Anak-Anak Perempuan Dijual dan Dilacurkan
Tindak pidana perdagangan anak-anak masih terjadi di Indonesia dengan beragam modus. Investigasi Harian "Kompas" mengungkap kisah anak-anak perempuan yang dilacurkan.

RA (16) korban anak yang diperdagangkan lewat media sosial di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS - Tim Investigasi Harian "Kompas" sejak awal Januari hingga Februari menelisik keberadaan anak-anak perempuan belasan tahun yang diperdagangkan dan dipaksa menjadi pekerja seks komersial di Jakarta dan berbagai daerah.
Anak-anak tersebut terperangkap jaringan perdagangan manusia dengan berbagai tipu daya dari pelaku. Ada yang menjadi korban karena dijual lewat skema prostitusi daring, ada juga yang dijajakan di tempat layanan spa "plus" serta rumah bordil berkedok kafe.
Penelusuran di media sosial Twitter, menemukan akun @justmommy_eve yang menjual dua anak perempuan berusia 16 tahun. Foto-foto wajah anak tersebut dipajang tanpa sensor dan disertai tulisan “Ready exc Jakarta. Kelas 2 smp. Petite tocil girl”. Akun tersebut sempat dibekukan Twitter. Namun, mucikari yang menjual kedua anak tersebut, yakni CA membuat akun baru untuk kembali menawarkan mereka.
Baca juga : Diperdaya, Disiksa, Hingga Trauma dengan Bulu Mata Palsu
Selain di Twitter, CA menawarkan anak-anak perempuan ini di sebuah forum di internet. Salah satu yang dijual adalah RA, yang masih duduk di kelas VIII SMP. Tarif akan disebut jika ditanya lebih lanjut lewat WhatsApp.
RA ditawarkan seharga Rp 800 ribu per jam. Kepada pelanggan, CA menyebut RA hanya bisa melayani sore hingga malam sebelum pukul 21.00 lantaran menyesuaikan waktu sepulang sekolah. RA mesti dijemput untuk datang ke lokasi pertemuan, khusus di area Jakarta Pusat.

RA (16) korban anak yang diperdagangkan lewat media sosial di Jakarta.
Saat ditemui, RA, yang masih berusia 16 tahun mengaku terpaksa mau dijual dalam bisnis prostitusi daring karena terdesak kebutuhan ekonomi keluarga. “Kalau enggak kayak gini, mau makan dari mana. Sungkan juga minta uang ke mama, apalagi waktu lihat dagangan belum habis,” ucap RA, Februari silam.
Ibu dan ayah RA bercerai saat dia masih SD. Sang ibu harus banting tulang sendirian berjualan makanan. RA dengan adik dan kakaknya tinggal bersama sang ibu di rumah petak kawasan padat penduduk Jakarta Pusat. Rumah itu juga dijadikan warung nasi.
RA terperangkap dalam dunia prostitusi daring sejak 13 tahun saat masih duduk di kelas VI SD. Saat itu, dia diiming-imingi uang belasan juta untuk menjual keperawanannya. Kesulitan ekonomi mendorong RA menerima tawaran untuk melakukan hal itu. Dari situ dia mendapat bayaran Rp 15 juta untuk pertama kalinya.

Selepas menjual keperawanan, RA kerap mendapat tawaran melayani lelaki dengan waktu tidak terikat. Dia akhirnya menerima tawaran setidaknya sekali setiap pekan. Tidak ada anggota keluarga yang tahu aktivitasnya kecuali adiknya.
Baca juga : Perdagangan Anak Terus Berulang
Saat ditemui, CA (24) mengaku baru memperdagangkan RA dan satu anak perempuan lain di media sosial sebulan terakhir. RA serta sejumlah anak lainnya didapat CA lewat kenalan dari sepupunya yang kerap menjual anak untuk bisnis prostitusi.
CA dulunya adalah pekerja seks. Kini dia lebih fokus menawarkan perempuan lain, termasuk yang masih anak. Dari penghasilan yang didapat, CA membagi hasil 50:50 kepada anak yang dijual. “Dari kenalan sepupu ini, saya dapatkan mereka lewat kabar mulut ke mulut. Dibawalah sama dia anak SMP,” ucap CA.
Dijerat utang
Anak perempuan lain yang juga jadi korban perdagangan anak dan dilacurkan adalah UNA (16). Siswa kelas XI SMA ini bekerja di sebuah spa di Jakarta yang menyediakan pijat plus alias layanan seksual.

