Risa Permanadeli, Riset di Jalur Hantu
Mengapa masyarakat percaya hantu? Apakah hantu hadir atau dihadirkan? Pertanyaan yang tampak sederhana itu jawabannya bisa sangat panjang dan berlapis-lapis di tangan Risa Permanadeli, peneliti yang meneliti hantu.
Mengapa masyarakat percaya hantu? Apakah hantu hadir atau dihadirkan? Pertanyaan yang tampak sederhana itu jawabannya bisa sangat panjang dan berlapis-lapis di tangan Risa Permanadeli, peneliti yang tujuh tahun terakhir menekuni riset tentang hantu. Yang jelas, hantu dan dunia perhantuan tidak sesederhana seperti yang ditampilkan di industri hiburan.
”Yang sekarang booming di film itu, hantu yang sudah direduksi. Yang dieksploitasi untuk pasar adalah hantu yang terkait kematian tidak sempurna. Lalu, ia mencari jalan untuk menyempurnakan siklus kematian dengan cara mengganggu. Mengapa selalu begitu? Karena film perlu konflik dan hero,” tutur Risa di kantornya, Pusat Kajian Representasi Sosial, di Jakarta Selatan, Kamis (4/11/2021).
Padahal, cerita tentang hantu yang hidup di masyarakat Indonesia sangat kaya. Hantu Nusantara itu bukan cuma pocong, kuntilanak, tuyul, dan sundel bolong yang sudah menjadi ”selebritas” dunia hiburan. Di luar itu, ada swanggi di Timor, kunyang di Kalimantan, beguganjang di Sumatera, guk di Kalimantan, lampor dan banaspati di Jawa, dan sebagainya,
Jika disederhanakan, lanjut Risa, hantu bisa dibagi dalam empat kategori. Pertama, hantu yang gagasannya terkait kematian. Manusia mati, lalu jadi hantu. Kedua, hantu dalam pengertian nonmanusia. Jenis hantu ini biasanya terkait mitologi. Ketiga, hantu sebagai refleksi sisi negatif manusia. ”Hantu seperti ini dalam sastra Jawa biasanya muncul dalam ’laku’ atau tapa sebagai godaan,” jelasnya.
Keempat, hantu seperti yang dideskripsikan kitab suci, yakni setan, jin. Kategori ini wataknya sering diambil oleh industri untuk dilekatkan pada hantu kategori pertama. ”Ini semua jarang dielaborasi karena butuh pengetahuan, harus lihat sejarah, konteks, sastra, dunia imajiner. Orang bisnis enggak tertarik ke situ karena mau buru-buru bikin produk,” ujarnya.
Kemalasan menggali konteks di belakang cerita hantu membuat hantu dalam industri hiburan Indonesia tidak memiliki dasar pengetahuan yang jelas. Secara pemikiran dia anomali dan karena itu chaotic (kacau).
Kemalasan menggali konteks di belakang cerita hantu membuat hantu dalam industri hiburan Indonesia tidak memiliki dasar pengetahuan yang jelas. ”Secara pemikiran dia anomali dan karena itu chaotic (kacau),” ujarnya.
Ironisnya, pengetahuan tentang hantu yang tertanam di kepala masyarakat sebagian besar hasil konstruksi dan mobilisasi pikiran oleh industri hiburan, seperti film, televisi, dan sekarang media sosial.
Dibandingkan dengan industri film sebelum tahun 1970-an, lanjut Risa, industri film kita belakangan cenderung menutup diri. Ini ada kaitannya dengan pengetatan ideologi yang dilakukan tahun 1970-an oleh rezim Orde Baru. Dulu industri film Indonesia terbuka. Ada film yang diadaptasi dari karya sastrawan besar Rusia, seperti Anton Chekov. Ada juga yang diangkat dari mitologi daerah, seperti Lutung Kasarung.
Tahun 1980-an masih muncul sosok sundel bolong dan Nyi Blorong, yang terkait mitologi, yang melekat dengan kultur masyarakat kita. ”Hantunya tidak sembarangan. Dia harus punya kedekatan, menguasai satu ruang sehingga kita dipaksa tunduk dengan ruang kehantuan hantu. Sekarang siapa saja bisa jadi hantu asalkan mengalami kematian tidak sempurna,” kata Risa.
Tokoh yang menyelesaikan masalah perhantuan juga berubah seiring meluasnya dakwah agama-agama monoteisme. ”Dulu tokoh yang menyelesaikan masalah (perhantuan) itu bisa dukun, sekarang pemuka agama,” ujarnya.
Hantu Taman Langsat
Kami membincangkan hantu sambil menyeruput kopi Jambi dan sesekali membuka koleksi buku-buku Risa yang sebagian besar berbahasa Perancis. Doktor psikologi sosial dari Paris ini menceritakan, ketertarikannya pada riset tentang hantu muncul ketika ia dan peneliti Perancis, Jérôme Tadié, pada 2015 meneliti ingatan orang yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan kota sejak peristiwa 1965. Tahun 2015 menjadi penting karena bertepatan dengan 50 tahun peristiwa 1965.
