Mengubah Didikan ”Rotan” Menjadi Sekolah Menyenangkan
Tantangan pendidikan di era digital bukan lagi memastikan siswa punya nilai akademik yang tinggi. Membangun kesadaran diri siswa secara kritis akan memampukan mereka menghadapi kemajuan zaman yang terus berubah.

Gigih Setyorini, guru kelas 1 SD Pariem, Kabupaten Supiori, Papua, mengajak siswa belajar dengan rileks dengan menyanyi bersama. Anak-anak pun merasa lebih bahagia belajar dan senang berada di sekolah. Para guru mulai memperhatikan pendidikan yang mengutamakan anak lewat Gerakan Sekolah Menyenangkan.
Sekolah sejatinya sebagai rumah kedua siswa untuk menemukan versi terbaik dirinya dengan dukungan para guru. Sepanjang hari berada di sekolah dengan para guru yang belum sepenuhnya mengutamakan kebahagiaan anak-anak didik bukan berarti siswa menemukan proses belajar yang sesungguhnya.
Anak-anak Papua di Kabupaten Supiori masih banyak yang berjalan kaki hingga sekitar satu jam untuk sampai di sekolah. Sering dijumpai banyak anak yang terlambat hadir di sekolah pukul 08.00. Bahkan, ada sejumlah anak yang tidak masuk sekolah karena tidak termotivasi dan memilih ikut membantu orangtua bekerja.
Rasa putus asa untuk dapat memotivasi siswa menikmati waktu di sekolah sebenarnya menjadi beban di hati dan pikiran banyak guru di Kabupaten Supiori. Sebagai guru, mereka merasa sudah berupaya mengajar siswa dengan buku-buku teks sesuai kurikulum. Namun, suasana kelas dan capaian belajar siswa masih jauh dari harapan.
Untungnya, setahun belakangan ini suasana berbeda kini mulai hadir di sejumlah SD negeri maupun swasta di Kabupaten Supiori. Hal ketika Dinas Pendidikan Kabupaten Supiori mendukung para guru, kepala sekolah, dan pengawas memperkuat kapasitas diri lewat komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).
Pendekatan dengan hati lebih dibutuhkan siswa. Saya jadi berubah, dari guru yang paling galak, kini mencoba untuk menjadi sosok guru yang bisa berdialog dengan siswa.
Dalam kunjungan Penggagas GSM Muhammad Nur Rizal dan istrinya, Novi Poespita Candra, ke Supiori, Rabu (14/9/2022), terlihat sejumlah SD dengan guru-guru yang telah tersentuh spirit GSM. Mereka telah mendidik dengan berpusat pada anak mampu menghadirkan sekolah yang menyenangkan.
Memasuki SD YPK Diaspora Sorendiweri yang berseberangan dengan pantai di pusat kota Supiori, tiap kelas punya gaya masing-masing untuk menghadirkan kelas yang menyenangkan bagi siswa. Tembok kelas tak lagi polos, tetapi dihiasi dengan hasil karya siswa hingga tempelan berbagai zona yang menghargai keunikan tiap siswa. Pojok baca dilengkapi kasur maupun karpet menambah semarak suasana kelas. Deretan bangku pun disusun beragam bentuk sesuai kebutuhan belajar.
Baca juga : Ketika Guru Merasakan Kembali Menjadi Murid
”Saya senang diajak ibu guru untuk ikut menggambar. Saya bantu gambar pohon,” kata Rachel Manufundu, salah satu siswa SD YPK Diaspora Sorendiweri.
Untuk mengubah suasana kelas yang semarak, guru melibatkan siswa. Mereka berembuk, lalu bergotong royong ”menyulap” ruang kelas yang menyenangkan untuk semua anggota kelas. Secara umum, di kelas ada zona kehadiran, zona harapan, cita-cita, zona kebaikan, zona emosi, dan berbagai zona kreasi guru.
Guru kelas 3B Junawati mengatakan, perubahan kelas menyenangkan bagi siswa. Para siswa yang terlambat kemudian berlomba-lomba untuk lebih dulu hadir di sekolah agar bisa mendapat urutan di atas saat mengisi zona kehadiran di dinding, yang dihiasi dengan foto diri siswa.

