Ketika Guru Merasakan Kembali Menjadi Murid
Kebijakan pendidikan silih berganti dihadirkan pemerintah, mulai dari kurikulum hingga asesmen. Namun, para guru di sekolah tetap saja terjebak dengan cara lama. Guru butuh penguatan untuk mampu membangun proses belajar.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F13%2Facf6f742-7364-4d31-8f54-4ca119de8be9_jpg.jpg)
Para guru se-Kabupaten Supiori, Papua, mendapat pelatihan untuk menciptakan sekolah menyenanakan, kerja sama Dinas Pendidikan Supiori dan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Para guru merasakan langsung proses belajar yang menyenangkan untuk bisa diimplementasikan di sekolah.
Transformasi pendidikan terus digulirkan pemerintah tiap kali pemilihan umum/daerah usai. Pemimpin pendidikan di tingkat pusat maupun daerah berganti-ganti membawa “selera” dan keyakinan masing-masing untuk mewujudkan transformasi pendidikan berkualitas dan inklusif demi menyiapkan sumber daya manusia unggul bagi negeri ini.
Di ruang-ruang kelas di seluruh penjuru negeri, para guru terengah-engah mengikuti dinamika perubahan demi perubahan, mulai dari kurikulum, pendidikan karakter, penilaian, asesmen, hingga urusan administratif lain yang terus berganti. Namun, akses pengembangan profesional guru minim dan tidak sesuai kebutuhan. Hal ini membuat guru menjalankan rutinitas pembelajaran sama dari waktu ke waktu serta tidak juga mampu menjawab transformasi pendidikan yang dibayangkan pemerintah.
Banyak guru kecewa dan gelisah pada diri mereka sendiri tapi tak berdaya. Mereka menemukan praktik belajar di ruang kelas yang masih jauh dari menghadirkan proses belajar yang berpusat pada siswa.
Survei lingkungan belajar di Asesmen Nasional (AN) 2021 diikuti sekitar 3,1 juta guru dan tenaga kependidikan serta 6,5 juta siswa SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat di 259.000 satuan pendidikan, menunjukkan rendahnya mutu pembelajaran oleh guru/sekolah pada siswa. Adapun terkait manajemen kelas, hanya 2 persen berkategori baik, sedangkan di aktivasi kognitif seperti pembelajaran interaktif dan sesuai kemampuan peserta didik hanya 1 persen berkategori baik.
Menangkap kebuntuan transformasi pendidikan yang di ruang-ruang kelas dan sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten Supiori, Papua, mengundang perwakilan pengawas, kepala sekolah, dan guru dari 40 SD dan 13 SMP di wilayah ini. Di salah satu hotel mewah di Biak, hampir 150 peserta menjalani workshop Penciptaan Ekosistem Sekolah Menyenangkan Bagi SD dan SMP di Kabupaten Supiori, dengan menggandeng komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).
Saya tujuannya ingin bahagia, karena jika kita menjalani hidup dengan baik dan bahagia, kita bisa menjadi berkat bagi orang lain.
Keyakinan untuk mentranformasi pendidikan di Supiori dengan gerakan akar rumput GSM bermula dari usaha mandiri guru SD Elisabeth Dimara. Menjadi guru pegawai negeri sipil di SD YPK Yendoker, Distrik Supiori, sejak 2011, Elisabeth merasakan tak banyak kemajuan di ruang kelas.
Anak-anak didiknya kurang termotivasi dan ia berusaha keras membuat perubahan. Kesempatan pelatihan sempat didapatnya terkait Kurikulum 2013 yang baru diterapkan, tetapi berlalu begitu saja.

Meskipun berada dalam keterbatasan, Elisabeth mencoba mencari cara dengan berselancar di dunia maya. Di tahun 2019, ia melihat Youtube Komunitas GSM yang digagas pasangan suami istri dosen Universitas Gadjah Mada, Muhammad Nur Rizal dan Novi Poespita Candra. Para guru diajak mengubah kultur baru sekolah dari mulai yang bisa dilakukan.