”Yang menarik, enggak ada lho orang yang ingat secara spesifik soal Jakarta dalam 50 tahun. Ingatan aku tentang hal besar yang dibuat bangsa ini dalam 50 tahun terakhir juga hanya pembangunan tol pertama Jagorawi dan soal peluncuran satelit Palapa. Tapi, ingatan itu dengan gampang hilang. Ada proses lupa,” paparnya.
Lalu, ingatan apa yang tersisa dan masih menghubungkan semua orang? Ternyata ingatan tentang cerita hantu. Cerita pocong, kuntilanak, dan banaspati tetap terus ada. ”Dari situ, aku tahu apa yang harus aku openi. Aku tidak ingin ingatan soal hantu yang menghubungkan banyak orang juga dilupakan karena ini juga bicara tentang diri kita,” ujar Risa dengan logat Jawa kental.
Risa memulai riset tentang cerita hantu dari Taman Langsat, Jakarta Selatan, yang dipercaya bermula dari sesosok mayat tak dikenal pada tahun 1965. Dalam situasi keamanan yang sedang kacau saat itu, tak ada yang berani bertanya soal mayat itu. Tapi, penemuan mayat tersebut lantas berkembang jadi cerita hantu.
Risa mewawancarai mulai orang-orang yang bekerja di Taman Langsat (ring satu), orang-orang yang tinggal di sekitar Taman Langsat (ring dua), dan orang-orang yang tinggal jauh dari taman itu (ring tiga). Hasilnya, orang-orang di ring satu tidak takut dengan hantu itu karena tidak pernah diganggu. Orang-orang di ring dua mengaku takut ke taman itu karena percaya ada hantu yang mengganggu. Mereka bisa detail menceritakan bahwa tiap malam Jumat, TV bisa tiba-tiba mati dan ada suara orang menangis. Orang-orang di ring tiga lebih heboh dan detail ceritanya, termasuk sejumlah responden yang tinggal di Nusa Tenggara Timur dan Papua yang sangat jauh dari Taman Langsat.
Ada cerita kalau motret di sana enggak akan jadi, internet putus sendiri. Tahunya dari mana? Dari film. Jadi, konstruksi kehantuan itu dibangun oleh film dan sekarang medsos. Ini mobilisasi pikiran soal hantu.
”Ada cerita kalau motret di sana enggak akan jadi, internet putus sendiri. Tahunya dari mana? Dari film. Jadi, konstruksi kehantuan itu dibangun oleh film dan sekarang medsos. Ini mobilisasi pikiran soal hantu,” ujar Risa.
Di luar itu, banyak hal lain yang bisa menjelaskan mengapa manusia modern yang mengagungkan akal ternyata tetap percaya pada hantu. Risa yang berkeliling ke banyak daerah menemukan, kepercayaan pada hantu juga terkait evolusi peradaban masyarakat.
Bahwa kita melihat peradaban masyarakat selalu bermula dari sistem kepercayaan, mitologi. Dalam evolusinya, masyarakat bergerak, kemudian masuk agama menggantikan sistem kepercayaan lama. Agama dikoreksi lagi pada abad ke-16 dengan pengetahuan. Belakangan, pemikiran modernitas abad ke-16 dipertanyakan karena gagal menjangkau dan menjawab banyak hal.
Di Asia Tenggara yang masyarakatnya agrikultur, evolusi masyarakat tidak seperti Barat. Kita sama-sama mewarisi tradisi Hindu-Buddha. Tapi, masuknya agama monoteisme membuat warna itu tertutup. Indonesia jadi identik dengan Islam, Filipina jadi Katolik. ”Tapi, dalam keseharian kita, orangtua masih sering menasihati, ’Aja metu maghrib, nanti ada ini-itu’. Itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Jadi, selalu ada warisan tradisi nenek moyang yang enggak kelihatan.”
Kalau mau jujur, lanjut Risa, dalam ingatan banyak masyarakat Asia Tenggara, sosok pelindung itu Dewi Sri. Sebagai alter ego atau sifat kebalikannya, ada makhluk lain. ”Kalau dia baik jadi Dewi Sri, kalau enggak baik jadi makhluk lain. Sampai Vietnam juga begitu.”
Ini semacam refleksi bahwa manusia harus belajar untuk mengontrol diri agar tidak menjadi destruktif. Harus ada harmoni. ”Jadi, sundel bolong, nini poppo, itu cermin dari diri kita. Alam pikiran yang hidup dalam masyarakat, yang hadir dan dihadirkan oleh ingatan. Dan, ingatan apa pun selalu bukan dari kesadaran, tetapi ketidaksadaran. Makanya, profesor, doktor, siapa pun bisa percaya hantu,” katanya.
Dalam dunia hantu Indonesia, banyak tokoh hantu berwujud perempuan, seperti sundel bolong. Itu sosok perempuan yang untuk melanjutkan hidupnya perlu kehidupan, biasanya bayi. Jadi, bayi itu simbolisme kehidupan baru.
