Sekolah Belum Menghadirkan Lingkungan Belajar yang Aman dan Nyaman
Lingkungan belajar di sekolah yang berkualitas, aman, dan nyaman dapat meningkatkan capaian belajar siswa. Namun, secara umum lingkungan sekolah masih kurang dan sedang, masih minim yang baik/tinggi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Siswa sekolah memanfaatkan waktu luang di perpustakaan sekolah di SMPN 255, Jakarta, Selasa (4/12/2018). Peningkatan prestasi sekolah dan belajar siswa dapat dilakukan dengan mengoptimalkan perpustakaan sekolah. Sebagian tugas siswa saat ini juga masih terbantu dengan keberadaan perpustakaan sekolah selain melalui internet.
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran berorientasi peserta didik masih rendah di semua jenjang pendidikan. Dari hasil survei lingkungan belajar di Asesmen Nasional 2021, capaian sekolah dalam menghadirkan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi siswa secara umum termasuk kategori kurang dan sedang.
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Novi Poespita Candra, yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (5/4/2022), mengutarakan, kondisi lingkungan belajar di sekolah yang secara umum masih rendah menunjukkan pendidikan berperspektif anak belum menjadi pola pikir utama di guru atau sekolah dan pemerintah.
”Pendidikan atau pembelajaran masih dengan mindset kurikulum, yakni menyampaikan materi dan metode mengajar yang tepat atau pedagogi. Jadi, belum berfokus pada apa kebutuhan anak. Intinya, pendidikan kita belum membangun terciptanya budaya baru dalam pembelajaran,” kata Novi yang juga Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Survei lingkungan belajar di Asesmen Nasional (AN) 2021 diikuti sekitar 3,1 juta guru dan tenaga kependidikan serta 6,5 juta siswa SD,SMP, dan SMA/SMK sederajat di 259.000 satuan pendidikan. Dari survei itu terungkap rendahnya mutu pembelajaran yang diberikan guru/sekolah pada siswa.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Anak-anak kelas V mengikuti latihan asesmen kompetensi minimum (AKM) di SD Tiara School, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (2/9/2021). Sebanyak 41 anak-anak di sekolah tersebut bergantian mengikuti latihan AKM dengan protokol kesehatan. Secara acak nantinya hanya akan dipilih 30 siswa untuk mengikuti AKM yang menjadi bagian dari Asesmen Nasional 2021. Asesmen Nasional 2021 terdiri dari asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.
Adapun terkait manajemen kelas, hanya 2 persen yang termasuk kategori baik, sedangkan di aktivasi kognitif seperti pembelajaran interaktif dan sesuai kemampuan peserta didik hanya 1 persen yang masuk kategori baik.
Terkait sekolah aman, sekitar 24,4 persen peserta didik berpotensi mengalami perundungan di satuan pendidikan setahun terakhir. Potensi insiden kekerasan seksual perlu mendapat perhatian karena 22,4 persen siswa menjawab pernah ada siswa lain atau pendidik ataupun orang dewasa lain menunjukkan bagian tubuh tertentu atau hal seksual lain langsung maupun tak langsung (gambar, video di gawai, atau media sosial) dalam satu tahun terakhir.
Pendidikan atau pembelajaran masih dengan mindset kurikulum, yakni menyampaikan materi dan metode mengajar yang tepat atau pedagogi. Jadi, belum berfokus pada apa kebutuhan anak.
Demikian pula iklim kebinekaan yang diukur dari sikap inklusif, komitmen kebangsaan, toleransi agama dan budaya, serta dukungan atas kesetaraan antarkelompok. Secara umum, kebinekaan belum membudaya, yakni sedang berkembang, bahkan ada 9 persen merah atau perlu ditingkatkan. Baru berkisar 32 persen yang tinggi/membudaya.
Membangun budaya baru
Novi menjelaskan, ada perbedaan persepsi guru dan siswa mengenai pembelajaran berkualitas. Guru sudah menganggap melaksanakan tugas untuk mengajar dengan baik sesuai panduan pemerintah, tetapi ketika ditanyakan kepada siswa perbedaannya amat jauh.
Terdapat perbedaan besar antara perspektif kualitas pembelajaran antara pendidik dan peserta didik. Padahal, persepsi peserta didik menunjukkan korelasi lebih tinggi terhadap capaian pembelajaran.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Salah satu pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Novi Poespita Candra, memberi arahan kepada para guru dan kepala sekolah peserta lokakarya pendidikan di Tangerang Selatan, Jumat (14/12/2018).
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim di peluncuran merdeka Belajar Episode 19: Rapor Pendidikan Indonesia, pekan lalu, menyatakan, level pembelajaran berorientasi peserta didik masih rendah. Padahal, dengan pendidikan karakter serta lingkungan belajar bermutu, capaian pembelajaran siswa akan baik, terlihat di literasi dan numerasi.
Menurut Novi, kebanyakan guru masih menghadirkan pembelajaran satu arah atau banyak tugas. Hal ini bisa berdampak ada sikap belajar dan motivasi siswa yang rendah. Padahal, siswa merasa mengantuk dan bosan dengan cara pengajaran guru dan ingin boleh belajar apa yang mau diketahui.
Dari pendampingan pada guru-guru di banyak sekolah pinggiran di sejumlah daerah, Novi mengatakan, GSM ingin menjadikan sekolah-sekolah di Indonesia memiliki lingkungan belajar yang positif, menyenangkan, aman, dan membangkitkan semangat belajar siswa untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan karakter baik anak-anak Indonesia.