Hal itu dengan membawa perubahan pendidikan lewat kesadaran diri dan membangun lingkungan positif sehingga menghadirkan kembali pendidikan yang memanusiakan anak. Banyak guru dari berbagai sekolah dan daerah yang gelisah atau disebut penyimpang positif yang selama ini merasa sendiri, bergabung untuk bersama-sama menguatkan fondasi menjadi pendidik yang menginspirasi para siswanya.
Sekolah pinggiran tempat Elisabeth mengajar pun perlahan bertransformasi yang dimulai dari kelasnya saat mengajar siswa kelas 6 SD. Dimulai dari menyulap suasana kelas dengan melibatkan siswa melukis dinding kelas, hingga menghadirkan berbagai zona untuk membangun kesadaran diri siswa, dari hal sederhana seperti zona kehadiran dan zona bintang kebaikan. Para siswa tak lagi dilihat hanya dari nilai mata pelajaran, tetapi juga disiplin, jujur, membantu teman, dan beragam hal baik lainnya dihargai guru dengan bintang kebaikan. Para siswa pun akhirnya termotivasi karena dirinya yang unik dihargai.

Perubahan secara swadaya dari seorang guru yang gelisah memberikan layanan pendidikan yang menyenangkan untuk siswa ini, akhirnya pada 2021 menyadarkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Supiori Rafles Ngillamele bahwa transformasi pendidikan dimulai dari guru yang berempati pada kebutuhan siswa. Para guru pun difasilitasi untuk melihat langsung praktik baik sekolah menyenangkan di Yogyakarta dan komunitas GSM yang berjejaring. Perubahan berkelanjutan terjadi dengan kesadaran diri guru yang berjejaring di daerah dan nasional.
Suasana kelas
Para guru, kepala sekolah, dan pengawas yang menempuh jalan darat dari Supiori ke Biak sekitar tiga jam, duduk tersebar di 14 meja bulat berukuran besar di ruangan auditorium yang lega. Sebelum memulai pelatihan, tim GSM mengajak tiap kelompok untuk mengutarakan usulan kesepakatan kelas selama pelatihan. Berbagai pendapat terlontar, mulai dari sepakat untuk disiplin, tidak menggunakan gawai, hingga aktif bertanya.
Sejak di awal workshop, semua peserta diajak untuk merasakan suasana kelas yang menyenangkan. Mereka dibawa untuk memahami hakikat pendidikan yang semestinya kembali memanusiakan manusia. Para guru dikenalkan dengan paradigma kesadaran diri untuk menciptakan lingkungan belajar positif yang memahami dan mengakomodasi kebutuhan anak-anak didik sebagai manusia.
Co-Founder GSM Novi Poespita Candra mengenalkan guru untuk memahami social emotional learning (SEL). Para guru diminta mengisi kertas dengan tujuan hidup mereka.
Baca juga : Membantu Siswa Berkembang lewat Sekolah Menyenangkan
Diiringi lagu "Sajojo" yang bersemangat, para guru menggoyangkan tubuh seraya berpindah tempat untuk menemukan guru lain dan berbagi cerita tentang tujuan hidup yang sudah ditulis. Suasana kelas besar di pagi hari itu terasa riuh dan bersemangat.
Usai kelas dapat dikendalikan, Novi mengajak sejumlah peserta menceritakan tujuan hidup mereka. Ada yang mengatakan ingin hidup baik-baik saja hingga ingin bermanfaat. Ketika seorang guru perempuan diminta mengungkapkan tujuan hidupnya, dengan jujur dia mengatakan sulit menentukan tujuan hidupnya.
Dengan sabar Novi mengajak bu guru Alfiona mengobrol, hingga akhirnya dia mampu merumuskan tujuan hidupnya. “Saya sempat bingung, seperti belum ada tujuan yang mau saya capai secara konsisten. Tapi dari kegiatan ini jadi terinspirasi. Saya tujuannya ingin bahagia, karena jika kita menjalani hidup dengan baik dan bahagia, kita bisa menjadi berkat bagi orang lain,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F12%2F9ecc87f1-7e38-4a78-b24e-60951f625ee6_jpg.jpg)
Para guru, kepala sekolah, dan pengawas SD dan SMP se-Kabupaten Supiori, Papua, antusias mengikuti pelatihan Guru Sekolah Menyenangkan (GSM) pada 12-13 September 2022 di Biak. Pendidik diajak untuk memahami dan menerapkan pendidikan yang kembali memanusiakan manusia untuk mendukung berkembangnya potensi terbaik tiap peserta didik.