Guru-guru di Kabupaten Supiori, Papua, diajak untuk menghadirkan sekolah yang menyenangkan dengan dukungan komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Supiori pada 12-13 September 2022.
”Siswa sering terlambat datang. Guru sudah marah-marah pun tetap saja terlambat. Dengan inpsirasi GSM untuk membuat zona kehadiran, justru siswa sendiri dengan sadar berlomba-lomba datang lebih pagi ke sekolah. Rasanya senang melihat siswa mulai antusias datang ke sekolah setiap hari,” kata Junawati.
Guru kelas 3A Jelita Notanubun mengatakan, dirinya sebenarnya sudah lama gelisah dengan cara mengajar yang monoton. Dia merasakan siswa yang kurang termotivasi. Namun, Jelita mengakui kurang peduli, karena fokusnya yang penting materi pelajaran selesai dan siswa punya nilai akademik sesuai standar.
Tanpa sengaja di saat pandemi, Jelita melihat Youtube GSM. Komunitas guru GSM yang berisi kumpulan guru-guru sekolah pinggiran alias sekolah biasa dari sejumlah daerah yang gelisah tak sekadar mengajar sebagai rutinitas mengejar akademik, berjejaring, dan berbagi praktik baik. Jelita pun mulai menerapkan cara belajar yang memerhatian sosial emosi anak untuk menyiapkan kebahagiaan anak. Harapannya, anak lebih bergairah untuk belajar.
Baca juga: Sekolah Belum Menghadirkan Lingkungan Belajar yang Aman dan Nyaman
Menurut Jelita, mindset-nya berubah dari sekadar guru yang memastikan nilai mata pelajaran anak baik kini berkomitmen menjadikan dirinya sebagai orangtua kedua para siswanya. Kelas pun disulap dengan beragam hiasan untuk membuat siswa betah berada di kelas.
Bahkan, di salah satu sisi ada meja berisi air panas untuk membuat teh dan kopi. Para siswa mengumpulkan uang kas untuk membeli kebutuhan minum di kelas. ”Saya silakan anak-anak yang belum sempat sarapan bisa untuk menikmati teh, bahkan ada yang suka kopi, supaya menambah semangat belajar,” kata Jelita.

Salah satu guru di SD YPK Diaspora Sorendiweri menunjukkan suasana kelas yang diubah menjadi menyenangkan kepada pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhamamd Nur Rizal (kiri) danNovi Poespita Candra (kanan). Guru membantu siswa untuk memahami konsep dalam pembelajaran dengan membuat media belajar dan menciptakan kelas yang menyenangkan.
Kegembiraan siswa selama belajar dengan guru yang tidak hanya memerintah dan marah-marah, kata Co-Founder GSM yang juga dosen psikologi Universitas Gadjah Mada, Novi, dapat merangsang bagian otak neokorteks. Anak-anakpun lebih siap untuk belajar dan bernalar tingkat tinggi.
Pantai di seberang sekolah kini juga dimanfaatkan para guru untuk belajar di luar ruang kelas. Para guru mengajak siswa belajar kontekstual. Jelita pun sering mengajak siswa untuk berjoget bersama mengikuti gaya di TikTok untuk membuat siswa rileks sehingga tidak tertekan saat belajar.
Baca juga : Membantu Siswa Berkembang lewat Sekolah Menyenangkan
Pendidikan yang memanusiakan manusia dikuatkan dalam mindset para guru. Pendidikan dibangun dengan kesadaran diri sehingga terbentuk karakter untuk menjadi pribadi yang terbaik versi dirinya dengan sadar. Perubahan perilaku dan motivasi belajar dalam diri siswa pun terbangun bukan karena paksaan guru yang seringkali dengan kekerasan.
Memahami emosi anak
Diakui guru-guru di Supiori, mereka masih terbiasa menggunakan kekerasan baik verbal maupun nonfisik. Bahkan, ada anggapan dengan menggunakan rotan yang biasa dipakai untuk memukul para siswa yang sulit diatur, di ujungnya ada “emas”. Dengan pukulan rotan itu dianggap dapat mendidik siswa agar punya perilaku hidup yang lebih baik sehingga kelas menjadi seseorang yang sukses di masa depan.
Guru kelas 2B Tresia Rumbekwan mengakui dirinya dikenal “kejam”. Siswa yang paling sulit diatur akan diserahkan pada dirinya. Dia mengakui tak segan memukul siswa. Dia pun merasa bangga dikenal sebagai guru “killer”. Namun, pendisiplinan siswa dengan pukulan/rotan diakui tak berdampak banyak.
“Setelah kenal GSM, saya jadi sadar. Pendekatan dengan hati lebih dibutuhkan siswa. Saya jadi berubah, dari guru yang paling galak, kini mencoba untuk menjadi sosok guru yang bisa berdialog dengan siswa,” kata Tresia.

