Damar untuk Myanmar
Krisis di Hong Kong, Suriah, dan Yaman memberi gambaran bahwa krisis Myanmar bisa berlangsung lama jika terjadi pertarungan geopolitik kekuatan-kekuatan dunia. Keterlibatan ASEAN diharapkan bisa mencegah hal itu.
Hong Kong, Suriah, dan Yaman memberi gambaran tentang proyeksi suram yang akan dihadapi Myanmar. Sanksi internasional, keterlibatan pihak-pihak luar, dan upaya perlawanan warga selama bertahun-tahun di tiga tempat itu tidak menghasilkan perubahan seperti yang diharapkan.
Seperti pada Myanmar, komunitas internasional juga telah mengumumkan aneka sanksi terkait Hong Kong, Suriah, dan Yaman. Bahkan, aneka jenis senjata dan dana total miliaran dollar AS dikerahkan ke Suriah dan Yaman.
Baca juga: AS Tunda Deportasi Warga Myanmar
Setelah bertahun-tahun unjuk rasa di Hong Kong dan aneka sanksi internasional, Beijing menegaskan bahwa Hong Kong adalah wilayah tak terpisah dari China dan negara lain tidak boleh ikut campur. Alih-alih mengendur, Beijing semakin mengeratkan genggaman kepada China. Kini, para pegiat demokrasi Hong Kong harus memilih bertempur atau kabur. Secara faktual, Barat tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah fakta itu.
Di Suriah, setelah bertahun-tahun upaya politik dan pasokan persenjataan serta dana total miliaran dollar AS, Presiden Suriah Bashar al-Assad tetap berkuasa. Di Yaman, tiga faksi utama tetap baku tembak kala jutaan warga di negara itu kelaparan, tidak punya tempat tinggal, serta tidak punya akses pada pendidikan dan kesehatan atau layanan dasar lainnya.
Kini di Myanmar, setelah 1,5 bulan dilanda unjuk rasa tanpa henti dan aneka sanksi internasional, junta militer masih bertahan. Wakil Menteri Informasi Myanmar, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun mengatakan, junta menghormati upaya tetangganya. ”Walakin, kami punya jalan sendiri,” ujarnya di Naypyidaw, Myanmar, Kamis (11/3/2021).
Ia mengatakan, dialog sudah tidak diperlukan. Militer Myanmar, Tatmadaw, dinyatakan sudah beberapa bulan berusaha berdialog dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) soal apa yang selalu mereka sebut sebagai kecurangan pemilu pada November 2020. NLD memenangi pemilu itu secara meyakinkan. Karena merasa tidak ada tanggapan, Panglima Tatmadaw Jenderal Senior Min Aung Hlaing melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu.
Baca juga: Kisah Israel Memasok Senjata ke Myanmar
Pernyataan Zaw Min Tun seolah mengabaikan upaya dialog yang diupayakan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mengatasi krisis Myanmar. Tidak hanya ASEAN, China yang dituding mendukung Tatmadaw juga menyatakan dorongan pada dialog.
”Saya ragu ASEAN akan bisa mendorong junta membuka dialog. Kasus Rohingnya yang lebih serius saja tidak bisa membuat ASEAN berbuat lebih nyata,” kata Faisal Karim, peneliti kebijakan luar negeri pada Universitas Bina Nusantara.
Ia menyebutkan, langkah Indonesia sudah bagus dengan mengupayakan komunikasi kepada semua pihak di Myanmar. Dalam pertemuan dengan perwakilan junta di Bangkok, 24 Februari lalu, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menunjukkan isyarat tidak mengakui junta sebagai pemerintahan yang sah.
Alih-alih menyebut jabatannya, Retno hanya memanggil perwakilan junta dengan sapaan U Wunna Maung Lwin. ”U” berarti ”Paman” dalam bahasa Myanmar. Berbeda halnya kepada Menlu Thailand Don Pramudwinai yang ditemuinya sebelum bersua Wunna Maung Lwin, Retno menyebut dengan sapaan ”Menlu Don”. Retno selalu menyebut jabatan kepada perwakilan negara asing yang ditemuinya.
Baca juga: Korban Kekerasan Terus Berjatuhan, Suu Kyi Pun Dituduh Terima Suap
Faisal menyebutkan, pilihan sebutan itu menunjukkan upaya Indonesia tetap berimbang. Indonesia belum bisa mengakui junta sebagai pemerintahan yang sah. Namun, di sisi lain, secara faktual junta kini berkuasa. ”Pilihannya adalah ikut bermain dan bisa berkontribusi atau sama sekali berada di luar permainan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Situasinya tidak mengenakkan,” ujarnya.
Geopolitik
Dalam diplomasi, amat penting untuk tetap terlibat agar bisa berkontribusi pada penyelesaian krisis Myanmar. Apalagi, ada proyeksi bahwa krisis Myanmar bisa berlangsung panjang. Bagi ASEAN, menyelesaikan krisis Myanmar adalah kepentingan internalnya, bukan untuk menyenangkan pihak lain di luar kawasan.
