Pendidikan Holistik Tak Mengesampingkan Kesehatan Mental
Sudah lama dunia pendidikan terjebak pada pencapaian akademik semata. Transformasi pendidikan dunia mendorong pendidikan holistik yang juga membangun kesejahteraan sosial dan emosional anak.
Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022 yang diperingati Senin (10/10/2022) mengambil tema Menjadikan Kesehatan Mental dan Kesejahteraan untuk Semua sebagai Prioritas Global. Kesehatan mental dengan isu well being di sekolah pun kini menjadi salah satu yang mencuat dari transformasi pendidikan dunia.
Kaum muda sangat terpengaruh oleh masalah kesehatan mental. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan hampir satu dari tujuh remaja berusia 10-19 tahun hidup dengan beberapa bentuk kondisi kesehatan mental. Bunuh diri merupakan penyebab kematian paling umum kelima dalam kelompok usia ini, sebanyak 45.800 meninggal setiap tahun atau satu nyawa hilang setiap 11 menit.
Hampir satu dari lima anak berusia 15-24 tahun, dalam survei global WHO, sering merasa tertekan dan kurang tertarik untuk melakukan sesuatu. Menurut Yayasan Kesehatan Mental Inggris, setengah dari kondisi kesehatan mental terbentuk pada usia 14 tahun dan 75 persen pada usia 24 tahun.
Sekolah masa depan adalah sekolah menyenangkan 0.4 yang mengutamakan kemampuan mengelola emosi dan sosial. Dunia ke depan bukan penguasaan akademik, tapi mengelola mental dan stres.
Berangkat dari Transforming Education Summit pada September 2022, visi baru untuk pendidikan di abad ke-21 kini mulai terbentuk. Pendidikan yang berkualitas agar mendukung perkembangan individu sebagai pembelajar sepanjang hidupnya. Pendidikan harus bisa membantu orang belajar fokus memecahkan masalah dan kolaborasi. Untuk itu, pendidikan harus memberikan dasar untuk belajar, mulai dari membaca, menulis, dan menghitung hingga keterampilan ilmiah, digital, sosial, dan emosional.
Di berbagai sekolah yang bergabung di komunitas akar rumput Gerakan Sekolah Menyenangkan yang tersebar di banyak daerah, lingkungan belajar positif menjadi salah satu hal penting untuk membuat anak-anak bahagia selama berada di sekolah. Pembelajaran yang berbasis sosial emosional siswa dikedepankan.
Anak-anak dihargai bukan lagi dengan angka sebagai ukuran pencapaian akademik tetapi menghargai keunikan anak dalam bentuk apa saja. Tiap anak mendapatkan bintang kebaikan, bukan hanya untuk anak-anak yang mendapat nilai ujian bagus atau punya prestasi kejuaraan.
Sementara itu, program sekolah penggerak dan guru penggerak yang menjadi bagian Merdeka Belajar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak 2020, menggaungkan agar sekolah dan guru memperkuat ekosistem pembelajaran yang menerapkan pendidikan holistik dan berpusat pada siswa. Bahkan, dengan pemberlakuan Asesmen Nasional sejak 2021 yang dilaporkan tiap tahun lewat Rapor Pendidikan, kinerja sekolah tak hanya diukur dari pencapaian akademik dan karakter siswa, tetapi penciptaan lingkungan belajar yang positif juga wajib dipenuhi sekolah dan guru.
Baca juga : Mengubah Didikan ”Rotan” Menjadi Sekolah Menyenangkan
Hadirnya sekolah-sekolah yang berpusat pada siswa, yang juga memperhatikan sosial dan emosi anak, membuat siswa termotivasi untuk memiliki kesadaran diri sehingga dapat membangun fondasi sebagai pembelajar sepanjang hayat. Bekal ini akan membuat siswa siap menyongsong masa depan dengan perubahan yang tak pasti dan cepat.
Pandemi Covid-19 dan disrupsi digital telah membuka mata sekolah, guru, orangtua, dan pemerintah bahwa pendidikan tak bisa lagi dijalankan seperti sebelumnya. Tak hanya perlu membangun kemampuan akademik, tetapi pendidikan harus dapat membangun keseimbangan antara olah pikir, olah rasa dan karsa, olah hati, dan olahraga.
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang juga dosen psikologi Universitas Gadjah Mada, Novi Poespita Candra, mengatakan, pendidikan di GSM dibangun dengan kesadaran diri yang merupakan keunikan manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lain. Bahkan, kesadaran diri inilah nantinya yang membekali peserta didik untuk tidak mudah disetir oleh lingkungan ataupun teknologi digital yang semakin canggih dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Kuruna Kepala SDN Karangmojo II, Kabupaten, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengaku selama menjadi guru, target akademik senatiasa menjadi fokus. Para siswa didorong untuk terus mengejar prestasi dan kejuaraan sehingga mengangkat nama sekolah. Kenyataannya tidak semua anak-anak cocok dengan ambisi dirinya sebagai guru.
