Ditakut-takuti, tetapi Bahagia
Kegemaran menonton film horor seolah tidak pernah pudar dari dulu hingga sekarang. Banyak alasan mengapa genre ini selalu laku, salah satunya karena menawarkan keseruan yang bersifat eskapisme.

Cuplikan adegan dalam film Pengabdi Setan 2: Communion karya Joko Anwar.
Horor selalu di hati bahkan tak pernah mati. Mungkin ini ungkapan yang pas melihat fenomena maraknya film horor selama sekian dekade di Tanah Air bahkan setelah pandemi menghantui. Sungguh sebuah paradoks. Ketika jutaan penonton ditakut-takuti, mereka justru merasa bahagia.
Selain drama dan komedi, film horor hampir selalu berada dalam deretan 15 film dengan jumlah penonton terbanyak setiap tahun. Ambil contoh periode 2017-2021, data dari filmindonesia.or.id memperlihatkan bisa sekitar tiga hingga tujuh film horor masuk dalam daftar tersebut setiap tahun. Dalam beberapa kesempatan, film horor menduduki posisi puncak, misalnya Pengabdi Setan (2017) dengan 4,2 juta penonton dan Makmum 2 (2021) dengan 1,8 juta penonton.
Tahun ini, film horor lagi-lagi menjadi genre yang paling banyak ditonton di bioskop. Dari 15 film, setengahnya merupakan film horor. Film KKN di Desa Penari (2022) malahan memecahkan rekor sebagai film dengan jumlah penonton terbanyak dalam sejarah perfilman di Tanah Air. Film karya Awi Suryadi ini berhasil menggaet 9,2 juta penonton menggeser Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (2016).
Keberhasilan KKN di Desa Penari diikuti oleh Ivanna (2,8 juta penonton), The Doll 3 (1,8 juta penonton), Kuntilanak 3 (1,3 juta penonton), Menjelang Magrib (556.193 penonton), Teluh (500.039 penonton), dan Iblis dalam Kandungan (494.896 penonton). Pada pekan ini, film horor yang baru yang ikut meramaikan persaingan adalah Pengabdi Setan 2: Communion garapan Joko Anwar.
Antusiasme publik seolah tidak pudar. Rapi Films sebagai rumah produksi menyatakan, Pengabdi Setan 2: Communion telah ditonton lebih dari 1 juta penonton setelah dua hari perilisan. Hmmm, penonton rupanya belum bosan menikmati teror panjang tahun ini.

Salah satu adegan film KKN di Desa Penari (2022)
Bersama sang suami, Fanny Indriawati (37), bersemangat berjejalan masuk ke gedung bioskop di Gandaria City, Jakarta Selatan, Jumat (5/8/2022). Mereka hendak menyaksikan pemutaran perdana Pengabdi Setan 2: Communion yang telah ditunggu selama lima tahun. Selepas menonton, Fanny tetap riang dan lega, sedangkan sang suami mengaku tidak tenang karena ketakutan.
Bicara tentang film horor, Fanny sudah gandrung ditakut-takuti melalui layar sejak usia sekolah dasar. ”Suka banget memang Pengabdi Setan pertama karena lonceng ibu tuh keinget banget. Yang ini, ya harus nonton,” ungkap Fanny.
Perempuan yang bekerja di industri kreatif ini pun tidak tahu alasan awalnya menggilai film horor. Hanya saja, ia terbiasa menyaksikan film horor zaman dahulu seperti Pengabdi Setan (1982), Bayi Ajaib (1982), sampai Malam Satu Suro (1988) yang sering ditayangkan di televisi kala itu. ”Enggak tahu kenapa suka aja nonton-nya. Bukannya ngeri, aku malah seru aja nonton-nya,” ujar Fanny.
Kebiasaan itu berlanjut hingga ke layar lebar. Ia mengaku mulai menikmati menonton film horor di bioskop sejak Tusuk Jelangkung (2003). Setelah itu, Fanny seakan tidak mau ketinggalan film horor terbaru. Hanya saja tingkat keseraman dan sutradara menjadi pertimbangan utama memilih film. Karya Joko Anwar, Kimo Stamboel, dan Timo Tjahjanto tidak pernah dia lewatkan.

