Melepaskan Belenggu Pembelajaran yang Sekadar Menuntaskan Materi Ajar
Pembelajaran di kelas bukan soal menyelesaikan buku teks atau menyampaikan materi sesuai buku teks. Orientasinya pada pengembangan kompetensi dan karakter siswa, bukan penyampaian materi.
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·6 menit baca
Perubahan pola pikir pendidik dalam praktik pembelajaran di kelas menjadi masalah besar untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Tawaran transformasi pendidikan lewat kebijakan Merdeka Belajar pun digulirkan untuk membenahi keluhan pada layanan pendidikan yang belum memerdekakan siswa dan guru.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berjanji merombak praktik-praktik pembelajaran yang masih membelenggu para guru. Salah satunya lewat program Asesmen Nasional (AN) yang dijanjikan bukan sekadar untuk pemetaan atau pengambilan data, melainkan melangkah lebih jauh untuk memberikan umpan balik ke tiap sekolah dan dinas pendidikan di semua daerah tentang kondisi kualitas layanan pendidikan. Lalu, ada program guru penggerak untuk aksi nyata hadirnya guru-guru dengan pola pikir baru yang kreatif dalam pembelajaran, sekolah penggerak, hingga organisasi penggerak.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, di webinar Silaturahmi Merdeka Belajar Episode 1 bertajuk Merawat Kebinekaan di Sekolah Lewat Survei Lingkungan Belajar, Kamis (5/8/2021), mengatakan, pelaksanaan AN dengan komponen asesmen kompetensi minimum (AKM) untuk mengetes kompetensi kognitif siswa di literasi dan numerasi, survei karakter, serta survei lingkungan belajar menyimpan pesan bahwa guru dan kepala sekolah jangan lagi hanya mengedepankan tuntasnya penyampaian materi buku teks maupun kurikulum. Pembelajaran jangan fokus hanya untuk keterampilan berpikir atau kognitif, tapi membantu siswa berkembang sebagai individu yang utuh secara sosial, emosional, dan spiritual.
Pembelajaran di kelas bukan soal menyelesaikan buku teks atau menyampaikan materi sesuai buku teks. Orientasinya pada pengembangan kompetensi dan karakter siswa, bukan penyampaian materi. (Anindito Aditomo)
”Pembelajaran di kelas bukan soal menyelesaikan buku teks atau menyampaikan materi sesuai buku teks. Orientasinya pada pengembangan kompetensi dan karakter siswa, bukan penyampaian materi,” ujar Anindito.
Secara terpisah, Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal mengatakan perlu ada perubahan revolusioner dalam sistem pendidikan Indonesia yang tidak lagi mengagung-agungkan akademik atau nilai. Para guru perlu diajak berubah agar tidak semata menyandarkan pada buku, lembar kerja siswa, atau kurikulum. Pola pikir ini masih menjadi tantangan berat di lapangan, baik dari guru maupun birokrasi pendidikan.
Sejak 2016, guru-guru atau sekolah yang secara sukarela bergabung di komunitas GSM ditantang untuk mengubah pola pikir dalam perannya sebagai pendidik yang membantu siswa berkembang sesuai kodrat anak agar berkembang potensi dan passion secara menyenangkan, diajak untuk bisa menjadi guru yang merdeka dalam mengembangkan pembelajaran di kelas, pun di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ). Peristiwa Olimpiade Tokyo 2021, misalnya, mampu ditangkap sejumlah guru-guru GSM untuk memampukan siswa merefleksikan apa yang mereka dengar, lihat, dan rasakan. Materi yang tidak ada di buku teks, tapi bermanfaat membangun nalar siswa dan lompatan pikir.
Di grup WA seorang guru komunitas GSM terjadi percakapan tertulis yang seru. Guru mengajak siswa memberikan tanggapan tentang kemenangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang berhasil menyumbangkan medali emas untuk Indonesia dari cabang bulu tangkis ganda putri. ”Apa yang kalian dapatkan setelah melihat tayangan akhir kemenangan Indonesia ini anak-anakku yang hebat?” tulis guru.
Beragam tanggapan pun disampikan siswa remaja di kelas ini. ”Mereka mengajarkan bahwa berusaha keras, berjuang, dan doa yang kuat akan menghasilkan apa yang diinginkan…. Motivasi Pak jangan menyerah Pak…. Tidak ada yang melarang kita untuk menggapai apa yang kita impikan,” kata siswa silih berganti.
Siswa kelas I SD pun berhasil mengeluarkan refleksi yang mendalam. Dengan tulisan tangan memakai spidol warna-warni, dia menuliskan, ”Medali emas sebenarnya tidak terbuat dari emas. Mereka terbuat dari keringat, tekad, dan panduan yang sulit ditemukan yang disebut nyali,” katanya seraya menambahkan gambar perempuan memegang raket.
Siswa kelas 1 SD lainnya menuliskan,”Terima kasih sudah berjuang. Semoga kami juga bisa seperti kalian,” katanya seraya dilengkapi gambar dua perempuan memegang raket dan bintang-bintang.
