Hantu! Kalian tahu apa artinya hantu itu. Jubah putih, mata bolong, tak berkaki. Sisa manusia yang tubuhnya tak ada. Baru sebut namanya, bulu kuduk sontak berdiri. Begitulah. Gaib dan menakutkan, hantu memang suka mengganggu kita, tampil pada waktu tak terduga. Apalagi, sikap orang rada aneh-aneh terhadap hantu.
Ada yang bilang hantu tidak ada, tetapi takut. Ada yang bilang ada dan gagah berani siap menghadapinya. Namun, yang paling lihai adalah mereka yang berbisnis hantu. Yang terkenal di situ adalah hantu-hantu kastil Skotlandia yang suka tampil berbaju besi ala zaman pertengahan Eropa. Hasilnya konon lumayan. Namun, terus terang, tak ada yang mengalahkan pebisnis hantu dari Indonesia.
Soalnya, di situ, hantu juga momok. Baru menyebut nama hantu yang sudah 56 tahun umur matinya itu, ya, baru diucapkan namanya, diam semua, lalu lari terbirit-birit, termasuk genderuwo dan wewe gombel. Kita tak pernah memilih kapan akan bertemu dengan hantu itu. Mungkin pembaca tidak akan percaya, tetapi saya menemuinya di kedutaan besar Indonesia. Di mana? Di Paris.
Saya lama ragu-ragu mengangkat ceritanya. Kini, saya lakukan dengan harapan bisnis hantu menjadi sejarah. Peristiwa ini terjadi tiga tahun yang lalu, Januari 2018. Ketika berkunjung ke Paris untuk tiga hari. Diundang asosiasi ”Pasar Malam” untuk mendiskusikan tulisan-tulisan saya di majalah Le Banian. Acaranya di kedutaan Indonesia. Di ruang rapat merangkap ruang kegiatan budaya yang ada di KBRI Paris.
Saya dapat sedikit berbangga. Normal, kan? Saya akan berbicara tentang negeri anak- anak saya ke dalam bahasa ibu saya? Saya juga akan berbicara di kedutaan Indonesia. Pendek cerita, datanglah saat berpresentasi. Duduk di panggung. Pembicara tiga: Joss Wibisono, pengarang novel top tentang orang Flores zaman penjajahan yang menjadi musikus barok di Belanda; seorang wanita berwajah Indonesia yang tak saya kenal, Tatiana Lukman, konon aktivis, dan saya sendiri.
Giliran saya nomor dua. Masih rada ngantuk karena baru tiba. Maka, saya awalnya tak begitu memperhatikan presentasi pendahulu saya, si wanita itu. Hingga saya mulai mendengar kata-kata nyaring yang tak lazim: ”Kuba”, ”perlawanan kaum tani”, dan istilah khas zaman baheula lainnya itu. ”Berani benar si ibu tua itu,” pikir saya. ”Berbicara begini di kedutaan Indonesia!!!”.
Siapa yang sesungguhnya mengundang? Tak jelas. Dan siapa orang itu? Diam- diam agar tak terlalu diperhatikan—kami duduk di panggung—saya mengambil handphone, lalu mencari di Google info tentang wanita itu. Tatiana Lukman.
Wah! Coba bayangkan ”surprise” saya ketika membaca info-info yang keluar: Tatiana tiada lain adalah putri dari Muhammad Hatta Lukman, wakil ketua partai komunis tahun 1965. Jadi, tahun 2018 putri seorang korban 65 bisa berpidato ala aktivis kiri di kedutaan Indonesia atas undangan LSM Perancis.
Luar biasa!!!! Surprise saya belum selesai. Siapa duta besar itu? Saya belum tahu juga. Mungkin saya masih jetlag. Namun, sembari pura-pura mendengar pidato Tatiana, saya utak-atik Google lagi pada Ambassade d’Indonesie.
Nama duta besarnya adalah Panjaitan. Banyak Panjaitan, kan? Lalu saya utak-atik lagi Google dan…. Ya Tuhan, Panjaitan ini adalah putra Jenderal Panjaitan, korban keganasan kawanan Gestapu tanggal 30 September 1965!!!
Jadi, yang berpidato penuh semangat tersebut adalah putri dari Wakil Ketua DPR yang menghilang pasca-30 September!!!! Sementara duta besar adalah putra dari jenderal yang dibunuh komplotan Untung. Dua anak korban Gerakan Tiga Puluh September 1965. Dua korban dari suatu halaman bersejarah yang tak boleh dibuka penuh, tak juga mau ditutup, dan yang meninggalkan hantu di kuburan sunyi serta hantu di pikiran kita....
Baca juga : Buku
Tak perlu banyak mengkhayal. Tatiana Lukman dan Hotmangaraja Panjaitan sama-sama tumbuh tanpa ayah, sama-sama dihinggapi imaji kuburan yang sunyi, dengan hantu terkasih yang tak menakutkan, tak pantas pula dijadikan bisnis. Apakah pada hari di Januari 2018 itu mereka saling sapa? Saya tidak tahu. Saya berharap bahwa mereka bertemu. Kalaupun tidak, saya kini berharap mereka bertemu batin, lalu saling rangkul sambil menangis. Agar dalam air mata mereka larutlah setiap hantunya.
Saya juga berharap bahwa semua Tatiana dan semua Hotmangaraja yang ada di Indonesia kini saling rangkul di dalam kenyataan atau di dalam batin agar dalam air matanya larutlah setiap hantu untuk seterusnya. Demi tertutupnya luka Indonesia tercinta untuk selamanya.