itulah yang minoritas pun bisa dipercaya memimpin negeri. Entah kapan ini terjadi di Indonesia?
Bisa jadi dua abad lagi. Jika ditanya begitu, saya selalu menjawab dengan bercanda, ”Nusantara Indonesia baru berdemokrasi secara baik dan benar ketika kelak kepala negaranya keturunan Tionghoa dan agamanya bukan agama mayoritas.”
Butet KartaredjasaAktor
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F25%2F1b59f68a-581b-471f-8e92-6311ee076a50_jpg.jpg)
Butet Kartarejasa