Suasana di dalam salah satu gedung teater yang tengah memutar film horor di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Secara keseluruhan, Fanny lebih memilih horor Asia daripada kawasan lain. Latar belakang budaya yang sama membangkitkan rasa terhubung. Ada kedekatan dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari pemilihan lokasi, cerita yang berkembang di masyarakat, legenda urban yang muncul, hingga jenis dan bentuk hantunya.
Di Indonesia, film horor juga tidak selalu berakhir dengan keimanan seperti film Barat. Bahkan sejumlah film horor tidak menampilkan simbol atau identitas agama tertentu sama sekali. Hal seperti itu justru yang dicari Fanny ketika menyaksikan film horor. Ia merasa stresnya hilang dan lega setelah menonton setelah adrenalinnya dibuat memuncak.
”Aku suka kalo ada hal memorable di dalam adegannya yang bikin tegang. Kayak Ju-on, aku suka karena ada si bocah yang mangap bersuara kretek-kretek gitu terus Pengabdi Setan pertama karena lonceng ibu,” jelasnya.
Baca juga: Sensasi Horor dari Pengalaman Audio
Mengikat kebersamaan
Laras Arundati menjadikan film horor sebagai ajang berkumpul dan mengikat kebersamaan bersama para sahabat. ”Nonton horor itu enaknya rame-rame. Teriak bareng sampai malah pegangan bareng saking takutnya,” ujar warga Setiabudi, Jakarta Selatan, ini.
Berbeda dengan Fanny yang mengikuti perkembangan film horor, Laras mengaku hanya menonton yang sedang ramai saja dibicarakan. Semisal ketika film The Conjuring (2013) milik James Wan keluar, ia rela menonton sampai tiga kali bersama orang yang berbeda, termasuk bersama keempat sahabatnya.
”Ada efeknya memang, setelah nonton jadi parno sendiri. Kayak nonton The Conjuring waktu itu, kan, ambil yang tengah malam, pas pulang mau ke tempat parkir itu sempat tiba-tiba lift kebuka di lantai yang sudah gelap, terus spontan aku dan sahabatku teriak. Ternyata ada satpam yang mau masuk lift juga. Ha-ha-ha,” tuturnya.
Namun, hal itu tak menyurutkannya untuk terus menonton film horor. Apalagi jika sutradara di balik layar itu memang teruji karyanya, Laras akan mencari waktu untuk menyaksikan. ”Biasanya, kan, kalau sutradaranya terkenal itu, filmnya rame juga diomongin. Jadi, aku pastiin untuk nonton,” kata Laras.

Salah satu instalasi sebagai bagian promosi film Pengabdi Setan 2: Communion dipasang di salah satu area di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Film besutan sutradara Joko Anwar tersebut tayang perdana di bioskop umum di seluruh Indonesia pada 4 Agustus 2022.
Dalam artikel The Paradox of Horror: Fear as a Positive Emotion (2012), penulis Katerina Bantinaki menyoroti paradoks yang terjadi pada penggemar genre horor. Mereka merasa kenikmatan meskipun menyaksikan hal-hal yang menakutkan dan tidak menyenangkan.
Namun, Bantinaki berargumen, ketakutan sebagai respons terhadap horor dapat menjadi emosi positif. Manfaat yang paling menonjol berkaitan dengan pengelolaan reaksi diri terhadap rasa takut. Dengan kata lain, kita jadi mendapat kesempatan untuk mengetahui dan menguasai respons tubuh, pikiran, serta perilaku kita. Kita juga akan memahami batas daya tahan kepada rangsangan yang menakutkan.
Menurut Bantinaki, pengalaman itu dapat membantu kita beradaptasi dengan situasi menakutkan atau berisiko di dunia nyata. Adapun eksposur terhadap obyek-obyek yang merupakan stimulan menakutkan bisa membantu untuk mengatasi ketakutan dan fobia.
Itulah yang turut dirasakan oleh Agnes Hutahaean (18), warga Tangerang Selatan, Banten. Selama ini, dirinya memang banyak menonton film horor tiga tahun terakhir lantaran pandemi tak kunjung usai lewat berbagai platform OTT. ”Film horor seru ya meskipun aku penakut. Biasanya kalau mau nonton aku minta ditemenin dulu minimal satu orang,” tuturnya sembari tersipu.