Guru tak sekadar dikuatkan untuk bisa mengajar dengan berbagai metodologi. Yang utama, guru dikuatkan fondasi membangun kesadaran dirinya, lalu siswa. Guru punya tugas untuk memastikan siswa bahagia selama belajar dengan guru yang berdialog/berinteraksi, refleksi, dan intropeksi. Sayangnya, banyak guru yan tak paham memulai dari mana.
Setelah guru memahami cara mengaktivasi bagian otak neokorteks siswa dengan menghadirkan suasana bahagia/menyenangkan dalam pembelajaran, barulah guru disiapkan untuk mampu mengutarakan penalaran kritis/berkesadaran siswa. Cara proses berpikir dengan 5E dikenalkan yakni engangement (menciptakan ketertarikan atau rasa ingin tahu), explore (menemukan masalah nyata, mencari referensi, dan menemukan alternatif solusi), explain (mengkomunikasikan temuan/latihan memberikan informasi, agar tumbuh percaya diri), elaborate (memeprdalam dan memperluas temuan berdasarkan feedback dan referensi), serta evaluate (memberi umpan balik).
Lagi-lagi konsep cara berpikir ini tak sekadar dipaparkan dalam teori. Para guru diajak menjadi murid dengan provokasi video tentang krisis air bersih. Lalu, tiap kelompok harus mendiskusikan mulai dari apa yang dilihat, apa yang yang dipikirkan, apa yang dirasakan, dan apa yang akan dilakukan.
Baca juga : Guru pun Berstrategi Menerapkan Pembelajaran yang Menyenangkan
Setelah itu, mereka harus bisa menjawab masalahnya apa? Mengapa terjadi? Bagaimana solusinya? Para guru diizinkan mencari literatur ilmiah melalui internet untuk memperkaya perspektif.
Dengan sigap tiap kelompok berdiskusi dan membuat paparan mengatasi krisis air bersih, dari mengetengahkan masalah, mengapa masalah bisa terjadi, sampai solusi yang bisa membuat air bersih tersedia di kampung. Suasana kelas para guru riuh karena semua berusaha aktif. Fasilitator dari GSM mendampingi para guru yang kebingungan, dari memantik ide hingga memberikan saran ketika dibutuhkan.
Ketika tiap kelompok diberi waktu untuk presentasi, diberikan arahan untuk kelompok lain seolah-olah memegang kamera dan meneriakkan action sebagai tanda presentasi dimulai. Kesempatan workshop mengajarkan guru unutk meresapi bagaimana mereka bisa menghadirkan kelas/sekolah menyenangkan. Waktu pelatihan dari pukul 08.00 – 17.00 tak teras berlalu, para guru terus asyik berlatih, tak menghiraukan gawai.
Butuh belajar
Sementara itu, para guru di wilayah Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, juga bersemangat menjalani training of trainers (TOT) Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Germas Tastaba) yang ditawarkan Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas. Para guru SD/MI negeri dan swasta di sekitar Jonggol, dirangkul komunitas guru Jonggol Reformer Educators (JRE) yang digagas Basuki Rahmat, untuk mengikuti pembelajaran membaca bermakna, guna mengatasi masalah literasi siswa yang rendah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F20%2F8d48f7c6-d436-490e-88ec-062ff833ba29_jpg.jpg)
Fasilitator Gerakan Nasional Peberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) mendampingi para guru SD/MI di wilayah Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk dapat menerapkan proses belajat bermakna dan kontekstual, Minggu (28/8/2022). Para guru minim mendapatkan pelatihan yang mendukung mereka mampu menerapkan proses belajar menyenangkan dan membangun penalaran di dalam kelas.
