Diperdaya, Disiksa, hingga Trauma dengan Bulu Mata Palsu…
Menjadi korban perdagangan manusia dapat menyisakan trauma tak berkesudahan. Terlebih, jika korbannya masih anak-anak. Masa depan mereka turut terancam.
Oleh
JOG/FRD/DIV/ILO
·5 menit baca
Gadis belia itu trauma jika melihat perempuan dewasa dengan bulu mata palsu. Jika berpapasan dengan perempuan berdandan semacam itu, dia memilih menghindar atau bahkan pulang ke rumah. Kenangan pahit menyertainya.
Ia pun memilih tak menatap ibunya jika memasang bulu mata palsu. Sebab, jika melihat perempuan dengan bulu mata palsu, dia teringat pada sang mucikari, yang menjebloskannya pada dunia prostitusi 1,5 tahun silam. “(Jika bertemu dengan orang berbulu mata palsu), walaupun jauh (dari rumah) juga tetap pulang,” ucap WI (15), gadis tersebut, saat ditemui di rumahnya di Indramayu, Jawa Barat, Februari silam.
Sang mucikari dengan bulu mata palsu itu yang membawa WI ke pelosok Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah (dulunya Papua) pada pertengahan 2021. Di sana, ia dipaksa bekerja sebagai lady companion (LC) atau pemandu lagu di sebuah kafe karaoke yang dekat dengan wilayah pertambangan emas.
WI dituntut menemani para pekerja tambang yang hendak menghamburkan uang untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Kadang, para pekerja tambang emas ini juga bertransaksi seksual dengan LC yang bersedia melayani.
Jika tak mau melayani tamu atau bermalas-malasan mencari pelanggan, WI didamprat dan disiksa. Sang mucikari pernah menyeret WI yang tengah memegang gelas teh hingga airnya tumpah. Kepala WI juga dipukul dengan ponsel. Sundutan rokok karena malas mencari tamu pun membekas di kaki anak yang belum lulus sekolah menengah pertama ini.
Dibohongi teman
Kejadian pahit itu bermula dari informasi pekerjaan palsu yang disampaikan kawan main WI, berinisial AH. Suatu waktu di pertengahan 2021, WI yang kala itu berusia 14 tahun berkunjung ke rumah AH yang masih satu kecamatan dengan tempat tinggalnya. Ia heran karena AH tengah mengemasi barang dan baju.
Rupanya, AH hendak pergi memenuhi panggilan kerja di luar kota. Namun, AH ragu untuk berangkat karena tidak ada teman sehingga memelas pada WI agar turut serta. WI luluh meski sama sekali belum berniat bekerja, sebab kawannya itu hendak membantu penghidupan keluarga.
Menurut WI, AH sejak awal tahu akan kerja sebagai LC di Papua. Namun, AH berbohong dan menyampaikan bahwa mereka bakal dijadikan pelayan kedai kopi di Surabaya, Jawa Timur.
Tanpa memberitahu keluarga, WI ikut AH ke Surabaya menumpang mobil yang sudah dipesankan bos mereka. Namun, Surabaya hanyalah tempat transit. Mereka berjumpa sang mucikari di sana lalu diajak naik pesawat ke Makassar Sulawesi Selatan, kemudian ke Nabire, Papua Tengah.
WI baru sadar tentang pekerjaan yang bakal dijalaninya saat sudah dibawa ke Nabire. Sebab, sang mucikari dan suaminya setiap malam membawa WI dan anak-anak lain ke kafe untuk belajar menenggak minuman beralkohol.
(Jika bertemu dengan orang berbulu mata palsu), walaupun jauh (dari rumah) juga tetap pulang. (WI, 15)
Setelah beberapa hari di Nabire, mereka bertolak ke kawasan tambang emas di Distrik Bogobaida 99 Ndeotadi, Paniai, tanggal 19 Juli 2021. Mereka dibawa menumpang helikopter dari Nabire karena area pertambangan emas itu di tengah hutan.