“Ketika jadi kepala sekolah dan kenal GSM di tahun 2017, saya pun jadi tersadar untuk menghargai tiap anak. Benar saja, dengan perubahan sekolah yang lebih memahami aspirasi anak-anak, menghargai setiap keunikan anak, sekolah kini jadi tempat menyenangkan. Anak-anak jadi dekat dan mau curhat dengan guru. Para orangtua pun mudah diajak untuk bekerja sama,” kata Kuruna.
Sekolah menyenangkan dihadirkan dengan menyulap suasana kelas yang ceria dengan kreativitas para siswa. Di tiap kelas ada zona emosi untuk mengetahui kondisi mental tiap anak apakah sedang senang, marah, sedih, atau emosi. Lalu, guru akan mengajak anak bicara sebelum siap belajar hingga ada zona bintang kebaikan untuk memberikan bintang bagi semua anak karena kebaikan yang sudah dilakukannya, entah mendapat nilai baik, tidak terlambat ke sekolah, membantu teman, dan berbagai kebaikan yang bisa dilakukan anak.
Baca juga : Membantu Siswa Berkembang lewat Sekolah Menyenangkan
“Benar saja, ketika para guru jadi lebih memperhatikan sosial emosional anak, berpusat pada keunikan dan potensi siswa, anak-anak jadi punya kesadaran diri untuk belajar. Nilai-nilai akademik siswa dengan sendirinya meningkat karena mereka tahu tujuan belajar. Para guru membantu siswa untuk belajar kontekstual yang membantu mengembangkan kesadaran diri, penalaran, dan kreativitas anak,” kata Kuruna, menjelaskan.
Mengejar kebahagiaan
Dalam konteks global, UNESCO pada 2022 mempromosikan tentang pentingnya menjadikan pengejaran kebahagiaan sebagai prinsip panduan semua tempat belajar. Proyek Sekolah Bahagia atau Happy School Project (HPH) yang digagas UNESCO Bangkok 2014 dengan proyek percontohan Asia-Pasifik.
Program HSP menawarkan pendekatan alternatif untuk meningkatkan pengalaman belajar dengan memprioritaskan kebahagiaan sekolah. Dengan berfokus pada kesejahteraan, keterlibatan, dan rasa memiliki di sekolah, HSP membantu menumbuhkan kecintaan belajar seumur hidup. Proyek ini menargetkan kebahagiaan sekolah demi kebahagiaan siswa karena sekolah merupakan tempat pengembangan masyarakat yang holistik dan berkelanjutan yang mencakup guru, orangtua, staf, dan pemimpin sekolah.
Program HSP diujicobakan di Jepang, Laos, dan Thailand. Guru di sekolah yang berpartisipasi merasa bahwa proyek ini berkontribusi untuk meningkatkan sikap dan komitmen positif mereka untuk membina lingkungan belajar yang bahagia, pola pikir yang berkembang pada siswa, dan hubungan yang baik dengan orangtua dan rekan sekolah. Guru yang bahagia membuat siswa bahagia, dan proyek ini membantu guru untuk fokus pada kepositifan dan keterlibatan, bahkan selama terputusnya pembelajaran yang terganggu selama Covid-19.
Sekolah berpartisipasi meningkatkan keterlibatan mereka dengan masyarakat setempat melalui kegiatan berbasis sekolah. Misalnya, di Minho Kodomonomori Gakuen School di Jepang, para guru, siswa, dan masyarakat berkumpul untuk memerangi duka akibat pandemi Covid-19 dengan berbagi hati dan wajah bahagia untuk merayakan Hari Kebahagiaan Internasional pada 20 Maret 2020.
Kiichi Oyasu dari Pusat Kebudayaan Asia-Pasifik untuk UNESCO mengatakan HSP dijalankan untuk mengatasi dampak stres seputar ujian yang menciptakan lingkungan sekolah penuh tekanan, berdampak negatif terhadap kesehatan dan kebahagiaan siswa, dan memposisikan pembelajaran sebagai sarana untuk kesuksesan di masa depan, daripada praktik seumur hidup. Pada pertengahan 2010, pengujian berisiko tinggi menjadi kekuatan pendorong sekolah penuh tekanan di balik banyak sistem pendidikan di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia-Pasifik.
“Mengingat salah satu misi inti UNESCO adalah mendukung pembelajaran sepanjang hayat, maka penting bagi siswa untuk mau belajar karena mereka menikmati orang, proses, dan tempat belajar. Seorang pembelajar yang bahagia akan tetap menjadi pembelajar, bahkan setelah lulus. Kerangka Kerja Sekolah Bahagia bertujuan untuk membantu mewujudkan hal ini,” kata Kiichi..