Pada Minggu (28/8/2022), sekitar 30 guru berkumpul di ruang kelas di SD Negeri Citra Indah, Jonggol. Pertemuan terakhir setelah enam minggu belajar menjadi puncak dari pelatihan guru untuk menghadirkan proses belajar membaca/literasi yang membangun penalaran siswa. Hal ini dimulai dengan tantangan guru harus menjadi pembaca yang aktif.
“Kesempatan bagi guru di Jonggol untuk mendapatkan pelaihan dari dinas pedidikan, minim. Seringkali hanya guru itu lagi itu lagi yang dipanggil pelatihan. Padahal para guru butuh belajar yang mendapatkan sertifikat untuk bukti pengurusan kenaikan pangkat maupun sertifikasi guru. Kasihan para guru yang tidak dapat kesempatan pelatihan. Lewat JRE, guru bisa swadaya untuk belajar yang mereka butuhkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,” kata Basuki Rahmat, Presidium JRE yang juga kepala sekolah SD di Jonggol.
Relawan Gernas Tastaba Dhitta Puti Sarasvati bersama tim menutup sesi pelatihan guru dengan topik kegiatan sebelum, saat, dan setelah membaca. Lagi-lagi para guru diajak untuk merasakan menjadi siswa agar dapat membayangkan proses belajar yang seharusnya terjadi ketika membaca di kelas.
Dhitta mengajak kelas mendikusikan buku cerita berjudul “Misteri di Pasar Terapung”. Sebelum mulai membaca, para guru diminta menuliskan pendapatnya tentang pasar. Dengan semangat guru menuliskan di post it, ada menulis tempat bertemu pedagang dan pembeli, hingga ada yang menulis ibu pergi ke pasar.
Baca juga : Pendidikan untuk Menggali Potensi Terbaik Siswa
Diskusi pun mulai terjadi dalam suasana yang ramai dan riang. Padahal, kegiatan membaca belum berlangsung. Lalu, aktivitas dilanjutkan dengan fasilitator yang menuliskan sejumlah kosakata yang dianggap sulit atau belum dipahami siswa. Daftar kosakata seperti pasar terapung, barter, sisir pisang, jukung, gesit, bergegas, berkelit, tersentak, hingga penangkaran ditulis dan didiskusikan maknanya dengan siswa sebagai bekal saat membaca.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F20%2F9dc5a839-e57f-43b1-b1fb-86da1cc2652c_jpg.jpg)
Para guru SD/MI di wilayah Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, antusias mengikuti TOT Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) di SDN Citra Indah, Jonggol, Minggu (28/8/2022). Para guru yang didukung komunitas Jonggol Reformer Educators mempraktikkan kegitan setelah membaca buku dengan membuat karya.
Saat membaca, buku dibacakan dengan intonasi yang jelas dan ekspresif. Kegiatan saat membaca ditunjukan dengan guru membuat pertanyaan terbuka/tertutup untuk memastikan siswa paham jalan cerita. Lalu, setelah membaca, diskusi pun berlangsung seru untuk melihat perspektif siswa tentang berbagai jenis pasar yang ada di masyarakat.
Kegiatan setelah membaca menjadi semakin seru ketika para guru diberi selembar karton berbentuk perahu. Mereka diminta untuk menggambar berbagai jenis barang yang akan dijual di pasar terapung. Semua karya ditempel dalam sebuah karton besar, mengandaikan sungai tempat pasar terapung di buku hadir di kelas dari karya bersama.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas Ahmad Rizali mengatakan para guru bersemangat untuk belajar asal sesuai dengan kebutuhan mereka untuk mampu membangun proses belajar yang memotivasi dan menginspirasi siswa di kelas. “Apalagi untuk jenjang SD/MI yang menjadi fondasi penguatan literasi dan numerasi siswa, para guru butuh untuk terus diinpirasi mengembangkan pembelajaran bermakna, sehingga mereka lebih sabar untuk menerima ungkapan kreativitas anak-anak yang kadang di luar dugaan. Kami berharap praktik baik untuk menguatkan guru dalam pembelajaran membaca dan matematika yang bermakna dan kontekstual serta membangun penalaran menyebar ke banyak daerah,” kata Rizali.