Pendidikan yang menekankan hapalan pengetahuan tidak mampu memunculkan potensi terbaik anak. Gerakan Sekolah Menyenangkan mengajak mendidik kembali siswa sesuai kodrat manusia.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Para guru, kepala sekolah, dan pengawas SD dan SMP se-Kabupaten Supiori, Papua, antusias mengikuti pelatihan Guru Sekolah Menyenangkan (GSM) yang berlangsung pada 12-13 September 2022 di Biak. Pendidik diajak memahami dan menerapkan pendidikan yang kembali memanusiakan manusia untuk mendukung perkembangan potensi terbaik tiap peserta didik.
BIAK, KOMPAS — Pendidikan yang kembali mendidik manusia harus menjadi paradigma pendidikan bagi guru dan pemerintah guna membantu anak-anak mengeluarkan potensi terbaik mereka. Apalagi, kehidupan generasi muda saat ini dikuasai teknologi digital yang bisa ”membajak” perilaku dan pikiran mereka. Karena itu, pendidikan yang menguatkan kodrat manusia dengan jiwa merdeka akan memampukan mereka beradaptasi dengan perubahan apa pun.
”Hakikat pendidikan atau napas pendidikan dari dulu sampai kini sama, yakni untuk membuat manusia selalu ingin belajar dari mana saja, tanpa henti, untuk jadi manusia utuh atau versi terbaik dirinya,” kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, dalam Lokakarya ”Penciptaan Ekosistem Sekolah Menyenangkan bagi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Supiori”, di Biak, Papua, Senin (12/9/2022).
Menurut Rizal, pendidikan mesti membuat setiap orang yang belajar untuk sadar tentang dirinya, posisi dirinya, dan lingkungannya. Dengan demikian, terbangun kesadaran kritis agar setiap orang bisa keluar dari persoalan kehidupannya sekaligus memiliki harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Terkait hal itu, kepala sekolah serta guru SD dan SMP di Supiori diajak memahami kembali hakikat pendidikan memanusiakan kembali manusia serta menghadirkan sekolah menyenangkan guna meningkatkan kualitas pendidikan. Pelatihan guru dimulai dengan membangun kesadaran diri dan paradigma berpikir guru agar menjadi pendidik yang membangun kultur belajar dan sekolah yang baik, terlepas apa pun kurikulum pendidikan yang disiapkan pemerintah.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Supiori Rafles Ngillamele menuturkan, para guru merupakan sosok penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas guru dan kepala sekolah dari 40 SD dan 13 SMP di Kabupaten Supiori, yang nantinya diluaskan ke pendidikan anak usia dini atau PAUD.
”Kami merasa butuh guru-guru yang memahami GSM sebagai gerakan akar rumput agar bisa memberi motivasi dan refleksi guru untuk diterapkan pada peserta didik. Kami ingin GSM jadi bagian di Supiori dari jenjang SD dan SMP, diikuti kepala sekolah dan guru perwakilan sekolah, agar nanti membentuk komunitas yang bersama-sama mengubah ekosistem sekolah jadi tempat menyenangkan, tumbuh dari diri, dan kesadaran sendiri,” tutur Rafles.
Sejauh ini banyak guru belum memahami kebutuhan pendidikan generasi masa kini. Para guru masih menjalankan pola pendidikan konvensional, padahal generasi sekarang sudah berada pada zaman dan tantangan yang berbeda. Termasuk pula, para guru masih menggunakan kekerasan, seperti memukul dengan rotan dan berkata kasar, dalam mendidik siswa meskipun tujuannya baik.
”Guru masih merasa siswa harus mengikuti kemauan guru. Kami yakin dengan mindset (pola pikir) guru yang berubah, bahwa mereka mendidik manusia, guru akan memahami perannya di masa kini. Selain itu, para guru yang berjejaring dalam komunitas nantinya bisa saling mengingatkan tentang pendidikan yang memanusiakan manusia,” papar Rafles.
