ASEAN Buka Jalur Komunikasi dengan Junta Militer Myanmar
ASEAN harus menjalin komunikasi dengan pemimpin junta militer Myanmar yang cenderung tertutup. Kepercayaan junta militer Myanmar terhadap Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha bisa dimanfaatkan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara ASEAN bisa memanfaatkan kedekatan hubungan dan kepercayaan yang diberikan junta militer Myanmar kepada Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha sebagai alternatif jalur komunikasi resmi. Pada saat yang sama, konferensi tingkat tinggi di antara pemimpin negara ASEAN bisa menjadi langkah berikutnya untuk membantu proses politik di Myanmar.
Hal demikian mengemuka dalam diskusi ”Kudeta Militer Myanmar, Peranan ASEAN dan Tantangannya bagi Demokrasi” yang diadakan secara daring oleh The Habibie Center, Rabu (17/2/2021). Narasumber dalam diskusi tersebut ialah Peneliti Senior The Habibie Center Rene Pattiradjawane, Wakil Indonesia untuk AICHR Yuyun Wahyuningrum, dan Direktur Eksekutif Pusat Integritas Sosial Myanmar Aung Kyaw Moe.
Rene mengatakan, hubungan baik yang terjalin antara pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan PM Prayuth terbukti ketika dia mengirimkan surat yang berisi alasan mengapa militer melakukan pengambilalihan kekuasaan dari tangan sipil. Mengutip isi surat yang diberitakan sejumlah media di Thailand, lanjut Rene, salah satu alasan utama militer Myanmar mengambil alih kekuasaan adalah karena menilai pelaksanaan pemilu November 2020 penuh dengan kecurangan dan Komisi Pemilihan Umum Myanmar tidak berbuat apa pun untuk membenahinya.
”Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar dan alasan militer yang sebenarnya menjadi bagian dari pihak yang berkuasa di negara itu menjadi penting. Mendengarkan apa alasan Tatwadaw (junta militer Myanmar) melakukan pengambilalihan menjadi penting,” ujar Rene.
Lebih lanjut dia mengatakan, junta militer mengirimkan surat kepada PM Prayuth dan bukan ke negara lain, Indonesia, Malaysia, atau bahkan Ketua ASEAN saat ini, yaitu Brunei Darussalam, menunjukkan kepercayaannya yang lebih pada Pemerintah Thailand, khususnya PM Prayuth. Meski di dalam negeri PM Prayuth menghadapi gugatan dari rakyat Thailand sendiri, menurut Rene, tahapan demokratisasi di ”Negeri Gajah Putih” itu telah diselesaikan mantan jenderal tersebut pada pemilu tahun 2014. Kini, dalam pandangan Rene, PM Prayuth adalah seorang sipil.
Rene memercayai bahwa surat yang dikirimkan oleh Jenderal Hlaing kepada PM Prayuth tengah dibahas oleh para pemimpin negara-negara ASEAN meski tidak dipublikasikan. Sementara itu, diplomasi ulang alik yang coba digalang oleh Indonesia melalui Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi juga tengah berlangsung.
Yuyun Wahyuningrum, Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), mengatakan, ASEAN juga bisa berkontribusi dalam proses demokratisasi Myanmar sesuai dengan cetak biru Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN. Penguatan-penguatan tentang keberadaan lembaga yang demokratis bisa menjadi opsi lanjutan, termasuk berbagi pengalaman soal pengawasan pelaksanaan pemilu nasional yang independen, seperti yang pernah dilakukan di Indonesia.
Mengenai kemungkinan dijatuhkannya sanksi kepada Myanmar oleh negara-negara ASEAN karena dianggap kudeta militer atas pemerintahan sipil melanggar Piagam ASEAN, menurut Yuyun, hal itu harus dibicarakan dalam sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT), yang diusulkan oleh Indonesia dan Malaysia. Namun, Yuyun menyangsikan adanya kesepakatan negara-negara ASEAN untuk menjatuhkan sanksi terhadap junta militer Myanmar terkait dengan prinsip non-interference yang dianut oleh organisasi regional ini.
Sementara menurut Direktur Eksekutif Pusat Integritas Sosial Myanmar Aung Kyaw Moe, ASEAN harus menegaskan posisi dan sikapnya atas kudeta militer di Myanmar.