Runtuhnya Harga Diri Hantu
Dalam cerita hantu yang berkembang di masyarakat, mana ada hantu yang senang diajak selfie dan terima sawer.
Ungkapan ”aku didatangi hantu” rasanya sudah tak relevan di era konsumerisme. Orang justru senang mendatangi hantu dan merayakan ketakutan. Industri lantas menangkap peluang. Maka hadirlah aneka medium yang menjual hantu jadi-jadian di mana sang hantu bisa diajak selfie.
Sepekan sebelum perayaan Halloween, yang berakar dari tradisi paganisme, ada wahana menyeramkan di sudut area parkir bawah tanah Mall of Indonesia, Jakarta Utara. Sejak 22 Oktober hingga 21 November 2021, JKTGO.com bekerja sama dengan Rumah Hantu Indonesia membuat wahana uji keberanian bernama Trowongan Casablanka.
Wahana ini tak ubahnya rumah hantu yang ada di pasar malam yang digelar di alun-alun atau lapangan terbuka. Pengunjung masuk ke dalam labirin temaram, kemudian ditakut-takuti.
Bedanya, wahana ini ada di mal yang satu dekade lalu masih dianggap sebagai ”jantung peradaban” manusia urban. Pengunjung tak berjalan kaki, tetapi menyusuri labirin dari dalam mobil alias drive thru. Area parkir bawah tanah di sekitar wahana itu sudah dirancang seseram mungkin. Ada instalasi patung hantu, keranda, dan untaian kembang. Kengerian diperkuat suara-suara yang bisa didengar lewat radio mobil di frekuensi 93,0 FM. Dari siaran radio itu terdengar suara mencekam, seperti bayi menangis dan tawa cekikikan.
Antrean pada Kamis (4/11/2021) menjelang sore itu cukup panjang, sekitar seratus mobil bermacam-macam tipe. Ada mobil minivan merakyat, jip besar, hingga sedan estate mengilap. Satu mobil diisi dua hingga enam orang, tak terlihat yang datang menyetir sendirian. Tiap orang dikutip karcis Rp 50.000. Antrean di rubanah hingga gerbang masuk wahana memakan waktu 20-40 menit.
Tema itu mengangkat cerita warga perkotaan tentang terowongan yang terletak di sekitar TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Konon, terowongan itu pernah jadi bagian dari lokasi pemakaman. Tak heran, cerita-cerita mistis merebak. Ada aturan tak tertulis bahwa setiap kendaraan harus membunyikan klakson tiga kali sebelum melintasinya.
Citra seram dan aturan membunyikan klakson disimulasikan di mal. Pengunjung wahana juga diminta melakukan hal yang sama. Lampu mobil dinyalakan, tapi bukan lampu jauh supaya ”hantu-hantunya” tidak silau. Begitu tirai hitam wahana tersibak moncong mobil, kengerian dunia ada di depan mata sepanjang rute wahana yang membentang 230 meter. Ada kuburan, permukiman, dan terowongan seram. Dan, yang pasti, ada sosok-sosok hantu menakutkan.
Samantha (21), warga Jakarta Selatan, mengaku penakut. Tapi dia penasaran dengan wahana itu. Dia makin yakin datang ke tempat itu pada Jumat (5/11) karena ditemani keluarga. ”Saya sebenarnya enggak terlalu berani ke rumah hantu. Ini juga karena di mobil aja, jadi berani. Kalau di mobil, kan, enggak bakal kontak langsung dengan hantunya dan bisa kunci pintunya juga,” ujar penyuka cerita horor ini.
Hasilnya, Samantha tetap saja ketakutan. Dia berteriak-teriak. Tapi itu ketakutan yang menggairahkan. Samantha mengaku tak rugi bayar Rp 50.000 untuk menikmati sensasi ketakutan.
Hantu menganggur
Menikmati hantu dan dunia hantu—meski hanya simulasi—dengan layanan tanpa turun (drive thru) sebenarnya dirancang untuk menyiasati pandemi Covid-19. Namun, ternyata layanan ini dianggap unik oleh pasar. Sejak hari pertama dibuka, rata-rata pengunjung berkisar 300-400 orang per hari atau 100 hingga 150 mobil.