Menurut Rizal, semangat Merdeka Belajar seharusnya memerdekakan pendidikan. Ketika ada tantangan, guru merdeka menemukan metodologi yang tepat yang dibutuhkan anak. Guru berhamba pada anak-anak, bukan fokus menuntaskan pada kurikulum. ”Karena kondisi saat ini ada keterbatasan jarak, keterbatasan kuota internet untuk berinteraksi, maka perubahan bisa dipercepat jika narasi bersama perubahan dipahami,” papar Rizal.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim saat membuka Dialog Pendidikan Program Guru Penggerak secara virtual mengatakan, para guru penggerak bukan sekadar dilatih cara mengajarnya, melainkan dibuka pemikirannya agar secara mandiri dapat bereksperimen dan percaya diri mengikuti instingnya dalam menciptakan format pembelajaran yang menyenangkan. ”Murid harus merasakan perbedaan hadirnya guru penggerak di kelas,” ujar Nadiem.
Lingkungan belajar
Perubahan pola pikir dalam layanan pendidikan di sekolah juga diwujudkan dengan memberikan lingkungan belajar yang baik bagi siswa. Anindito menjelaskan, lingkungan belajar harus memastikan kualitas pembelajaran, iklim keamanan dan kebinekaan terjaga dengan baik. Inilah lingkungan sekolah yang bakal dipotret lewat AN untuk mendukung siswa nyaman dan bisa menikmati pembelajaran di sekolah.
Anindito memaparkan, kualitas pembelajaran di kelas penting untuk pengembangan kompetensi dan karakter siswa. Sebagian besar waktu siswa di kelas sehingga perlu memastikan agar guru terampil mengelola perilaku/manajemen kelas agar kondusif mendukung aktivitas pembelajaran. Demikian pula, guru memberikan dukungan sosial emosional sehingga anak-anak merasa diterima, punya kebebasan atau ruang memilih dalam pembelajaran dan keyakinan diri untuk belajar lebih lanjut (growth mindset). Guru menerapkan proses belajar yang mendalam, salah satunya dengan memancing pertanyaan yang membuat siswa berpikir dan berkolaborasi.
Dari segi guru juga dipotret proses bagaimana mereka belajar. Sebab, guru yang terus belajar akan mendukung kualitas pembelajaran di kelas. Guru harus terus menerus mengembangkan kemampuan mengajar dengan mampu berefleksi, mempertanyakan apakah yang diterapkan di kelas sudah baik, dan kolaborasi dengan guru lain.
Kepemimpinan kepala sekolah juga sangat penting. Orientasi kepemimpinan untuk pembelajaran atau administratif memengaruhi ekosistem sekolah. Kepala sekolah yang berorientasi pembelajaran akan fokus ke pengembangan kompetensi dan karakter akan terlihat dari cara mengelola kurikulum dan sekolah. Kepala sekolah akan mengembangkan ekosistem di mana ada waktu bagi guru untuk berkolaborasi, berefleksi, membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, hingga saling mengobservasi.
Menghadirkan iklim sekolah yang baik juga membutuhkan adanya keamanan sehingga sekolah bebas dari perundungan, kekerasan seksual, hukuman di sekolah, dan narkoba. Perlu juga memastikan kebinekaan terwujud agar warga sekolah tidak merasa tertolak atau didiskriminasi karena perbedaan cara berpakaian, suku, agama, ras, sosial ekonomi, jender, dan disabilitas.
Isu keberagaman memang jadi salah satu hal krusial di sekolah dengan munculnya berbagai kasus diskriminasi, salah satunya soal pakaian seragam. Lingkungan belajar harus mendukung tumbuhnya toleransi dan kebinekaan yang menjadi salah satu nilai keindonesiaan.
Anindito menjelaskan indikator kebinekaan yang mau ditangkap lewat AN adalah bagaimana sekolah mampu menghargai perbedaan. Dengan adanya toleransi, semua warga sekolah dapat nyaman bergaul, belajar, bekerja, berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang berbeda. Tidak ada beban sosial emosional untuk bekerja sama dalam tim atau dipimpin orang yang berbeda latar belakang. Ini juga penting untuk mendukung kesetaraan hak-hak sipil yang dijamin undang-undang, karena pada dasarnya setiap warga negara mempunyai hak sipil sama dan setara di depan hukum.
Direktur Wahid Foundation Mujtaba Hamdi menyambut baik adanya AN untuk memastikan iklim kebinekaan hadir di sekolah. ”Kami fokus di soal bagaimana bisa berkontribusi untuk menciptakan pencegahan yang lebih sistematis terhadap munculnya intoleransi di ranah pendidikan,” ujar Mujtaba.
Riset Wahid Foundation di tahun 2017-2018 yang memotret pikiran dan sikap siswa yang bergabung di ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis) menemukan sikap intoleransi yang tinggi dalam hubungan dengan siswa beragama lain. Sekitar 70 persen responden memiliki sikap menyetujui tidak boleh mengucapkan selamat hari raya kepada siswa bergama lain. Demikian pula tentang kepimimpinan beda agama, ada 60-70 persen responden yang menolak.
Namun, ada temuan yang optimistis, sekitar 80 persen siswa meyakini bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasan yang mempersatukan Indonesia dan berhasil. Ini menimbulkan optimisme untuk membangun persatuan di tengah keberagaman.
”Sekolah bisa memengaruhi pemikiran siswa. Karena itu, sekolah harus dipastikan membawa napas kebinekaan. Komunitas di sekolah, yakni siswa, guru, kepala sekolah, dan wali siswa, harus bersama-sama mewujudkan semangat kebinekaan di sekolah masing-masing,” ujar Mujtaba.