Transformasi Hantu dalam Perubahan Sosial dan Perlawanan Kultural
Hantu sangat lekat dengan budaya lokal Nusantara. Cerita hantu pun bukan sebatas horor, melainkan bertransformasi dalam perubahan sosial dan perlawanan kultural.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Meski kerap menebar ketakutan, cerita hantu selalu menarik untuk diulik. Tak mengherankan, film-film horor dengan beragam karakter hantu masih digandrungi. Cerita hantu pun bukan sebatas horor, melainkan bertransformasi dalam perubahan sosial dan perlawanan kultural.
Hantu sangat lekat dengan budaya lokal Nusantara. Tak jarang, sejumlah daerah mempunyai kesamaan cerita sosok hantu tertentu meski wilayahnya berjauhan.
Kisah hantu pun ”hidup” di tengah masyarakat. Walaupun nama, cerita, dan penampakannya beragam, umumnya hantu digambarkan sebagai sosok mengerikan sehingga mengundang ketakutan.
Akan tetapi, cerita hantu-hantu itu tidak statis. Transformasinya juga berkaitan dengan perubahan sosial di tengah masyarakat karena merefleksikan kecemasan, kengerian, dan ketakutan dalam kehidupan sehari-hari.
Tuyul, misalnya, semula diidentikkan sebagai makhluk halus berupa bocah berkepala plontos. Karakter jahatnya muncul karena mencuri uang untuk memperkaya tuannya.
Dalam perkembangan budaya populer, sosok tuyul diperkenalkan lewat film dan sinetron dengan karakter lucu dan penolong. ”Bahkan, dalam sebuah sinetron, tuyul diterima sebagai sosok anak kecil berkarakter baik dan pantas dicintai,” ujar sejarawan JJ Rizal dalam webinar ”Eh Hantu Tak Pernah Mati: Horor dalam Budaya Populer Kita” yang digelar Bentara Budaya, Jumat (23/9/2022) malam.
Sinetron yang dimaksud berjudul Tuyul dan Mbak Yul. Sinetron yang digarap oleh sutradara Arizal tersebut tayang pada 1997-2002. Sinetron ini pun menjadi salah satu tontonan favorit masyarakat di masanya.
”Tuyul yang identik sebagai hantu jahat, pencuri, tiba-tiba mendapatkan karakter baik yang bisa diterima oleh banyak orang,” katanya.
Rizal menuturkan, meski hanya diulas sekilas, kata tuyul muncul pertama kali dalam literatur yang ditulis Drewes, ahli islamologi, pada 1929. Masa itu hanya berjarak satu tahun sebelum depresi ekonomi menghantam Hindia Belanda pada 1930.
Pada 1960, antropolog asal Amerika Serikat, Clifford Geertz, lewat bukunya bercerita lebih banyak tentang cerita tuyul di Pulau Jawa. Kisah ini diperoleh berdasarkan riset di Mojokuto, Jawa Timur, pada 1952-1954.
Meski hanya diulas sekilas, kata tuyul muncul pertama kali dalam literatur yang ditulis Drewes, ahli islamologi, pada 1929. Masa itu hanya berjarak satu tahun sebelum depresi ekonomi menghantam Hindia Belanda pada 1930.
Tuyul digambarkan sebagai sosok anak berusia 4-5 tahun dengan kepala botak. Ia mencuri uang untuk membuat orang yang memeliharanya menjadi kaya dalam waktu relatif singkat.
”Dalam literatur lama, gambaran tentang setan gundul ini banyak sekali. Kemudian sempat hilang pada 1930. Setelah itu muncul lagi pasca-Indonesia merdeka, terutama ketika ibu kota negara dikembalikan dari Yogyakarta ke Jakarta. Saat hidup normal kembali dan kondisi ekonomi lebih baik,” tuturnya.
Cerita tuyul dan sosok hantu lainnya juga merambah dunia film. Pada 1979, terdapat film berjudul Tuyul yang dibintangi komedian Ateng dan Iskak.
Tidak sampai setahun, muncul sekuel dengan judul Tuyul Eee Ketemu Lagi. Setelah itu dilanjutkan film berjudul Tuyul Perempuan.
Rizal menuturkan, pada masa itu, Jakarta mulai menjadi pusat urbanisasi dan memutar roda ekonomi lebih cepat. Kondisi itu melahirkan banyak orang kaya baru atau dikenal dengan istilah OKB.
”Situasi ekonomi itu berkaitan pada kondisi sosial masyarakat dengan munculnya gambaran tentang hantu yang bisa membuat orang kaya mendadak,” ujarnya.
Tak hanya tuyul, kuntilanak juga mengalami perubahan ruang hidup. Menurut Rizal, dalam anggapan masyarakat Betawi tempo dulu, kuntilanak tinggal di pohon.
Saat pepohonan di Ibu Kota terus tergerus masifnya pembangunan, ruang hidup kuntilanak pun beralih ke gedung-gedung dan perumahan. Hal ini sebagai respons atas ruang yang semakin menyempit.
”Ruang dramatis di masyarakat juga memunculkan cerita-cerita hantu. Mungkin juga ini semacam perlawanan kultural terhadap kebebasan ruang dari orang-orang kalah,” ujarnya.
Sosiolog sekaligus peneliti cerita hantu, Risa Permanadeli, mengatakan, kisah hantu banyak muncul di masyarakat agraris. Hantu sering kali dihadapkan pada orang-orang dalam posisi yang dianggap lemah, seperti anak-anak, perempuan hamil, dan orang dalam kondisi sendirian.
Cerita-cerita yang semula mengalir secara lisan dialihwahanakan dalam berbagai platform, termasuk film. Pada umumnya hantu yang ditampilkan berkaitan dengan sosok manusia yang meninggal dengan tidak wajar.
”Dalam industri film (hantu), banyak bercerita tentang kematian tidak normal. Salah satunya film Si Manis Jembatan Ancol,” katanya.
Seniman sekaligus pemeran dalam film Pengabdi Setan, Ayu Laksmi, mengatakan, bagi sebagian orang, menonton film horor merupakan bentuk pelepasan emosi dan keresahan. Ia melihat hal itu saat menghadiri pemutaran film Pengabdi Setan 1 dan Pengabdi Setan 2.
”Orang-orang begitu riuh. Mereka berteriak, menjerit, dan mengumpat. Kalau di Bali dan beberapa tempat lain, punya seperti padepokan sebagai tempat membebaskan diri dari emosi, amarah, dan kekecewaan yang dipendam,” katanya.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengatakan, webinar tersebut merupakan rangkaian Hari Ulang Tahun Ke-40 Bentara Budaya. Menurut dia, hubungan horor dengan kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari drama kehidupan sehari-hari.
”Sengaja kami pilih tema tentang horor karena kehidupan kita tidak bisa lepas dari kisah horor. Kita itu takut akan hantu, tetapi di saat bersamaan rela merogoh kocek membeli tiket bioskop untuk ditakut-takuti,” ujarnya.