Dunia Geram dan Kewalahan Menghadapi Junta Militer Myanmar
Setelah sedikitnya 54 orang dibunuh aparat junta militer Myanmar sejak kudeta 1 Februari 2021, pengamat menilai hak memerintah oleh junta militer di Myanmar wajib dicabut.
Korban jiwa akibat kekerasan yang dilakukan aparat junta militer Myanmar terus berjatuhan. Junta cenderung tidak menggubris tekanan dan sanksi dari dunia internasional.
YANGON, KAMIS -- Dunia dibuat geram dan kewalahan menghadapi kondisi di Myanmar setelah junta militer melakukan kudeta pada 1 Februari lalu. Meski berbagai tekanan dan sanksi telah dijatuhkan, junta tetap bergeming dengan tindakan yang semakin mematikan untuk meredam ujuk rasa nir-kekerasan oleh massa prodemokrasi. Muncul seruan agar diambil tindakan tegas untuk mengakhiri kekerasan junta.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah, Kamis (4/3/2021), menyatakan, Indonesia kembali mendesak pasukan keamanan rezim militer Myanmar untuk tidak memakai kekerasan.
Langkah itu guna menghindari bertambahnya korban jiwa maupun luka-luka dari masyarakat sipil. Indonesia masih memonitor dan akan mengevaluasi sejauh apa pendekatan ASEAN mampu mengubah sikap junta.
Faizasyah mengatakan, Menlu Retno Marsudi juga terus melakukan konsultasi dengan Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar dan negara-negara lain. Dalam beberapa hari ini, Menlu Retno menerima telepon dari mitranya, seperti Menlu Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Perancis, dan Uni Eropa, untuk membicarakan isu Myanmar.
Baca juga: Tiada Hari Tanpa Unjuk Rasa di Myanmar
Komisaris Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet mendesak rezim militer Myanmar menghentikan tindakan brutal terhadap pengunjuk rasa damai. Ia juga mendesak junta membebaskan orang-orang yang ditahan secara tidak sah sejak kudeta. ”Militer Myanmar harus berhenti membunuh dan memenjarakan pengunjuk rasa,” kata Bachelet di Geneva.
Sedikitnya 54 orang tewas karena tindakan aparat sejak kudeta. Korban tewas terbanyak terjadi Rabu, yakni 38 orang. Namun, unjuk rasa tetap berlanjut, antara lain, di Yangon, Monywa, Pathein, dan kota bersejarah Bagan, Kamis (4/3). Massa tetap tegar menghadapi aparat.
Para aktivis mengatakan mereka tetap menolak pemerintahan junta militer dan bertekad mendesak pembebasan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dan pengakuan atas kemenangannya dalam pemilu yang digelar November tahun lalu. "Kami tahu, kami selalu bisa ditembak dan dibunuh dengan peluru tajam tetapi tidak ada artinya tetap hidup di bawah junta," kata seorang aktivis.
Bachelet mengatakan, jumlah warga yang tewas sebenarnya lebih banyak dari data yang ada. Ia mengungkapkan lebih dari 1.700 orang ditahan secara sewenang-wenang dan penangkapan terus terjadi, termasuk terhadap 29 jurnalis yang meliput unjuk rasa.
Aparat junta diduga menggeledah rumah-rumah warga. Beberapa orang diambil paksa tanpa pemberitahuan kepada keluarganya dan tidak memberitahukan tempat penahanan mereka. Bachelet menyatakan, hal itu merupakan praktik yang dikenal sebagai penghilangan paksa.
Bachelet mendesak pejabat Myanmar yang telah bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil agar mendukung upaya meminta pertanggungjawaban para petinggi militer atas pelanggaran HAM yang serius melalui penyelidikan dan proses di Mahkamah Kriminal Internasional.
Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, meminta PBB menindak para petinggi junta lebih keras lagi. Desakan ini disampaikan setelah polisi dan tentara menembak mati 38 orang, Rabu (3/3). ”Ini hari paling berdarah sejak kudeta. PBB harus segera bertindak tegas terhadap para jenderal di Myanmar,” kata Burgener.
Baca juga: Korban Terus Berjatuhan, Junta Militer Myanmar Tak Peduli Tekanan dan Sanksi
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, mengatakan, AS muak dengan kekerasan oleh aparat junta militer. Presiden Perancis Emmanuel Macron menyerukan ”penghentian segera penindasan di Myanmar”.
Bank Sentral Singapura dan Norwegia meningkatkan pengawasan atas lembaga keuangan yang punya relasi dengan perusahaan-perusahaan terafiliasi militer di Myanmar. Satu perusahaan Jepang, yang memiliki hubungan bisnis dengan junta militer Myanmar, masuk daftar pengawasan Norwegia.