Tissa Biani dirias sebelum shooting film KKN di Desa Penari.
Untuk tahun ini saja, dirinya sudah menonton sekitar 15 film horor dari berbagai negara. Sebut saja Incantation (2022) dari Taiwan, Keramat (2009) dari Indonesia, dan Dabbe: The Possession (2013) dari Turki. Agnes lebih gemar menonton film horor luar negeri ketimbang film Indonesia.
Namun, setelah menonton film Incantation, gadis ini menyadari ia memiliki tripofobia. Karena itu, dirinya bergidik dan merasa jijik saat melihat lubang-lubang kecil yang ada dalam film. ”Aku juga baru tahu aku punya tripofobia setelah nonton film horor,” kata Agnes.
Selain ketidaksukaan terhadap lubang kecil, Agnes juga banyak belajar hal lain setelah menonton film horor. Dia menceritakan, dia jadi belajar tentang agama dan manusia. Misalnya, manusia tidak bisa menelan ajaran agama mentah-mentah karena interpretasi manusia terbatas atau bahwa manusia juga bisa menjadi penyebab kekacauan di dunia.
Baca juga: Kutukan Mantra Berdarah "Incantation"
Elemen kehidupan
Psikolog sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial Indonesia, Risa Permanadeli, mengatakan, pada dasarnya masyarakat Indonesia tumbuh besar dengan cerita hantu dari dulu hingga sekarang di era modern ini. ”Cerita hantu itu kayak elemen kehidupan sehari-hari masyarakat kita,” tutur Risa yang tujuh tahun terakhir melakukan riset tentang kepercayaan pada hantu dikaitkan dengan evolusi peradaban manusia.
Sama seperti agama dan uang, kepercayaan pada hantu merepresentasikan acuan bersama yang membentuk kohesivitas masyarakat agar tidak kacau. Menariknya, kepercayaan pada hantu bisa mengikat dan menggerakkan orang. Padahal hantu adalah konsep di luar nalar dan tak bisa dibuktikan.
Risa turut menyoroti bagaimana konsep hantu dalam film Indonesia mengalami proses reduksi demi tujuan komersial. Dalam media, hantu biasanya digambarkan sebagai sosok dari hasil kematian tidak sempurna dan suka mengganggu. Siapa saja bisa menjadi hantu. Padahal, hantu memiliki banyak kategori, konteks, dan sejarah.

Sejumlah wisatawan mengunjungi rumah yang pernah digunakan untuk tempat pengambilan gambar film Pengabdi Setan di Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/7/2018). Setelah film Pengabdi Setan tayang di bioskop pada September 2017, rumah milik PT Perkebunan Nusantara VIII itu kerap dikunjungi wisatawan dari sejumlah daerah di Nusantara.
Sayang, produksi film horor dengan formula berulang membuat masyarakat tidak bisa melihat ulang diri sendiri. ”Ada enggak film yang bercerita tentang kita sebagai orang Indonesia, padahal ada peristiwa pembantaian tahun 1965 dan gerakan mahasiswa tahun 1998. Pengetahuan yang ada tidak memiliki sense of going to the right direction,” kata Risa.
Seiring berjalannya waktu, Risa melihat penggambaran konsep dan kepercayaan pada hantu tak kunjung berubah. Hantu di media tidak terhubung dengan tradisi lisan yang kita miliki. Hal yang berubah hanyalah obyek-obyek yang dipakai untuk menceritakan hantu tersebut, contohnya ponsel, video, bahkan internet.
Baca juga: Aku Viral, maka Aku Ada
Kehadiran hantu turut menunjukkan penguatan peran agama dalam kehidupan. Ini terlihat bagaimana masalah hantu yang biasa diselesaikan dengan orang pintar mulai tergantikan oleh peran tokoh agama seperti kiai. Namun, sebuah anomali terjadi. Eksistensi hantu tetap ada dan peran agama menguat, tetapi disorder dalam bermasyarakat juga tetap terjadi.
”Masyarakat Indonesia jalan di tempat atau gimana? Jangan-jangan ada yang salah,” ujar peneliti ini.
Risa melihat sistem kepercayaan masyarakat Indonesia pada hantu dengan kacamata makro. Dia membaca fenomena hantu bersamaan dengan fenomena lainnya yang terjadi di sekitar kita. Perilaku masyarakat terkait hantu yang tak masuk akal dan tidak bergerak itu tersebut juga terlihat dunia politik, hukum, pendidikan, hingga budaya.
Indonesia tak kunjung menjadi bangsa cerdas nan berdaulat. Sebagai contoh, negara ini membuat ibu kota baru meskipun tak punya anggaran, partai politik berisi anggota keluarga, dan, yang terbaru, kasus polisi menembak polisi yang menciptakan kegaduhan. Belum lagi tingkat korupsi yang begitu luar biasa walaupun kita mengklaim diri sebagai manusia bertakwa.
”Pengulangan cerita hantu itu ternyata juga terjadi pengulangan di tempat lain. Jadi sebetulnya hantu yang enggak bergerak itu cuma salah satu representasi tentang bagaimana kita itu tetap bodoh,” kata Risa. (IAN/LSA)

Penonton menunggu salah satu gedung teater dibuka untuk menonton penayangan perdana film Pengabdi Setan 2: Communion di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (4/8/2022).