Tiga Lagi Pengunjuk Rasa Dibunuh, Bisnis di Myanmar Terhenti
Untuk melawan junta, ribuan buruh dari sembilan serikat pekerja Myanmar mogok. Pertokoan, pabrik, bank, kantor dan layanan publik tutup karena pegawai dan pekerja mogok.
Rezim militer Myanmar terus membunuh pengunjuk rasa. Junta tidak gentar setelah sering selamat dari sanksi internasional. Namun, kini tekanan kelas pekerja mulai terasa.
YANGON, SENIN -- Sedikitnya tiga pengunjuk rasa kembali ditembak mati oleh aparat keamanan junta militer Myanmar, Senin (8/3/2021). Aparat juga melemparkan granat kejut dan gas air mata untuk menghalau massa dalam aksi protes terhadap kudeta militer.
Untuk melawan junta, ribuan buruh dari sembilan serikat pekerja mogok. Pertokoan, pabrik, bank, kantor dan layanan publik tutup karena pegawai dan pekerja mogok.
Foto dua pengunjuk rasa yang tewas di kota Myitkyina tersebar di media sosial. Seorang lagi pengunjuk rasa tewas dibunuh dalam aksi protes di Phyar Pon, Delta Irrawaddy.
”Kami berhak protes secara damai. Aparat junta tidak berperikemanusiaan, membunuh warga sipil yang tidak bersenjata,” kata peserta aksi.
Sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, hampir 60 peserta aksi damai untuk memprotes kudeta itu tewas. Namun, hal itu tidak menyurutkan perlawanan. Gelombang protes terjadi di Yangon, Mandalay, dan kota lain.
Pengunjuk rasa di kota Dawei bahkan dilindungi Persatuan Nasional Karen, kelompok bersenjata etnis yang sejak lama berperang melawan militer.
Baca juga: Myanmar Kembali ke Titik Nol
Rezim junta militer, kemarin, juga mencabut izin usaha lima media massa karena aktif meliput aksi protes massa. Kelima media independen itu adalah Mizzima, Myanmar Now, 7-Day, DVB, dan Khit Thit Media.
Merasa tetap selamat setelah berulang kali diberi sanksi oleh komunitas internasional, junta militer Myanmar kini tak gentar menghadapi tekanan internasional. Itu sebabnya, junta pun merasa leluasa melakukan kekerasan, penyiksaan, penangkapan, penculikan, dan tindakan lain yang menurut aktivis melanggar hak asasi manusia (HAM).
Aksi mogok
Setidaknya sembilan serikat pekerja di sektor konstruksi, pertanian, dan pabrik mengajak seluruh rakyat Myanmar untuk mogok sebagai perlawanan terhadap kudeta dan junta militer Myanmar serta ingin memulihkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi.
Dalam pernyataan tertulis sembilan serikat itu disebutkan tetap membiarkan kegiatan bisnis dan ekonomi akan membantu militer. ”Ini saatnya bertindak mempertahankan demokrasi,” kata pernyataan itu.
Baca juga: Pengunjuk Rasa: Kami Tolak Kediktatoran Militer, Inginkan Demokrasi
Hanya beberapa toko kecil yang masih buka di Yangon. Sementara toko-toko besar tutup dan tidak ada karyawan pabrik yang masuk. Pemimpin protes, Maung Saungkha, di laman Facebook mengajak perempuan untuk ikut turun ke jalan memprotes kudeta.
”Rakyat kita tidak bersenjata, tetapi bijaksana. Junta militer berusaha berkuasa dengan menyebarkan ketakutan, tetapi kami akan tetap melawan,” ujarnya.
Sejauh ini, aparat junta mengaku hanya menahan 40 orang. Namun, kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik menyebutkan, 1.800 orang ditahan aparat.
Manajer kampanye partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Khin Maung Latt, tewas dalam tahanan, Minggu (7/3), diduga karena disiksa. Anggota parlemen Myanmar, Ba Myo Thein, mengatakan, di tubuh dan kepala Latt terluka parah dan diduga ia disiksa dengan kejam.
Kekerasan aparat junta memicu protes dan kemarahan komunitas internasional. AS dan negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi terbatas pada junta. AS memblokir upaya junta mengakses lebih dari 1 miliar dollar AS di bank sentral Myanmar yang ditahan di AS.