Sebab, seperti terbukti dalam setidaknya tiga tahun terakhir, dampak konflik dan kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, ikut dirasakan anggota ASEAN lainnya. Sebagian pengungsi Rohingya, yang terusir akibat konflik itu, kini tersebar di beberapa negara ASEAN. Retno bolak-balik menegaskan, solusi krisis Rohingya ada di dalam negeri Myanmar. Rumah orang Rohingya adalah di Myanmar, tegas Retno.
ASEAN, meski dinilai kurang keras soal Rohingya dan kini dihadapkan pada perkara kudeta, terus berusaha menyelesaikan krisis Myanmar. Salah satu soal yang harus dipertimbangkan ASEAN adalah faktor geopolitik. Faktor itu mau tidak mau harus ditimbang di tengah persaingan Amerika Serikat dan sekutunya dengan China di Asia Pasifik.
Baca juga: Junta Myanmar Mainkan Isu China
Faktor geopolitik, meski tidak persis sama dengan Suriah dan Yaman, menjadi salah satu penyebab solusi krisis Myanmar sulit dicari. Jika ASEAN dan Barat terlalu keras, junta bisa sewaktu-waktu secara nyata memihak kepada China.
Akan tetapi, kondisi itu tidak serta-merta membuat Beijing bisa menekan Tatmadaw untuk berdialog. Tatmadaw telah menunjukkan niat untuk sewaktu-waktu menjauhi Beijing dan merapat ke Barat. Tandanya adalah pengakuan mantan agen intelijen Israel, Ari Ben-Menashe.
Ben-Menashe mengaku dibayar junta untuk melobi Barat. Dalam pernyataan pertamanya, Ben-Menashe menyebut junta melancarkan kudeta karena pemerintahan sipil pimpinan NLD dinilai terlalu dekat dengan Beijing.
Di Suriah dan Yaman, dimensi geopolitik merupakan salah satu penyebab krisis berlangsung bertahun-tahun. Pada awal krisis Suriah, sejumlah diplomat juga membelot dari pemerintahan Assad.
Baca juga: Satu Dekade Perang yang Mengubah Timur Tengah
Hal yang sama terjadi dengan Myanmar sekarang. Wakil Tetap Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun mengecam junta pada forum resmi PBB. Sejumlah diplomat Myanmar juga disebut tak mendukung kudeta.
Selain pembelotan diplomat, ada pula kucuran miliaran dollar AS dan aneka persenjataan serta informasi intelijen dari negara-negara Barat kepada oposisi Suriah. Walakin, Assad tetap bertahan sampai kini. Dukungan Iran dan Rusia menjadi kunci Assad mampu bertahan.
Rusia membutuhkan Suriah sebagai cara memperluas pengaruh di Timur Tengah. Iran butuh Suriah guna mendekatkan jangkauan ke Israel.
Ekonomi
Di Myanmar, komunitas internasional tidak benar-benar serius menerapkan sanksi. Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengeluhkan ketidakseriusan sanksi itu. Sejak 2019, PBB telah mengeluarkan daftar badan usaha yang dikendalikan Tatmadaw. Penyelidik PBB menyampaikan pesan tegas kala daftar itu dikeluarkan: putuskan hubungan dengan mereka.
Baca juga: Polisi Myanmar: Kami Dapat Perintah untuk Menembak Mati Pengunjuk Rasa
Akan tetapi, pesan itu tidak didengar. Dalam APBN Myanmar 2019-2021 terungkap jutaan dollar AS mengalir dari Myanmar ke perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, Eropa, dan kawasan atau negara lain. Cellebrite dan Gaia (Israel), MSAB (Swedia), BlackTag (AS) adalah sebagian perusahaan yang menerima pembayaran dari Myanmar untuk pasokan perangkat mata-mata digital dan kendaraan tempur. Senjata buatan Korea Selatan hingga Turki juga terlihat dipakai selama kudeta dan pemberangusan unjuk rasa beberapa pekan terakhir.
Junta bisa membayar semua itu karena cengkeraman kuat mereka atas perekonomian Myanmar. PBB dan Amnesty International pernah mengeluarkan laporan yang memaparkan perusahaan-perusahaan terkait dengan Tatmadaw. Perusahaan-perusahaan itu menyediakan rokok, layanan telepon seluler, sampai pertambangan minyak dan gas bumi. Anak Min Aung Hlaing, Aung Pya Sone, mempunyai beberapa perusahaan yang sahamnya juga ikut dikendalikan Tatmadaw.
Baca juga: ”Tembak Saya Saja”
Perusahaan-perusahaan tersebut juga menghasilkan miliaran dollar AS bagi Tatmadaw. Dengan dana itu, Tatmadaw bisa menopang operasinya sembari memberi hadiah terhadap para pendukung. Para perwira Tatmadaw diketahui berada dalam daftar pemegang saham atau pejabat pengelola.
Dengan kekuatan itu, Tatmadaw bisa mengejutkan Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener. Kepada dia, Tatmadaw menyatakan tidak takut dengan sanksi internasional. Selama bertahun-tahun, Tatmadaw dan para perwiranya sudah bolak-balik diberi sanksi dan tetap bertahan sampai sekarang.
Semua tantangan itu memang bisa membuat harapan padam. Walakin, walau nyala asanya hanya sekecil kerlip sinar damar, pemulihan demokrasi di Myanmar harus dijaga dan diupayakan bersama. (AP/REUTERS)