Junta militer Myanmar terus mengemukakan pembenaran atas tindakan kudeta 1 Februari lalu sekaligus untuk meredakan tekanan sanksi internasional yang digalang negara-negara Barat.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
YANGON, SENIN — Sembari mempertahankan kebrutalannya, junta militer Myanmar mengajukan alasan baru untuk membenarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil. Alasan itu, seperti dikemukakan oleh pelobi yang ditunjuk junta, adalah mencegah Myanmar terlalu dekat dengan China. Sebelum ini, junta dituding melancarkan kudeta dengan dukungan China.
Kebrutalan junta, antara lain, ditunjukkan dengan penembakan terhadap pengunjuk rasa di Bagan, salah satu kota di Myanmar, Minggu (7/3/2021). Seorang pemuda berusia 19 tahun dilaporkan tertembak di wajah. Hingga berita ini dilaporkan, kondisinya belum diketahui.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, sedikitnya 50 orang tewas tertembak di berbagai unjuk rasa. Selain itu, Asosiasi Narapidana Politik menyebutkan sudah 1.700 orang ditangkap sejak militer Myanmar atau Tatmadaw melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu.
Kematian puluhan pengunjuk rasa adalah bukti penggunaan peluru tajam aparat keamanan Myanmar untuk meredam protes. Aparat juga menembakkan granat kejut dan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa yang tidak putus sejak kudeta.
Pada Minggu kemarin, unjuk rasa terjadi di sedikitnya tujuh lokasi di Yangon dan lima unjuk rasa lain di luar Yangon. Sampai Minggu malam, tidak ada laporan korban dari unjuk rasa di Yangon. Hanya ada informasi soal kematian Khin Maung Latt (58), yang ditangkap pada Sabtu malam. Jenazah mantan anggota tim pemenangan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di pemilu 2020 itu dilaporkan berada di rumah sakit militer.
Tatmadaw dan polisi tidak hanya menyiksa dan menembaki warga saat membubarkan unjuk rasa. Junta juga mengancam memecat semua pegawai negeri dan karyawan BUMN yang tetap mogok kerja. Pemecatan dinyatakan akan berlaku mulai Senin ini.
Rekrut pelobi
Junta mempertahankan kebrutalannya dan mengaku tidak takut pada sanksi internasional. Pengakuan itu, antara lain, disampaikan kepada Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Schraner Burgener. Junta beralasan, Myanmar sudah terbiasa diberi sanksi dan tetap selamat.
Akan tetapi, mantan agen intelijen militer Israel dan kini pelobi internasional, Ari Ben-Menashe, mengungkap hal sebaliknya. Ia mengatakan, perusahaannya telah dikontrak junta untuk melobi negara-negara Barat. Tugas perusahaannya, ujar Ben-Menashe, adalah membuat sanksi terhadap junta dan sejumlah jenderal Myanmar dicabut.
Ben-Menashe juga menyampaikan, kudeta terpaksa dilancarkan karena pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) sekaligus pemimpin faktual Myanmar sampai 31 Januari 2021, Aung San Suu Kyi, terlalu dekat dengan China. Militer Myanmar mengaku tak suka dengan itu. Junta dinyatakan ingin lebih dekat ke Barat.
Ben-Menashe tidak menyediakan bukti atas keterangan yang disampaikannya. Sejak Tatmadaw melancarkan kudeta, berbagai pihak justru menuduh China mendukung militer Myanmar. Bersama Rusia, China menolak Dewan Keamanan PBB mengeluarkan kecaman keras terhadap kudeta. Dalam rapat DK PBB pada Jumat pekan lalu, China masih mempertahankan sikap itu.
Pada berbagai kesempatan, Beijing selalu menyatakan perkembangan di Myanmar tidak sesuai dengan harapan China. Minggu kemarin, Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyebutkan, Beijing ingin berkomunikasi dengan semua pihak di Myanmar. Beijing akan menghormati kehendak warga dan kedaulatan Myanmar.
”China telah lama berhubungan dengan semua pihak dan faksi di Myanmar, termasuk NLD,” ujarnya.
Wang menegaskan, hubungan Beijing-Naypyidaw tidak akan terdampak perkembangan di Myanmar. Beijing akan terus mendorong hubungan dengan Naypyidaw.
Sanksi tak berdampak
Sikap China termasuk yang dikeluhkan Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews. Dalam laporan pada pekan lalu, Andrews mengeluhkan minimnya bentuk dan dampak sanksi internasional kepada Myanmar. Sanksi internasional tidak membuat junta takut. Junta pun meneruskan kebrutalannya.
Andrews juga menyebutkan, junta mengerahkan unit-unit tentara yang mempunyai rekam jejak penyiksaan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), hingga pembunuhan. Unit-unit itu disebut berada di bawah komando panglima tertinggi Tatmadaw sekaligus Ketua Dewan Pemerintahan Negara (SAC) Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing. SAC dibentuk setelah kudeta 1 Februari lalu.
Selain memaparkan sejumlah kebrutalan junta, laporan Andrews juga berisi sejumlah rekomendasi. Andrews mendesak sanksi meluas terhadap semua pemimpin junta dan para pendukungnya. Sanksi juga diharapkan diarahkan kepada perusahaan-perusahaan yang terkait dengan junta.
Secara khusus, Andrews menyebut Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar (MOGE) sebagai salah satu sasaran sanksi. Selain menyebut perusahaan itu, tim pemeriksa PBB pernah memaparkan nama perusahaan-perusahaan yang terkait dengan junta.
Andrews juga mendesak embargo senjata total terhadap Myanmar. Embargo berlaku untuk teknologi yang mungkin digunakan pada persenjataan. Tidak kalah penting, komunitas internasional didesak untuk tidak mengakui SAC. (AFP/REUTERS)