”Dulu guru memandang rendah kalau sekolah pinggiran bisa berbuat apa. Namun, dengan mengubah mindset guru, dilatih, dan didampingi, para guru GSM mampu membangun lingkungan belajar prositif untuk menghadirkan pembelajaran positif yang memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna pada siswa,” kata Novi.
KOMPAS/RENY SRI AYU ARMAN
Anak remaja setingkat SMP dan SMA mengikuti aktivitas belajar di Sekolah Anak Percaya Diri di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (11/3/2022). Pendidikan luar sekolah ini diperuntukkan untuk anak-anak korban kekerasan.
Sementara Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu mengutarakan, secara acak didapatkan kegelisahan kepala sekolah yang tak memahami bagaimana hasil AN didapatkan. Hal itu meliputi, misalnya, apa yang disebut dengan ketercapaian dasar, cakap, dan mahir. Padahal, keterbacaan penting dalam proses pembelajaran, apalagi bila berbicara di ranah kesadaran.
Henny menilai, pertanyaan kritis terkait hasil AN yang jadi rapor pendidikan satuan pendidikan dan daerah perlu dikemukakan. Dari survei karakter untuk skor iman, takwa, dan akhlak mulia, lebih tinggi daripada kemandirian dan kebinekaan.
”Bagaimana memaknai tanpa kejelasan apa yang disebut iman, takwa, ahlak mulia, kemandirian dan kebinekaan? Apakah keseluruhannya tidak terkait sama sekali. Di sebelah mana pemisahannya,” ujarnya.
Menurut Henny, sekolah perlu segera meminta kejelasan dan mengajukan permintaan pendampingan sebagaimana dijanjikan. Dengan pendampingan, sekolah bisa mengukur ulang seberapa jauh para pendamping memahami semua hal yang masih kurang dari sekolah. Sebab, bisa jadi skor diberikan dengan sudut pandang amat berbeda.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Siswa kelas VI SD Al Lauzah, Tangerang Selatan, Banten, belajar membatik di sekolahnya, Senin (7/10/2019). Kegiatan ini bertujuan mengenalkan proses membatik yang menjadi warisan budaya asli Indonesia kepada anak-anak. Selain itu, diharapkan juga menumbuhkan jiwa enterpreneur pada siswa melalui kegiatan membatik. Sebanyak 143 siswa dibimbing oleh para pebatik dari Sanggar Batik Kembang Mayang.
”Kita perlu menemani guru-guru dan membuka ruang-ruang diskusi di mana isu kekerasan dalam dunia pendidikan dan nilai Pancasila bisa dibicarakan dalam contoh keseharian. Jadi, keterkaitan antara akhlak mulia dan kemanusiaan bisa dirasakan, bukan dihafalkan,” ujar Henny.
Mengotak-kotakkan
Novi menyatakan, berbagai terobosan merdeka Belajar, antara lain lewat AN, Kurikulum Merdeka, hingga Rapor Pendidikan untuk mengevaluasi satuan pendidikan menunjukkan niat baik pemerintah melalui Kemdikbudristek, untuk transformasi pendidikan. Survei karakter belajar dan lingkungan belajar selain aspek kognitif (literasi dan numerasi), bisa dinilai sebagai upaya pemerintah melihat pendidikan secara komprehensif.
Namun, strategi yang dikembangkan untuk mendorong perubahan dalam pendidikan dinilai belum tepat dalam implementasinya, sifatnya masih mengotak-ngotakkan atau kastanisasi guru dan sekolah.
”Semestinya sekarang untuk mengejar perubahan dalam pendidikan difokuskan pada menarasikan budaya baru bisa dilakukan semua sekolah. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seharusnya membuka akses agar perubahan itu bisa menjangkau semua sekolah,” kata Novi.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Penguatan pendidikan karakter menjadi salah satu program prioritas pendidikan nasional. Para guru sebagai pendidik punya peran membentuk siswa menjadi manusia yang utuh nalar dan budinya. Para guru yang ikut Sekolah Guru Kebinekaan 2017 yang digagas Yayasan Cahaya Guru disiapkan menjadi rujukan keberagaman, kemanusiaan, dan kebangsaan, agar dapat menjadi teladan bagi siswa di sekolah masing-masing
Pendekatan untuk perubahan budaya sekolah dengan label guru penggerak atau sekolah penggerak menunjukkan pengotak-ngotakan. Guru atau sekolah penggerak memiliki akses terhadap pelatihan dan pengembangan difasilitasi pemerintah, lalu diharapkan mengimbas ke sekolah atau guru yang bukan penggerak. ”Terobosan untuk perubahan berkelanjutan agar ada budaya baru pembelajaran di kelas atau sekolah menjadi tidak setara,” kata Novi.
Kritik senada disampaikan Henny. Di dalam rapor pendidikan satuan pendidikan ini bisa dilihat diskriminasi yang dilakukan pemerintah. Untuk aspek kompetensi guru dan tenaga kependidikan (GTK), salah satunya indikator proporsi GTK penggerak. Ada sekolah yang nilainya nol dan masuk kategori belum. Padahal, kesimpulan yang diberikan pemerintah karena satuan pendidikan belum jadi sasaran guru penggerak.
”Ini sebetulnya sudah diskriminatif, bukan potensi lagi. Program guru penggerak dan sekolah penggerak itu terbatas, tetapi menjadi salah satu indikator dalam rapor pendidikan secara nasional terkait GTK,” ungkapnya.