Para siswa di berbagai sekolah di Kabupaten Supiori, Papua, mulai merasakan iklim dan lingkungan sekolah yang menyenangkan. Para guru, kepala sekolah, dan pengawas mendapatkan penguatan untuk belajar bersama di komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Supiori untuk menerapkan prinsip-prinsip pendidikan yang berpusat pada siswa.
Tresia pun dengan cermat memeriksa papan zona emosi yang dibuat dari bekas air mineral. Ada beragam ikon emosi mualai dari sedih, marah, bingung, senang, hingga tertawa yang ditempel di kertas karton di dinding. Tiap masuk kelas, siswa memasukkan stik untuk menujukkan emosinya hari itu.
“Ketika saya temukan ada yang menaruh stik di ikon menangis, saya tanya dengan lembut apa yang terjadi dengan dirinya. Siswa itu bercerita dia menangis karena minta uang jajan ke mama di rumah tapi tidak diberi. Saya pun mencoba untuk mengajak para siswa bermain-main dulu untuk membuat beragam emosi yang dibawa dari rumah menjadi positif dan siap belajar,” kata Tresia.
Keceriaan bersekolah juga dirasakan siswa di SDN Pariem. Anak-anak tak lagi merasa tegang dan takut saat berinterkasi dengan guru. Para guru yang dikenal galak, pelit untuk bertanya tentang kesulitan siswa, kini mulai sering mengajak bercerita.
Lebih rileks
Kepala SDN Pariem Demianus Imbab mengatakan kemajuan sekolah selama ini biasa-biasa saja, guru hanya fokus mengajar. Dirinya sebagai kepala sekolah memastikan siswa mengikuti aturan sesuai kemauan dirinya.
"Saya suka bawa rotan untuk anak yang nakal. Namun, setelah kami kenal GSM, kini suasana di sekolah berubah. Anak-anak jadi lebih senang. Kami pun jadi lebih rileks mendidik anak-anak,” kata Demianus.
Gigih Setyorini, guru kelas 1 SD Pariem, Supiori, mengakui guru tidak mengutamakan untuk membangun kedekatan dan interaksi dengan anak-anak didik. Belajar disekolah terfokus sebagai proses transfer pengetahuan untuk menuntaskan materi belajar agar anak pintar. Cara guru untuk membantu anak lebih mudah dengan bersikap tegas dalam mendisiplinkan siswa saat belajar.
Namun, dengan paradigma baru bahwa pendidikan untuk membangun kesadaran diri siswa dan membangun proses belajar yang membantu siswa bernalar, Gigih mengubah pendekatannya pada siswa. Ia kini berfokus pada perubahan-perubahan kecil yang berpusat pada siswa dan kenyamanan siswa dalam belajar.
Baca juga : Pendidikan untuk Menggali Potensi Terbaik Siswa
Perubahan terus ditingkatkan dalam proses belajar. Ketika siswa dengan kesadaran diri sudah mau diarahkan dan diajak kerja sama, Gigih juga mengubah cara belajarnya yang satu arah dengan dialog dan interaksi. Siswa kelas 1 diajak untuk aktif belajar literasi dan numerasi lewat menyanyikan lagu, bermain, serta menyediakan alat peraga dan bentuk kegiatan yang membuat siswa menikmati waktu belajar di sekolah.
"Senang dengan Bu guru baik. Bu guru suka baca buku, kasih belajar membaca. Ajak menari sambil belajar," ujar sejumlah siswa kelas 1 SD Pariem yang berebutan mengungkapkan tanggapan mereka.

Para guru, kepala sekolah, dan pengawas SD dan SMP se-Kabupaten Supiori, Papua, antusias mengikuti pelatihan Guru Sekolah Menyenangkan (GSM) yang berlangsung pada 12-13 Septemebr 2022 di Biak. Pendidikan diajak untuk memahami dan menerapkan pendidikan yang kembali memanusiakan manusia untuk mendukung berkembangkan potensi terbaik tiap peserta didik.
Perwakilan orangtua siswa SD Pariem Roni M mengatakan suasana di sekolah mulai terasa nyaman untuk anak-anak. Para guru yang mulai menghadirkan sekolah menyenangkan berdampak pada anak-anak mereka yang tidak sulit lagi untuk bangun pagi, bahkan mulai bangun sendiri karena ingin cepat-cepat sampai di sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Supiori Rafles Ngillamele mengatakan semua guru ingin berubah untuk memajukan pendidikan di Supiori. “Saya senang bertemu guru, kini auranya berubah, jadi lebih bahagia dan rileks. Perubahan ini tentunya akan dirasakan siswa sehingga mereka pun nantinya punya kesadaran diri untuk termotivasi belajar menggapai cita-cita sesuai potensi dirinya,” kata dia.
Raffles mendorong para guru, kepala sekolah, dan pengawas menjalankan aksi untuk mewujudkan sekolah menyenangkan lewat komunitas GSM Supiori yang digerakkan guru. “Kami ingin mendukung guru untuk dapat memahami kebutuhan pendidikan generasi masa kini,” kata Raffles.
Baca juga : Guru pun Berstrategi Menerapkan Pembelajaran yang Menyenangkan
Sementara itu, pendiri GSM Muhammad Nur Rizal, mengatakan banyak inovasi yang sudah dilakukan pemerintah, termasuk dengan pergantian kurikulum yang sekarang dinamakan Kurikulum Merdeka. Namun, dalam 20 tahun terakhir hasilnya stagnan alias tidak ada kemajuan, yang menempatkan capaian pendidikan dan daya saing produktivitas bangsa masih rendah.
“Kami belajar dari transformasi di sekolah-sekolah pinggiran, perubahan yang dari akar rumput, atau dari kekuatan guru untuk berkomunitas perlu digerakkan dan dikuatkan. Kebutuhan guru untuk memiliki komunitas belajar membuat mereka bisa saling berbagi praktik baik sambil berjejaring untuk tak pernah berhenti belajar bersama demi kepentingan siswa,” kata Rizal.