Selain itu, lanjut Risa, risetnya tentang hantu memperlihatkan bahwa masyarakat meyakini adanya siklus kematian. Jika siklus itu belum selesai dan terpotong, kematiannya tidak sempurna. Lalu, orang yang mati mencari jalan untuk kesempurnaan. Alam pikiran ini tidak terkait dengan agama monoteisme.
Lapisan lain dari cerita hantu di Indonesia terkait dengan peristiwa politik yang memicu trauma, seperti peristiwa 1965 dan 1998.
Hasil penelitian Risa soal hantu telah dipresentasikan di berbagai konferensi internasional di negara-negara Barat. ”Ternyata (riset hantu) payu (laku). Aku setiap tahun bergerak dari satu konferensi ke konferensi jelasin soal hantu Nusantara. Tapi, di sini, riset beginian dianggap enggak menarik,” tuturnya.
Sampai sekarang, riset Risa tentang hantu belum selesai. Ia mengaku, semakin masuk lebih dalam, semakin ia berhati-hati untuk menarik kesimpulan lantaran banyak sekali lapisan terkait perhantuan yang mesti dijelaskan. Kadang apa yang ia temukan di lapangan berbenturan dengan pikirannya sebagai peneliti.
Di Kudus, Jawa Tengah, ia, misalnya, menemukan jalinan cerita tentang tuyul yang semuanya koheren. ”Ada uang yang hilang, ada tuyul ketangkep, pemiliknya datang dan mengakui dia gunakan tuyul dari Gunung Kawi karena kesulitan uang. Ditanya siapa yang dikorbankan, dia jawab. Diminta mengembalikan uang dan tuyulnya, dia kembalikan,” ceritanya.
Aku selama ini berusaha menjelaskan dengan mencari koherensi dengan apa yang ada di masyarakat. Koherensi dari peristiwa ini tiba-tiba membuat aku sebagai warga masyarakat harus menerima bahwa tuyul ana tenan.
”Aku selama ini berusaha menjelaskan dengan mencari koherensi dengan apa yang ada di masyarakat. Koherensi dari peristiwa ini tiba-tiba membuat aku sebagai warga masyarakat harus menerima bahwa tuyul ana tenan,” katanya diiringi tawa.
Peristiwa itu sekaligus menyadarkan Risa agar tidak melihat kenyataan hanya dari satu faset. ”Yang macam-macam itu, kan, kadang difilter oleh ilmu pengetahuan, dibuang, dianggap enggak ada. Akhirnya di-openi oleh dukun atau orang yang punya naluri lain untuk menangkap apa yang disisihkan oleh pengetahuan.”
Apakah itu tidak rasional? ”Menurut aku, ada kenyataan yang tidak bisa diterangkan atau di-frame dengan penjelasan ilmiah. Tapi, tetap aku terima karena selalu ada banyak platform dalam kehidupan,” ucapnya.
Risa Permanadeli
Lahir: Malang, 22 Mei 1965
Orangtua: Ismudjoko dan Deliana Sajuti
Pendidikan:
- Sarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada (1987)
- Diplôme d’Étude Approfondie in Social Psychology of École des Hautes Études en Sciences Sociales, Paris (1993)
- Doctor in Social Psychology of École des Hautes Études en Sciences Sociales, Paris (2000)
Publikasi, antara lain:
- Night and the City: Clubs, Brothels and Politics in Jakarta, Urban Studies, 1-15, DOI: 10.1177/0042098014537692, with Jérôme Tadié as first author
- The Disappearance of History and the Construction of Banality: Transformation of National Tragedy into Ghost Stories. In. Irina Bondarevskaya et Beata Krzywosz-Rynkiewiz (Eds). Political and Economic Self-Constitution: Citizenship Activity and Education. Proceeding of the VI International scientific and practical seminar. 2018, Padova-Italy
- Mencari Ruang Alternatif Produksi Pengetahuan dari Krisis Antropologi Kegiatan Berpengetahuan. In. Jurnal Seni Nasional (Volume 3, page 44-50, 2018, ISSN. 2580-2860)
- Savoring Bereavement: The Javanese Journey through Death. Permanadeli, Risa., Sundararajan, Louis, In. Dueck, Al. (Ed), Indigenous Psychologies of Spirituality – In My Beginning is My End, 2021, New York: Springer
Riset, antara lain:
- Mythology, collective memory, and social representations. The study on I la Galigo and Bugis society. Project for the Indonesia Center of Social Representations Studies in collaboration with Pertamina, 2012
- The study on death – the indigenous narrative of death in Indonesian contemporary context. Project for the publication of book series on Indigenous Psychology, under the coordination of Louise Sundararajan, the President for the Division 32 of APA (American Psychology Association), 2017-2019.
- Study on Memory, Forgetting in Urban Transformation setting (TROUBLE) with Jerome Tadie, Institut pour le Development, Paris-France, 2015-2018
- Study on ghost stories in the Indonesian archipelago. 2018-now