Polisi Myanmar: Kami Dapat Perintah untuk Menembak Mati Pengunjuk Rasa
Kesaksian polisi Myanmar yang melarikan diri ke India mengungkap adanya perintah para komandan kepada polisi di lapangan untuk menembak mati pengunjuk rasa antikudeta. Sebagian polisi disebut mendukung pengunjuk rasa.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Tha Peng (27), polisi Myanmar berpangkat kopral, mendapat perintah untuk menembak para pengunjuk rasa dengan senapan mesin ringan guna membubarkan massa di kota Khampat, Myanmar, 27 Februari lalu. Ia menolak perintah tersebut.
Sehari kemudian, ada petugas kepolisian yang menelepon Tha Peng dan menanyakan, apakah ia akan menembak pengunjuk rasa seperti yang diperintahkan atasannya. Tha Peng kembali menolak, lalu memilih mengundurkan diri dari kepolisian.
Pada 1 Maret lalu, Tha Peng memutuskan meninggalkan rumah dan istri serta dua putrinya di Khampat. Ia menyeberang ke Negara Bagian Mizoram, India. Khawatir ketahuan pergi, Tha Peng bepergian melalui jalur darat dan hanya berjalan pada malam hari. Tiga hari kemudian, ia sampai di Mizoram.
”Saya tidak punya pilihan lain,” kata Tha Peng, yang didampingi penerjemah, dalam wawancara.
Tha Peng tidak memberikan nama lengkapnya untuk melindungi identitas aslinya. Ia hanya menunjukkan kartu anggota kepolisian miliknya. Selain dirinya, kata Tha Peng, ada enam rekan polisi lain yang juga menolak perintah menembak pengunjuk rasa.
Berdasarkan dokumen rahasia kepolisian Mizoram, deskripsi peristiwa tersebut serupa dengan deskripsi yang diberikan oleh empat anggota polisi Myanmar lain kepada kepolisian Mizoram. Keempat polisi itu menyeberang ke India, 1 Maret lalu. Di dalam dokumen yang ditulis oleh kepolisian Mizoram, ada rincian data perjalanan empat polisi itu dan alasan meninggalkan Myanmar.
”Dengan semakin menguatnya gerakan pembangkangan sipil dan protes oleh pengunjuk rasa antikudeta di berbagai tempat, kami diperintahkan untuk menembak pengunjuk rasa. Kami tidak berani menembak rakyat sendiri yang berunjuk rasa dengan damai,” sebut para polisi Myanmar dalam pernyataan bersama ke kepolisian Mizoram.
Kesaksian para polisi Myanmar itu bertentangan dengan pernyataan junta militer Myanmar yang pernah menegaskan bahwa aparat keamanan Myanmar sudah menahan diri dalam menangani demonstrasi oleh ”pengunjuk rasa yang rusuh”. Junta militer menuduh para pengunjuk rasa menyerang polisi dan mengganggu keamanan serta stabilitas nasional.
Tha Peng merupakan satu kasus dari kasus-kasus awal yang dilaporkan ke media massa terkait anggota kepolisian yang meninggalkan Myanmar setelah tidak mematuhi perintah dari junta militer. Kelompok advokasi, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, mengatakan, gelombang unjuk rasa menentang kudeta dilakukan di banyak daerah. Lebih dari 60 pengunjuk rasa tewas dan lebih dari 1.800 orang ditahan.
Menurut salah seorang petugas senior kepolisian India, sedikitnya 100 orang dari Myanmar—mayoritas adalah anggota polisi bersama anggota keluarganya—sudah menyeberang masuk ke wilayah India sejak awal gelombang protes terjadi. Dari informasi tiga warga Myanmar, ada beberapa anggota polisi yang berlindung di Distrik Champai dan Mizoram, yang berbatasan dengan wilayah Myanmar.