Peserta didik, guru, dan pemimpin sekolah saat ini menghadapi banyak tantangan dari gangguan Covid-19 terhadap pembelajaran dan perkembangan perilaku, krisis iklim, konflik geopolitik, gelombang pengungsi, kekayaan yang mencolok dan ketidaksetaraan kesehatan, dan semakin banyak bukti negatif dampak media sosial terhadap kebahagiaan kaum muda. Menghadapi tantangan-tantangan ini, sekolah-sekolah di seluruh dunia dan sedang berjuang untuk menentukan bagaimana mengatasinya bersama-sama.
Baca juga : Ketika Guru Merasakan Kembali Menjadi Murid
“Kerangka Happy Schools mendorong sistem sekolah menjauh dari narasi kekurangan dan menuju pola pikir pertumbuhan yang positif. Sekolah dapat menjadi tempat yang kuat untuk memerangi hal-hal negatif yang menghambat pembelajaran, baik kognitif maupun non-kognitif. Dengan memprioritaskan kebahagiaan di sekolah dengan pengalaman belajar yang menarik, dinamis, dan kolaboratif, hasil belajar kemungkinan besar akan meningkat. Pembelajaran yang lebih baik adalah inti dari Proyek Sekolah Bahagia global, memanfaatkan kesejahteraan dan keterlibatan untuk membangun fondasi kritis pembelajaran seumur hidup,” papar Kiichi.
.Mendorong kemakmuran
Sementara itu dari kajian Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2021 menunjukkan peningkatan kesejahteraan anak bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan dan merupakan kunci untuk mendorong kemakmuran. Namun, meningkatkan kebijakan untuk membantu anak-anak berkembang akan membutuhkan data yang lebih baik tentang kebutuhan dan pengalaman hidup mereka.
Berdasarkan penelitian tentang kesejahteraan anak dan bagaimana kaitannya dengan hasil kehidupan selanjutnya, kerangka ini mengikuti sejumlah prinsip bahwa kesejahteraan itu multidimensi, melekat erat di lingkungan anak, dan bahwa aspek fundamental berubah sesuai usia. Langkah-langkah kesejahteraan juga harus mempertimbangkan pandangan dan perspektif anak-anak.
Pendekatan multidimensi sangat penting karena kesulitan atau kekuatan di berbagai bidang berinteraksi. Laporan tersebut mengutip, misalnya, bagaimana regulasi emosi pada anak usia dini memiliki dampak positif pada pembelajaran dan pada kualitas persahabatan dan keterampilan sosial, seiring dengan bertambahnya usia anak-anak.
Kerangka kerja ini memperlakukan berbagai dimensi kesejahteraan anak, mencakup materi, sosial, emosional, budaya dan pendidikan, serta kesehatan fisik dan perkembangan kognitif, yang saling berhubungan. Hal ini juga bertujuan untuk menangkap distribusi kesejahteraan melalui langkah-langkah yang mencerminkan kurangnya kesempatan dan kesenjangan di berbagai kelompok anak, misalnya berdasarkan jenis kelamin, dengan pengaturan tempat tinggal dan dengan latar belakang migran.
Pendiri GSM Muhammad Nur Rizal mengatakan sekolah masa depan yang holistik mengandung semangat 0.4. Sekolah-sekolah pinggiran di berbagai daerah di Indoensia diajak untuk kembali memahami hakikat pendidikan untuk memanusiakan kembali manusia lewat sekolah menyenangkan.
Rizal menjabarkan, nol berarti kembali ke “titik awal”yakni kembali mendidik manusia. Pendidikan yang berhamba pada kebahagiaan murid dan guru, bukan pemenuhan administrasi atau kepentingan birokrasi. Sekolah diajak untuk kembali ke era sebelum manusia menemukan revolusi teknologi, yakni era Revolusi Agraria, di mana proses pendidikan dijalankan seperti bertani.
“Sekolah bukan lagi menyeragamkan kemampuan murid untuk siap kerja, tapi ex-ducare yang artinya mengeluarkan potensi yang ada pada diri anak untuk menjadi versi terbaiknya, layaknya mengenali jenis benih sebelum ditanam,” ujar Rizal.
Sementara empat, dipakai sebagai penanda dan pengingat agar sekolah tidak keblinger menuruti kemauan revolusi teknologi 4.0. Justrudiharapkan agar sekolah mampu melakukan pengendalian etis terhadap ambisi-ambisi teknologi 4.0 yang berpotensi menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Baca juga : Pendidikan untuk Menggali Potensi Terbaik Siswa
“Manusialah si pengendali teknologi, bukan sebaliknya. Di masa depan akademik tidak terlalu dibutuhkan karena dapat diigantikan dengan AI. Sekolah masa depan adalah sekolah menyenangkan 0.4 yang mengutamakan kemampuan mengelola emosi dan sosial. Dunia ke depan bukan penguasaan akademik, tapi mengelola mental dan stres,” ujar Rizal, dosen teknik di Universitas Gadjah Mada.