Demonstran antikudeta militer di Myanmar saling melindungi satu sama lain meski aksinya dibalas tindak kekerasan oleh aparat keamanan hingga jatuh korban. Sikap berani telah ditunjukkan oleh Suster Ann Rose Nu Tawng.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Berlutut di jalanan berdebu kota Myitkyina di utara Myanmar, Suster Ann Rose Nu Tawng memohon kepada sekelompok polisi untuk mengampuni ”anak-anak” dan mengambil nyawanya sebagai ganti.
Keberanian biarawati Katolik dengan pakaian putih dan tangan terentang saat memohon kepada pasukan junta Myanmar yang akan menindak unjuk rasa menjadi viral dan mendapat pujian di negara dengan mayoritas umat Buddha itu.
”Saya berlutut, memohon agar mereka tidak menembak dan menyiksa anak-anak, tapi tembak dan bunuhlah saya,” katanya.
Sikap Nu Tawng di kota Myitkyina, Senin (8/3/2021), itu ditunjukkan saat gelombang protes melanda Myanmar pascakudeta militer yang menggulingkan pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari lalu.
Saat unjuk rasa ribuan rakyat Myanmar menuntut kembalinya demokrasi berlangsung, junta militer mulai meningkatkan tekanan dengan memakai gas air mata, meriam air, peluru karet, dan peluru tajam untuk membubarkan demonstrasi.
Pada Senin, para demonstran yang memakai topi dan membawa pelindung diri bikinan sendiri sebagai perisai memenuhi jalanan Myitkyina, ibu kota Negara Bagian Kachin. Ketika polisi mulai mengelilingi mereka, Nu Tawng dan dua suster lain memohon kepada mereka untuk pergi.
”Polisi mengejar untuk menangkap mereka dan saya khawatir akan anak-anak,” ujarnya. Saat itulah perempuan berusia 45 tahun itu berlutut.
Beberapa saat kemudian, saat ia memohon agar polisi menahan diri, polisi justru mulai menembaki kerumunan pemrotes di belakangnya. ”Anak-anak panik dan lari ke depan, saya tidak bisa berbuat apa pun kecuali berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan anak-anak,” ucap Nu Tawng.
Awalnya ia melihat seorang laki-laki tertembak di kepala dan tumbang di hadapannya, lalu ia merasakan sengatan gas air mata.
”Rasanya seperti dunia sedang runtuh,” ujarnya. ”Saya sangat sedih karena itu terjadi saat saya memohon kepada mereka.”
Regu penyelamat mengonfirmasi bahwa dua orang tertembak mati di lokasi tersebut saat bentrokan antara demonstran dan polisi terjadi. Namun, belum diketahui jenis peluru apa yang dipakai polisi untuk menembak mati keduanya.
Pada Selasa (9/3/2021), salah seorang demonstran yang tewas saat berunjuk rasa, Zin Min Htet, dibaringkan dalam peti kaca dan dibawa mobil jenazah berwarna emas yang ditutupi bunga berwarna putih dan merah.
Para pelayat mengacungkan salam tiga jari sebagai simbol pembangkangan saat musik instrumental dimainkan untuk mengawali proses pemakaman.
Kachin, negara bagian di bagian paling utara Myanmar, adalah rumah etnis Kachin sekaligus tempat konflik antara kelompok etnis bersenjata dan militer selama bertahun-tahun.
Puluhan ribu warga telah meninggalkan rumah mereka dan tinggal di kamp-kamp di seluruh wilayah Kachin. Salah satu organisasi yang memberikan bantuan kepada mereka adalah komunitas Kristen.
Unjuk rasa Senin kemarin bukan kontak pertama Suster Nu Tawng dengan pasukan keamanan Myanmar. Pada 28 Februari 2021, ia juga pernah memohon belas kasihan dengan berjalan perlahan ke arah polisi, berlutut dan memohon mereka untuk berhenti.
”Saya sudah menganggap diri saya mati sejak 28 Februari,” katanya setelah ia memutuskan untuk menghadapi barisan polisi.
Pada Senin kemarin, ia kembali mengulangi permohonan belas kasihan terhadap pengunjuk rasa sambil dikelilingi oleh sesama suster. ”Kami di sana untuk melindungi sesama saudara dan orang-orang karena mereka dalam bahaya,” kata Suster Mary John Paul.
Sejak kudeta militer, Myitkyina telah menyaksikan tindakan keras otoritas, termasuk kekerasan saat membubarkan aksi damai guru bulan lalu.
Sejauh ini, menurut lembaga Assistance Association for Political Prisoners, ada lebih dari 60 orang tewas dalam demonstrasi antikudeta di seluruh Myanmar.
Meski terlihat berani, sebenarnya Suster Nu Tawng juga takut setengah mati dalam hatinya. Namun, ia harus memberanikan diri dan akan terus berdiri membela ”anak-anak”.
”Saya tidak bisa berdiam diri dan melihat tanpa melakukan apa pun, melihat apa yang terjadi di depan mata saya, sementara Myanmar berduka,” ujarnya. (AFP)