Pemerintahan demokratis
Pengamat Asia Tenggara dan ASEAN di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Muhammad Rum, mengatakan, seruan komunitas internasional kepada junta militer adalah wujud keprihatinan mendalam atas situasi di Myanmar.
”Penembakan terhadap demonstran prodemokrasi dalam aksi damai tidak dapat dibenarkan. Dengan terjadinya penembakan itu, pemerintahan militer Myanmar gagal memenuhi seruan ASEAN agar semua pihak mengendalikan diri dari melakukan tindakan kekerasan,” tutur Muhammad.
Muhammad menyatakan, berkaca dari sejarah, ASEAN bukan tanpa pengalaman dalam memberikan tekanan pada rezim pemerintahan militer Myanmar. Pada tahun 2006, tekanan ASEAN dan dunia internasional pernah membuat Myanmar mengalihkan periode keketuaan ASEAN yang seharusnya disandang tahun itu. Pasalnya, pemerintahan militer Myanmar tidak kunjung melakukan transisi demokrasi dan tetap menahan tokoh Aung San Suu Kyi.
Pada tahun 2008, saat diterpa bencana Cyclone Nargis, pemerintahan Myanmar saat itu -yang dinilai kurang memilki kapasitas dalam merespons bencana dengan baik- juga menolak keterlibatan komunitas internasional. Nmun atas desakan menteri-menteri luar negeri ASEAN, Naypyidaw akhirnya bersedia untuk berkolaborasi dengan ASEAN dan PBB.
Kemudian, terbentuklah Tripartite Core Group yang bertugas mengkoordinasikan kolaborasi semua pihak dalam melaksanakan aksi kemanusiaan. “Selama beberapa tahun setelahnya, ASEAN secara intensif mendorong proses demokratisasi. Artinya, ASEAN terbukti dapat melakukan interaksi yang konstruktif terhadap perkembangan demokrasi di Myanmar. Hal tersebut dapat terjadi apabila ada peer presure atau diskusi yang jujur dan terbuka,” kata Muhammad.
Kapasitas ASEAN sebagai organisasi regional yang berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, pemerintahan yang baik, dan perlindungan HAM kembali diuji. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura telah menyerukan agar pemimpin Myanmar yang ditahan segera dibebaskan dan kekerasan dihentikan. Pada masa ini, seruan-seruan itu sangat krusial.
Idealnya, pemerintah-pemerintah demokratis menyerukan dikembalikannya demokrasi di Myanmar, yaitu dengan menghormati hasil pemilu November 2020. ”Sebab, pemilu yang adil dan bebas merupakan satu-satunya cara menentukan pemerintahan dalam demokrasi modern,” ujar Muhammad.
Baca Juga: Myanmar ”Terbelah Dua” di Markas PBB
Selama beberapa tahun terakhir, lanjut Muhammad, ASEAN intensif mendorong proses demokratisasi. Artinya, ASEAN terbukti bisa melakukan interaksi yang konstruktif terhadap perkembangan demokrasi Myanmar.
Secara terpisah praktisi dan pengajar hubungan internasional, Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, menilai militer Myanmar wajib dicabut haknya untuk memerintah di Myanmar. Sebab militer negara itu terbukti melanggar aturan internasional manapun terkait perlindungan bagi warga negara, apalagi warga sipil. Dinna menegaskan, bahkan dalam situasi perang sekalipun ada aturannya ketika menyerang warga sipil.
Sebagai tekanan dari dunia internasional, menurut Dinna, semua negara wajib menutup pintu negaranya untuk kehadiran militer Myanmar sebagai diplomat atau wakil pemerintah dan wakil negara.
Pengakuan negara-negara harus beralih pada kelompok sipil yang memenangkan pemilu di Myanmar dan terbukti sudah bertahun-tahun menunggu waktu untuk diberi kesempatan memimpin negara sesuai hasil pemilu. Ia pun mendorong ketegasan internasional dalam mengawasi pergerakan kepemilikan dan pasokan senjata ke Myanmar.
“Harus ada larangan tegas untuk mengekspor senjata atau alat-alat apapun yang bisa digunakan militer di sana untuk membunuh warga negaranya sendiri,” kata Dinna yang prihatin bahwa kekerasan di Myanmar justru meningkat pesat sejak ada pernyataan para menlu ASEAN.
Artinya, kata Dinna, militer Myanmar memang sudah lama mempersiapkan kekerasan-kekerasan itu dengan skenario bahwa kalau dunia bungkam dan terbelah maka mereka menutup pintu dan membunuh warga agar bungkam dan kekuasaan berada di cengkeraman mereka. (AFP/AP/REUTERS/BEN/CAL)