”Ini jadi hiburan bagi warga, apalagi kita sudah dikurung (pandemi) hampir dua tahun,” kata Ian Eriyanto Wongso, Head of Content & Communications JKTGO.com. Melihat antusiasme itu, ada kemungkinan perhelatan hingga 21 November ini diperpanjang atau digelar juga di tempat lain.
Bagi penyedia jasa Rumah Hantu Indonesia, yang membuat wahana hantu-hantuan sejak 2010, masa pandemi adalah ”libur” terpanjang mereka. Sebelum pagebluk, mereka biasa menggelar 3-4 acara setiap bulan, mulai dari Jakarta hingga luar Pulau Jawa. Metode rumah hantu drive thru jadi yang pertama kali mereka kerjakan.
”Pengunjung di dalam mobil itu kalau takut atau enggak takut itu kelihatan. Jadinya kru harus bisa berakting bagus, jadi kengeriannya bisa terbawa sampai ke luar. Kami ingin membangun rasa takutnya, bukan kagetnya. Salah satunya lewat kalimat yang nempel di kepala pengunjung,” kata Koordinator Lapangan Rumah Hantu Indonesia Danny Fiesta.
Danny, yang kebetulan tinggal di daerah Palbatu, tak jauh dari Terowongan Casablanca, bersemangat ketika diajak mengerjakan wahana ini. Dua puluhan kru, termasuk para pemeran hantu, sudah terlalu lama menganggur. ”Pemasukan enggak ada, tagihan jalan terus,” celetuk Danny. Para ”hantu” ini rupanya takut juga sama tukang kredit.
Pindah habitat
Hantu-hantuan juga kerap bergentayangan di sekitar Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Mereka tidak beraksi di dalam wahana rumah hantu, tetapi mejeng di sekitar Gedung Merdeka yang ramai dikunjungi turis. Wisatawan ada yang takut, ada yang justru mendekat minta foto bareng.
Arum Tresnaningtyas Dayuputri adalah salah seorang yang pernah ”iseng” menjajal jadi aktris kostum (cosplayer) hantu-hantuan di kawasan Gedung Merdeka. Sekali dia dirias mirip Mak Lampir, sekali jadi mirip penyihir. Dia makin semangat kalau ada orang yang melihatnya penuh kewaspadaan.
”Aku iseng aja ngejar dia. Kayaknya, sih, mereka bukan takut, tapi jijik, ya, ha-ha-ha,” ujar seniman foto ini. Pelintas kadang menyawer, kadang juga tidak. Sekali mejeng 4-5 jam, dia pernah mengumpulkan uang sampai Rp 90.000. Para cosplayer ”profesional” di kawasan itu, kata Arum, biasanya menyetor Rp 20.000 kepada koordinator.
Pengalaman jadi ”hantu” itu membuat Arum bersimpati kepada cosplayer. Mereka, misalnya, saling merias satu sama lain. Riasan wajah memakai bedak tebal, lalu dilapisi cairan kental manis berpulas merah untuk menampilkan aksen darah. Riasan itu memakan waktu sekitar 30 menit. ”Aroma kostumnya itu, lho, ya ampun…,” katanya.
”Hantu-hantu” ranah hiburan itu kini telah pindah habitat, dari semula di kuburan atau pohon besar ke ikon perkotaan seperti mal, apartemen, atau tempat wisata warga kota. Bagi psikolog sosial Risa Permanadeli yang meneliti hantu sejak 2015, ”migrasi” itu sekadar cara pelaku bisnis mendekati pasar urban. Pasarnya juga selalu ada sebab kepercayaan pada hantu berakar pada sistem kepercayaan dan mitologi yang terus hidup di alam pikiran masyarakat, termasuk yang tinggal di perkotaan.
Sayangnya, lanjut Risa, hantu yang dihadirkan oleh industri mengalami banyak sekali reduksi sehingga tidak punya dasar pengetahuan yang jelas.
Dalam cerita hantu yang berkembang di masyarakat, mana ada hantu yang senang diajak selfie dan terima sawer. Hantu juga, kan, punya harga diri. (DWA/BSW)