UNA (16) korban perdagangan anak menjadi terapis di salah satu spa plus di Jakarta
UNA terjebak di spa “plus” ini karena berawal dari keinginannya untuk memiliki penghasilan demi membayarkan utang mendiang ibunya yang meninggal dua tahun silam. Utang ibunya itu dipakai untuk biaya pengobatan.
Awalnya UNA mencari lowongan pekerjaan yang tidak memerlukan ijazah SMA. Dia kemudian memperoleh informasi lowongan kerja di sebuah situs yang mencantumkan pekerjaan terapis bagi perempuan tanpa menyertakan syarat KTP dan ijazah. Ada nomor kontak pada lowongan kerja tersebut.
“Aku sampai pernah juga minum obat tidur berharap besok enggak bangun lagi. Terus enggak usah kerja di tempat itu lagi,” (UNA)
Nomor kontak yang dicantumkan milik agen penyalur tenaga terapis. Ketika ditemui UNA, agen tersebut mengiming-imingi penghasilan Rp 500.000 – Rp 1 juta per hari. UNA juga langsung memperoleh uang Rp 5 juta yang disebut untuk membeli baju dan peralatan kosmetik. Belakangan uang tersebut dibebankan sebagai utang.
Segala hal terkait pekerjaan UNA di spa harus dibicarakan lewat agen tidak dapat langsung ke manajemen. Setelah 2 bulan bekerja, UNA sempat mengutarakan ingin berhenti bekerja sebagai terapis, namun selalu ditahan-tahan oleh agen penyalurnya dengan alasan dia masih berutang Rp 5 juta yang baru dibayar Rp 1,5 juta. Selain itu, dokumen akta kelahiran UNA juga ditahan. “Padahal, saya sudah punya uang buat bayar sisa utang Rp 3,5 juta,” ucap UNA.
Saat ditemui Kompas, UNA berkali-kali menangis karena merasa tidak kuat lagi untuk bekerja di spa "plus" tersebut. Beberapa kali dia bicara terbata-bata sembari menggerakkan jemari tangannya. Dia tampak putus asa. “Aku sampai pernah juga minum obat tidur berharap besok enggak bangun lagi. Terus enggak usah kerja di tempat itu lagi,” kata UNA.
Sementara itu, tim mendapati seorang anak perempuan berinisial TA (16), yang menjadi korban perdagangan anak dan dijual menjadi pekerja seks komersial di Depok, Jawa Barat, oleh teman sepermainannya melalui aplikasi daring. TA dan temannya beroperasi di sebuah indekos yang juga berisi joki dan pekerja seks lain.

Korban perdagangan anak, TA (16), sedang mengikuti pelatihan salon di salah satu rumah aman di Jakarta pada Kamis (12/1/2023).
TA biasa ditawarkan lewat aplikasi daring oleh joki dengan memasang harga awal Rp 800 ribu, tetapi bisa ditawar. Menurut dia, dalam sehari dia bisa menerima pendapatan bersih rata-rata Rp 750 ribu.
Pada akhir November 2022, personel Polda Metro Jaya yang menyamar menjadi tamu menangkap TA dan jokinya di Depok.
Mudah diperdaya
Pengajar Departemen Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Bagong Suyanto, menyebut motif ekonomi senantiasa melatari perdagangan anak dengan segala bentuknya, termasuk prostitusi. Pelaku menjadikan perdagangan anak sebagai jalan pintas mendapatkan keuntungan. “Mengapa korbannya anak-anak? Karena anak-anak yang lebih mudah diperdaya,” ucap akademisi yang juga penulis buku Anak Perempuan yang Dilacurkan: Korban Eksploitasi di Industri Seksual Komersial tersebut.
“Mengapa korbannya anak-anak? Karena anak-anak yang lebih mudah diperdaya,” (Bagong Suyanto)
Anak yang masuk sarang pelacuran bisa terpicu beragam faktor, seperti tekanan ekonomi dan kurang perhatian orangtua. Mereka menanggung risiko yang sama dengan pekerja seks dewasa. Bahkan mereka lebih rentan tertular penyakit menular seksual serta HIV/AIDS karena organ genital belum tumbuh sempurna.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F01%2F29%2Fb981b556-27f1-4e22-9f6f-03af5e79537d_jpg.jpg)
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait (kanan) berbicara kepada dua tersangka yang dihadirkan dalam pengungkapan kasus kejahatan perdagangan orang dan perlindungan anak dengan korban tiga anak dibawah umur di Markas Polres Metro Jakarta Selatan, Rabu (29/1/2020). Kejahatan kekerasan dan perdagangan anak tersebut dilakukan di Apartemen Kalibata City Jakarta Selatan. Para korban ditawarkan untuk melayani transaksi seksual melalui aplikasi Michat. Polisi menahan enam tersangka dalam kasus tersebut.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, menilai, kasus perdagangan anak yang terus berulang tidak terlepas dari faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, hingga kesalahan pola asuh yang diterima anak. Kondisi ini membuat anak-anak rentan menjadi korban perdagangan.
Baca juga : Anak Mucikari Itu Ingin Seperti Ibunya...
Di sisi lain, permintaan di tengah masyarakat untuk memanfaatkan jasa sindikat perdagangan anak juga seakan tidak ada habisnya. "Ada unsur di mana ada orang yang mencari, dan ada pihak yang menyiapkan. Sehingga, kita punya kebutuhan, lalu ada orang yang menyediakan. Ini lah yang menyebabkan kasus (perdagangan anak) muncul dan sangat variatif modusnya," katanya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryati Solihah menjelaskan, ada dua macam eksploitasi seksual yang menjerat anak-anak, secara jaringan dan tanpa jaringan. Prostitusi dengan jaringan melibatkan calo dan mucikari, sedangkan prostitusi tanpa jaringan, korban tidak melibatkan perantara. Anak rentan terperosok ke prostitusi tanpa jaringan karena teknologi. Mereka bisa mengoperasikan aplikasi untuk langsung menjangkau calon konsumen.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong, mengatakan, pemerintah aktif menyisir media sosial dan laman daring agar konten-konten negatif diblokir. Penyisiran menggunakan mesin kecerdasan buatan bernama AIS (automatic identification system) serta patroli siber manual sebagai salah satu langkah untuk mencegah perdagangan anak.
Namun, penyisiran dan pemblokiran konten negatif hanya bisa di ruang digital ranah publik, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. Kominfo tak berwenang mengawasi arus informasi di ruang digital privat, seperti Michat dan WhatsApp.