Junta Tutup Akses Informasi Publik, Cabut Lisensi Lima Media
Junta militer mencabut lisensi sejumlah media sebagai bagian dari upaya untuk memberangus akses informasi mengenai kondisi lapangan Myanmar pascakudeta.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA — Junta militer Myanmar terus menutupi dan membatasi akses informasi terkait unjuk rasa antikudeta dan kekerasan senjata aparat junta dengan mencabut lisensi lima media massa. Selain itu, sudah banyak jurnalis yang ditahan dan rekan-rekan lain seprofesi kini semakin terancam.
”Perusahaan media ini tidak lagi diizinkan untuk menyiarkan, menulis, dan memberikan informasi dengan menggunakan platform atau teknologi media apa pun,” kata junta militer dalam pernyataan yang disiarkan televisi negara, MRTV, Selasa (9/3/2021).
Kelima media yang dibredel rezim junta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing ialah Mizzima, DVB, Khit Thit Media, Myanmar Now,dan 7Day News. Media-media ini aktif melaporkan secara langsung dari lapangan aksi protes di sejumlah kota di Myanmar yang diikuti kekerasan senjata aparat.
Lima media itu menyampaikan laporan secara lengkap sehingga masyarakat di dalam dan luar negeri dapat mengikuti setiap perkembangan di Myanmar. Junta militer merampas kekuasaan sipil demokratis dari tangan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari 2021. Suu Kyi dan Presiden Win Mynt pun ditahan.
Media-media independen Myanmar sejak kudeta itu pula telah merebut perhatian publik lokal. Aksi pembangkangan sipil dan demonstrasi massa menentang kudeta sejak 3 Februari disiarkan juga lewat banyak platform.
Junta militer gerah dengan fakta-fakta tentang kudeta dan kondisi kekinian yang bermunculan di berbagai media asing, termasuk siaran langsung dari lokasi kejadian. Media-media asing juga dapat menggunakan media lokal sebagai rujukan, selain memantau langsung situasi terkini di Myanmar.
Kantor Myanmar Now digerebek oleh aparat keamanan, Senin (8/3/2021) malam. Dikutip dari The Guardian, tentara dan polisi menggerebek ruang redaksi media Myanmar itu dan menyita peralatan kerja staf redaksi serta server data.
Manajemen DVB tidak terkejut dengan pencabutan lisensi dan menyatakan menentang pemberangusan akses informasi publik tersebut. Mereka menyatakan akan terus menyiarkan berita melalui TV satelit dan jaringan media daring yang dikelolanya.
Namun, manajemen mengkhawatirkan anggota dan staf redaksinya. ”Kami mengkhawatirkan keselamatan semuanya sekarang. Seluruh rakyat telah menjadi jurnalis warga dan sebenarnya tidak ada cara bagi otoritas militer untuk menutup arus informasi,” kata Direktur Eksekutif DVB Aye Chan Naing.
Dalam sebuah video yang beredar pada pekan lalu, Kaung Myat Hlaing, jurnalis DVB yang bekerja di kota Myeik, merekam upaya aparat keamanan yang tengah mengepung apartemen yang didiaminya. Dari bawah, aparat keamanan bersenjata berteriak agar dia turun dan menyerahkan diri.
Dari rekaman yang beredar, suara tembakan terdengar saat kejadian itu berlangsung. Rekaman juga memperdengarkan permintaan Kaung Myat kepada tetangga agar membantunya. DVB kemudian mengonfirmasi bahwa Kaung Myat telah ditahan aparat keamanan.
Pemerintah telah menahan puluhan jurnalis sejak kudeta tersebut, termasuk seorang reporter Myanmar Now dan Thein Zaw dari Associated Press (AP). Keduanya didakwa menggunakan Undang-Undang Ketertiban Umum dengan ancaman hingga 3 tahun penjara.
Sejak kudeta, rakyat Myanmar berusaha membanjiri media sosial dengan berbagai rekaman kegiatan demonstrasi mereka sejak kudeta berlangsung, 1 Februari.
Rekaman yang diunggah ke media sosial tidak hanya soal aksi mereka, tetapi juga kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, baik menggunakan senjata tumpul (seperti pentungan) maupun senjata api, terhadap warga yang tengah menyuarakan haknya.
Junta yang mencoba memblokir media sosial tak bisa berbuat banyak karena warga, bersama para aktivis, serentak menggunakan jaringan pribadi virtual untuk terhubung dengan internet.
Kembali turun ke jalan
Ribuan warga Myanmar di sejumlah kota di negara itu kembali turun ke jalan melanjutkan gerakan pembangkangan nasional meski korban tewas akibat kekerasan aparat keamanan terus bertambah.
Tindakan keras junta militer terhadap warga gagal membendung gerakan pembangkangan. Simbol tiga jari, simbol gerakan pembangkangan, tetap mereka acungkan di hadapan aparat.
Selain di Mandalay, aksi juga dilaksanakan di Ye, kota di Negara Baigan Mon; Kyaukpadaung, kota di Myanmar tengah; Mohyin, kota di Negara Bagian Kachin, dan Myeik Taung. Sejumlah laporan menyebutkan, para peserta aksi menjadi korban kekerasan dari aparat.
Teror aparat terhadap warga tidak hanya berlangsung pada siang hari, tetapi juga hingga malam hari dan bahkan lewat tengah malam. Aparat keamanan bersenjata lengkap, Senin dini hari, melakukan penggeledahan di lingkungan Sanchaung, kota Yangon, untuk mencari aktivis dan para pendukung gerakan pembangkangan nasional.
Mereka datang dari pintu ke pintu rumah atau setiap apartemen untuk mencari dan menangkap orang-orang yang melawan junta. Warga yang menonton dari jendela rumah tak luput dari sasaran. Sejumlah warga dilaporkan cedera akibat terkena peluru karet atau granat kejut.
Laporan di media sosial yang mengutip saksi mengatakan, 50 orang ditangkap semalam di Sanchaung dan bagian lain kota. Namun, ada juga yang berhasil meloloskan diri setelah sempat bersembunyi hingga jelang fajar.
Misi diplomatik Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa semuanya mengeluarkan pernyataan mendesak pasukan keamanan untuk mengizinkan orang-orang yang terperangkap kembali dengan selamat ke rumah mereka.
Meskipun semuanya telah mengkritik tajam kudeta 1 Februari dan kekerasan polisi, pernyataan diplomatik semacam itu tidak biasa dikeluarkan sehubungan dengan insiden tertentu yang sedang berlangsung.
”Ada ketegangan yang meningkat yang disebabkan oleh pasukan keamanan di sekitar Jalan Kyun Taw di kota praja Sanchaung, Yangon. Kami meminta pasukan keamanan tersebut untuk mundur dan mengizinkan orang pulang dengan selamat,” demikian pernyataan Kedutaan Besar AS.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres melalui juru bicaranya, Stephane Dujarric, mendesak junta dan aparat keamanan untuk menahan diri. Guterres menyerukan agar junta membebaskan orang-orang yang ditahan karena menyuarakan haknya.
”Dia menyerukan pengekangan maksimum dan mendesak pembebasan aman semua tanpa kekerasan atau penangkapan,” kata Dujarric.
Guterres juga mendesak junta agar menghormati hak kebebasan berkumpul dan berekspresi warga yang dilakukan secara damai demi menyuarakan harapan dan keinginan untuk masa depan negara mereka.
Di samping itu, Guterres juga menyatakan tidak bisa menerima tindakan pendudukan sejumlah rumah sakit umum oleh pasukan keamanan. (AFP/AP)