Australia memutuskan kerja sama program pelatihan pertahanan keamanan dengan Myanmar senilai 1,2 juta dollar AS selama lima tahun. China siap membantu mengatasi krisis dan tidak membela pihak mana pun.
Baca juga: Massa di Australia Demo Dukung Protes Antikudeta di Myanmar
Aktivis dan pakar meminta negara-negara mengucilkan junta. Masih ada cara menekan junta, yakni memutus sumber pendanaan dan akses pada perlengkapan militer yang digunakan untuk menindas rakyat sipil.
”Butuh tindakan kolektif. Militer Myanmar tidak bisa dibiarkan begitu saja,” ujar Utusan Khusus PBB untuk Christine Schraner Burgener.
Menurut Pelapor Khusus PBB, Thomas Andrews, kepentingan ekonomi junta militer Myanmar tetap tidak tergoyahkan. Sejumlah negara sudah menghentikan bantuan untuk Myanmar dan Bank Dunia pun sudah melakukan hal serupa.
Andrews dan sejumlah pakar serta aktivis HAM mendorong adanya larangan untuk berhubungan dengan perusahaan-perusahaan Myanmar yang terkait dengan militer.
Komunitas internasional juga didorong untuk melakukan embargo persenjataan dan teknologi, produk, dan layanan yang akan bisa digunakan rezim junta militer untuk melakukan kekerasan dan pemantauan.
Baca juga: Merespon Kebrutalan Aparat Junta, AS Perketat Pengawasan Ekspor ke Myanmar
Kelompok aktivis, Keadilan untuk Myanmar, mengeluarkan daftar berisi puluhan perusahaan asing yang diduga memberikan perlengkapan bagi militer untuk melakukan represi. Dalam dokumen anggaran untuk Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Transportasi dan Komunikasi yang menunjukkan pembelian data forensik, pelacakan, pemulihan kode sandi, pesawat tanpa awak, dan peralatan lain dari AS, Israel, Uni Eropa, Jepang, dan negara lain.
Teknologi semacam itu dimanfaatkan junta militer untuk melacak pengunjukrasa baik secara online maupun offline. Membatasi hubungan kerja sama bisnis dengan konglomerat yang dikuasai militer termasuk Myanmar Economic Corp, Myanmar Economic Holdings Ltd , dan Myanmar Oil and Gas Enterprise juga diyakini akan bisa memengaruhi junta militer tetapi tidak berdampak pada individu, perusahaan kecil dan swasta.
Baca juga: Dunia Geram dan Kewalahan Menghadapi Junta Militer Myanmar
Salah satu ide menekan junta militer yang mulai banyak mendapat dukungan komunitas internasional adalah mencegah upaya junta militer mengakses keuntungan dari hasil minyak dan gas yang ada di bank-bank di luar Myanmar.
Mantan anggota Misi Pencari Fakta Independen Internasional untuk Myanmar di PBB, Chris Sidoti, menjelaskan minyak dan gas merupakan ekspor terbesar Myanmar dan sumber devisa penting yang dibutuhkan untuk membayar impor. Industri minyak, gas, dan pertambangan senilai 1,4 miliar dollar AS di Myanmar menyumbang lebih dari sepertiga ekspor dan mayoritas pendapatan pajak.
"Suplai uang itu yang harus diputus. Langkah itu yang paling penting dan paling langsung yang bisa dilakukan," kata Sidoti yang juga merupakan anggota kelompok internasional, Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar.
Namun, sayangnya, langkah-langkah seperti itu membutuhkan waktu dan komitmen dari berbagai pihak. Padahal, kata Sidoti, rakyat Myanmar membutuhkan bantuan segera karena aparat keamanan semakin brutal.
Perekonomian Myanmar sempat merana saat diisolasi setelah kudeta tahun 1962. Banyak sanksi dari negara-negara barat yang kemudian dicabut setelah Myanmar mulai transisi ke arah demokrasi pada 2011.
Namun, sebagian sanksi kembali dijatuhkan setelah perlakuan brutal militer terhadap komunitas minoritas muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. (REUTERS/AFP/AP/CAL)