Dialogis dan reflektif
Rizal menjelaskan, pendidikan harus kembali mendidik manusia agar tidak dikendalikan oleh lingkungan termasuk dunia teknologi. Ciri pendidikan yang memanusiakan adalah dialogis, reflektif, dan investigatif. ”Pendidikan dialogis inilah modal utama bangsa ini bisa merdeka di tengah segala keterbatasannya,” ujar Rizal yang juga dosen Jurusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menurut Rizal, banyak inovasi sudah dilakukan pemerintah, termasuk pergantian kurikulum yang kini dinamakan Kurikulum Merdeka. Setidaknya sudah terjadi 11 kali pergantian kurikulum, akreditasi sekolah meningkat, dan berbagai program pengembangan guru. Namun, 20 tahun terakhir hasilnya stagnan alias tidak ada kemajuan, yang menempatkan capaian pendidikan dan daya saing produktivitas bangsa masih rendah.
Guru masih merasa siswa harus mengikuti kemauan guru. Kami yakin dengan mindset (pola pikir) guru yang berubah, bahwa mereka mendidik manusia, guru akan memahami perannya di masa kini.
”Jika kodrat manusia ditumbuhkan, yakni keunikan tiap individu atau diversity, rasa ingin tahu, dan imajinasi, maka akan membangkitkan jiwa-jiwa yang merdeka, bukan sekedar Kurikulum Merdeka,” kata Rizal.
Sementara itu, Co-Founder GSM yang juga dosen Psikologi UGM, Novi Poespita Candra, mengatakan GSM menjadi komunitas para guru untuk menghadirkan pendidikan yang membangun kesadaran diri karena kemampuan ini hanya dimiliki manusia. Kesadaran diri sebagai kemampuan melihat diri sendiri dengan jelas dan obyektif melalui dialog, refleksi, dan introspeksi.
”Sekolah menyenangkan itu memicu bagian otak manusia, yakni neokorteks, untuk karakter dan kecerdasan luar biasa. Syaratnya, ada kesadaran diri. Neokorteks bisa optimal kalau seseorang bahagia. Ini penting untuk higher order thinking skill (HOTS) yang butuh kemampuan berpikir tinggi,” ujarnya.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Novi Poespita Candra (berhijab hitam), mempraktikkan kegiatan circle time di dalam kelas sebagai wujud pendidikan membangun kesadaran diri dengan dialog bersama siswa. Pelatihan diikuti guru, kepala sekolah, dan pengawas SD dan SMP se-Kabupaten Supiori, Papua, pada 12-13 September 2022.
Di sinilah, para guru harus mau mengembangkan pendidikan berdialog, membawa pikiran pada anak. Jika guru selalu berdialog satu arah, sekadar menyuruh mengerjakan tugas atau mengajarkan materi dan menguji hapalan, tidak suka mengobrol untuk memahami dan menggali pemikiran anak, artinya pendidikan tidak memanusiakan manusia.
”Secara umum dalam pendidikan kita belum membangun dialog, tetapi menyuruh siswa. Sistem pendidikan top down, pemerintah menekan ke daerah, lalu menekan pengawas, selanjutnya ke guru. Akhirnya, guru menekan ke siswa. Kasihan siswa, mendapat tekanan dari guru dan orangtua,” ucap Novi.
Pelatihan GSM yang diikuti 179 peserta dari pengawas, kepala sekolah, dan guru ini berlangsung dua hari. Para guru diajak untuk melakukan pembelajaran aktif dengan pendekatan memanusiakan siswa sebagai manusia dengan sekolah menyenangkan.
Uria Awom, salah seorang guru SD, mengutarakan, pelatihan GSM berbeda dengan pelatihan yang selama ini didapat, yang lebih menekankan konten/materi pembelajaran. ”Para guru tidak bosan selama pelatihan dan terus berefleksi. Jadi, muncul komitmen untuk memulai perubahan di dalam diri sendiri sehingga bisa melakukan pendidikan yang berpusat pada siswa,” tuturnya.