Hubungan keamanan Israel-Myanmar semakin kuat hingga mencapai puncaknya pada 2015 saat Kepala Staf Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing berkunjung ke Israel. Sejak itu, pasokan senjata Israel ke Myanmar gencar.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Israel sejak lama mengincar Myanmar sebagai pintu masuk membangun pengaruh di Asia Tenggara. Israel melihat letak geografis Myanmar sangat strategis. Myanmar berada di kawasan Asia Tenggara, sekaligus bertetangga dengan kawasan Asia Selatan, khususnya Bangladesh.
Israel butuh Myanmar untuk memantau dari dekat negeri Bangladesh, negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang anti-Israel. Bagi Tel Aviv, menginjak kaki di Myanmar mendapat dua kawasan sekaligus, yaitu Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Dalam konteks ini, Israel melihat jalan mulus menuju Myanmar adalah melalui transaksi senjata. Jalan ini yang kemudian ditempuh Israel dan segera mendapat sambutan positif dari Myanmar.
Laporan investigasi televisi Al Jazeera yang dirilis pekan ini mengungkap kisah hubungan Israel-Myanmar dimulai pada 1953. Presiden Myanmar yang dulu bernama Burma, Ba U, mengunjungi Israel pada 1955. PM Israel David Ben Gurion mengunjungi Myanmar pada 1961.
Sejak 1950-an dan 1960-an, Israel sudah aktif memasok senjata ke Myanmar, tetapi dalam skala kecil.
Di tengah hubungan pasang surut antara Myanmar dan negara-negara Barat pascakudeta militer 1962, Myanmar melihat membangun hubungan dengan Israel adalah salah satu pintu menjaga hubungan baik dengan dunia Barat. Namun, Israel memilih menjaga jarak dengan Myanmar pascakudeta militer tersebut sehingga hubungan Israel-Myanmar juga mengalami pasang surut.
Kisah kembalinya hubungan kuat Israel dan junta militer di Myanmar dimulai 1988. Saat itu, junta militer merasa sangat butuh Israel sebagai jembatan untuk melakukan komunikasi dengan dunia Barat, khususnya AS. Maka, mulailah Israel pada Agustus 1989 memasok senjata lagi ke Myanmar dengan mengirim dua kapal yang berisi senjata buatan Israel.
Saat itu, Israel memasok ke Myanmar rudal antitank tipe 55 mm dan bom tangan tipe 40 mm. Inilah awal transaksi senjata Israel-Myanmar pada era kekuasaan junta militer.
Hubungan keamanan Israel-Myanmar terus semakin kuat hingga mencapai puncaknya pada 2015 ketika Kepala Staf Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing berkunjung ke Israel saat itu. Min Aung Hlaing kini adalah Panglima Tertinggi Militer Myanmar dengan pangkat jenderal senior. Dialah pemimpin kudeta militer, 1 Februari lalu.
Di Israel, kala itu Min Aung Hlaing mengunjungi industri militer, pangkalan udara dan laut Israel. Dalam kunjungan itu, ia menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Israel dalam bentuk penjualan senjata ke Myanmar, pelatihan militer, dan kerja sama intelijen.
Di Israel, Min Aung Hlaing juga bertemu dengan Presiden Israel Reuven Rivlin dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel saat itu, Benny Gantz.
Seusai kunjungan Min Aung Hlaing ke Myanmar itu, arus pasokan senjata Israel ke Myanmar semakin gencar. Pada 2016, Kepala Divisi Ekspor Senjata Israel Michael Ben Baruch mengunjungi Myanmar. Pada saat itu, ditandatangani kesepakatan pembelian kapal perang Super-Dvora MK III senilai 10 juta dollar AS dan jenis senjata lainnya dari Myanmar ke Israel.
Kapal perang Super-Dvora MK III adalah buatan pabrikan Ramta Industries di Israel. Disinyalir, Israel juga memasok sekitar 100 tank dan kendaraan lapis baja ke Myanmar dalam beberapa tahun terakhir ini.
Setelah tahun 2016, Israel mulai memasok kendaraan lapis baja ke Myanmar yang berasal dari pabrikan senjata Gaia Industries di Israel. Pabrikan senjata Rafael di Israel juga memasok peluncur rudal ke Myanmar. Pabrikan senjata di Israel yang aktif memasok produknya ke Myanmar di antaranya Rafael, Gaia Industries, The Ramta Aerospace industries, dan TAR ideal Concepts.
Senjata buatan Israel yang berhasil dibeli Myanmar tersebut diduga kuat menjadi andalan senjata yang digunakan junta militer untuk menindas etnis minoritas Rohingya dan kini untuk meredam gerakan antikudeta di negara tersebut. Pasokan gencar senjata Israel ke Myanmar yang dimulai pada 2016 tersebut bersamaan dengan aksi gencar Myanmar menindas etnis minoritas Rohingya pada tahun itu.
Kapal perang Super-Dvora MK III buatan Israel digunakan secara aktif oleh junta militer untuk memantau gerakan pengungsi Rohingya menuju Bangladesh. Meski AS dan Eropa melancarkan blokade atas Myanmar pascakudeta militer pada 1 Februari lalu, hubungan keamanan dan intelijen Israel-Myanmar masih terus berlanjut.
Harian Israel, Haaretz, menyebut hubungan Israel-Myanmar tidak terkait dengan situasi dalam negeri Myanmar, tetapi lebih pada kepentingan geopolitik Israel di Asia Tenggara dan Asia Selatan.