Begitu tiba di tujuan, sang mucikari menuntun anak-anak ke kafenya yang bernama HH, tidak jauh dari tempat helikopter mendarat. WI dan kawan-kawannya disuruh meniru cara para LC senior merayu dan menggaet tamu yang datang agar mau mengonsumsi minuman beralkohol.
Tidak ada gaji pasti selain komisi Rp 100.000 per botol kecil dari setiap minuman beralkohol yang dibeli tamu. Sang mucikari membayarkan upah LC setelah seminggu bekerja.
Kekejaman sang mucikari mendorong WI diam-diam mengatur cara kabur. Melarikan diri dengan upaya sendiri tak mungkin, karena 99 Ndeotadi berada di hutan pedalaman Paniai yang hanya dapat diakses dengan helikopter, serta rawan terjadi konflik bersenjata. Maka, ia menghubungi sang ibu yang berada di Indramayu agar dapat melapor ke kepolisian.
WI terpaksa menemani tamu agar bisa mendapat uang untuk membeli kuota internet, lalu berkomunikasi dengan ibunya via WhatsApp. Ia terpaksa sekali melayani tamunya berhubungan seks dan dibayar Rp 3 juta, demi memiliki cukup uang sebelum kabur.
Perjuangan ibu WI di Indramayu berhasil. Polisi menjemput WI dan kawan-kawan pada 9 Agustus 2021, lalu WI berjumpa ibu dan keluarganya sepekan kemudian.
Pengalaman pilu itu tidak hanya membuat WI trauma dengan bulu mata palsu, gadis belia ini enggan melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas karena malu terus diledek.
Bahkan, ia sempat membolos satu bulan sewaktu SMP akibat perundungan teman-temannya, sebab kabar WI pernah bekerja sebagai LC di Papua sudah tersebar luas. “Malu, (saya) sempat enggak keluar rumah juga,” ucap WI.
Tipuan lowongan kerja sebagai pintu masuk prostitusi juga menjerat NT (19) yang kini tinggal di Compreng, Kabupaten Subang, Jabar. Ia penyintas eksploitasi anak di salah satu kafe di Gang Royal, Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara, awal tahun 2020. Waktu itu, ia belum genap 17 tahun.
NT di tahun tersebut belum menikah dan tinggal di rumah neneknya di Indramayu. Putus sekolah sewaktu kelas 1 SMP, NT sempat bekerja lalu menganggur lagi dan lebih banyak di rumah. Ia tidak betah akibat kerap kena omel sehingga berniat kerja lagi.
NT pun mencari informasi lewat satu grup Facebook. “Terus ada yang nge-chat ke akun saya, kalau mau ayo kerja di toko kosmetik gitu. Gajinya Rp 3,5 juta sebulan. Kan tergiur ya,” ujar ibu satu anak ini.
Keesokannya, mobil travel menjemput NT untuk menuju Jakarta. Ia lantas dijemput satu perempuan dan sepuluh laki-laki di suatu titik. Perempuan yang berperan sebagai calo itu pulalah yang menawari NT bekerja di toko kosmetik.
Perempuan itu ternyata membawa NT ke salah satu kafe di Rawa Bebek. NT lantas didandani di salon seberang kafe. Ia masih berpikir bakal kerja di toko kosmetik. Setelah disuruh mengenakan pakaian yang terbuka dan menemani tamu, baru ia paham bahwa disuruh menjadi LC.
Selepas jam kerja, NT dan perempuan lain disekap. Mereka dijaga tiga pria dengan pistol di pinggang masing-masing. Jika mau pulang, sang mucikari meminta NT menyediakan Rp 5 juta.
NT dapat informasi, setelah bekerja dua minggu ia bakal diwajibkan melayani tamu yang meminta layanan seksual. Beruntung, baru empat hari NT di sana, polisi menggerebek kafe tersebut dan menyelamatkan NT beserta anak lain sehingga mereka bisa kembali berkumpul dengan orangtua di rumah.
WI dan NT selalu teringat kisah pilu yang mereka alami hingga menyisakan trauma. Perdagangan manusia yang keji dapat mengancam masa depan anak-anak seperti mereka.