Perintah tembak mati
Selain memperlihatkan kartu anggota kepolisian, Tha Peng juga menunjukkan foto ketika masih memakai seragam polisi Myanmar. Tha Peng bergabung dengan kepolisian Myanmar sembilan tahun lalu. Ia menuturkan, sesuai dengan aturan kepolisian Myanmar, para pengunjuk rasa harus dihentikan dengan peluru karet atau ditembak di bagian bawah lutut.
Namun, kali ini ia malah mendapat perintah dari beberapa atasannya untuk ”menembak pengunjuk rasa sampai tewas”.
Ngun Hlei (23), polisi Myanmar yang ditempatkan di kota Mandalay, juga mengaku mendapat perintah untuk menembak pengunjuk rasa. Tha Peng dan Ngun Hlei yakin, kepolisian Myanmar hanya menjalankan perintah dari junta militer Myanmar atau Tatmadaw. Namun, tidak ada bukti yang mendukung pernyataan mereka.
Di dalam dokumen rahasia kepolisian Mizoram juga disebutkan, ada empat polisi Myanmar yang bersedia menjalankan perintah menembak itu. ”Militer menekan aparat kepolisian yang mayoritas berpangkat kopral untuk berhadapan dengan rakyat,” sebut dokumen tersebut.
Ngun Hlei mengaku, ia juga ditegur karena tidak mematuhi perintah atasan, lalu ia dipindah. Ia kemudian mencari bantuan dari para aktivis prodemokrasi secara daring dan akhirnya ia memutuskan melarikan diri melalui jalur darat ke Desa Vaphai, Mizoram, 6 Maret lalu. Biaya perjalanannya untuk menyeberang ke India sekitar 143 dollar AS.
Meski dijaga oleh petugas paramiliter India, perbatasan India dan Myanmar memiliki zona ”rezim pergerakan bebas” yang memperbolehkan orang untuk masuk ke wilayah India tanpa perlu memiliki surat izin perjalanan.
Dal (24) mengungkapkan, ia bekerja sebagai polisi di kepolisian Myanmar di wilayah Pegunungan Falam, Myanmar. Tugasnya lebih banyak berkutat dengan administrasi, termasuk membuat daftar orang yang ditahan oleh kepolisian. Namun, sejak protes antikudeta meletus di Myanmar, ia diperintahkan untuk menangkap perempuan pengunjuk rasa. Tetapi, ia juga menolak perintah tersebut.
Khawatir dijebloskan ke penjara karena dianggap mendukung pengunjuk rasa dan gerakan pembangkangan sipil, Dal memutuskan untuk meninggalkan Myanmar.
Dukung pengunjuk rasa
Ketiga narasumber yang ditemui mengatakan, sebenarnya di dalam kepolisian Myanmar ada sebagian polisi yang mendukung para pengunjuk rasa. ”Di markas kepolisian, sekitar 90 persen mendukung pengunjuk rasa, tetapi tidak ada tokoh atau pemimpin yang menyatukan mereka,” kata Tha Peng.
Seperti halnya warga Myanmar lain yang meninggalkan Myanmar beberapa hari terakhir ini, ketiga narasumber itu juga sudah tersebar ke wilayah yang berbeda di sekitar Champai dengan didukung jaringan aktivis lokal.
Saw Htun Win, Wakil Komisaris Distrik Falam, Myanmar, pekan lalu, menulis surat kepada pejabat Pemerintah Champai, Wakil Komisaris Maria CT Zuali, berisi permintaan agar delapan polisi yang masuk ke India untuk dikembalikan ke Myanmar ”demi menjaga hubungan pertemanan antara Myanmar dan India”.
Kepala Menteri Mizoram, Zoramthanga, menyatakan, pemerintahannya akan menyediakan makanan dan tempat tinggal sementara bagi siapa saja yang melarikan diri dari Myanmar, tetapi keputusan untuk merepatriasi mereka masih ditunda oleh pemerintah federal India.
Tha Peng mengaku, meski ia sangat merindukan keluarganya, ia masih takut untuk pulang ke Myanmar. ”Saya tidak mau kembali ke Myanmar,” ujarnya. (REUTERS)