Membantu Siswa Berkembang lewat Sekolah Menyenangkan
Anak-anak Indonesia perlu didorong dan difasilitasi untuk menemukan potensi terbaik dirinya. Pendidikan dengan ekosistem menyenangkan membangun pendidikan dengan kesadaran kritis.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Para guru se-Kabupaten Supiori, Papua, mendapat pelatihan untuk menciptakan sekolah menyenangkan. Pelatihan ini kerja sama antara Dinas Pendidikan Supiori dan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Para guru merasakan langsung proses belajar yang menyenangkan untuk bisa diimplementasikan di sekolah.
Sekolah menyenangkan adalah sekolah yang mendidik manusia. Namun, benarkah keseharian guru-guru di sekolah yang menjadi ”raja atau penguasa” kelas sudah mendidik manusia? Pertanyaan itulah yang mengantarkan para guru, kepala sekolah, dan pengawas SD serta SMP se-Kabupaten Supiori, Papua, pada 12-13 September 2022 untuk merefleksikan kembali hakikat pendidikan yang diyakini untuk membantu para siswa mengeluarkan potensi terbaik diri masing-masing.
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang juga dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada, Novi Poespita Candra, mengatakan, pendidikan di GSM dibangun dengan kesadaran diri yang merupakan keunikan manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lain. Bahkan, kesadaran diri inilah nantinya yang membekali peserta didik untuk tidak mudah disetir oleh lingkungan ataupun teknologi digital yang semakin canggih dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence.
Workshop Penciptaan Ekosistem Sekolah Menyenangkan bagi SD dan SMP di Kabupaten Supiori, yang dilaksanakan Dinas Pendidikan Supiori bersama GSM, mengajak guru mengembalikan pendidikan yang mendidik manusia. Selama ini, pendidikan ”memerangkap” guru untuk mengisi pengetahuan atau akademik siswa dibandingkan dengan membangun kesadaran diri siswa. Padahal, pendidikan harus menyadarkan alias membangun kesadaran kritis.
Pendidikan harus menyadarkan setiap orang yang belajar untuk sadar tentang dirinya, sadar posisi dirinya dan lingkungannya. Dengan demikian, akan terbangun kesadaran kritis agar setiap orang bisa keluar dari persoalan kehidupannya sekaligus memiliki harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Novi memaparkan, kesadaran diri siswa dapat dibangun lewat pembelajaran sosial emosional (social emotional learning). Hal ini dapat dicapai dengan menghadirkan suasana hati anak yang bahagia dengan datang ke sekolah yang aman dan belajar menyenangkan. Belajar tak hanya mendengarkan ceramah guru, menghafal materi, lalu mengerjakan ujian yang sifatnya mengingat kembali hafalan, yang sebenarnya gampang ditemukan di mesin pencari digital.
”Jika belajar di kelas hanya model hafalan yang membuat siswa diam dan menerima perintah saja, itu hanya mengaktifkan bagian otak reptil. Bagian otak ini juga dipunyai binatang yang tugasnya (memerintah untuk) diam maupun menyerang. Otak akan jadi membeku atau freeze yang dimunculkan dari kegiatan perulangan,” kata Novi.
Lalu, ada juga limbik, bagian tengah otak, yang juga dipunyai mamalia. Otak ini untuk memunculkan emosi dasar seperti senang, cinta, marah, dan sedih.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE) 17-10-2018
Muhammad Nur Rizal dan Novi Poespita Candra, Penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan
Menurut Novi, yang hebat adalah manusia karena memiliki satu bagian otak neokorteks untuk berpikir, berbicara, melihat, dan mencipta. ”Di pendidikan, neokorteks anak ini tidak berfungsi baik jika guru cuma dialog satu arah, menyuruh kerjakan tugas. Kalau guru tidak suka lagi ngobrol, apakah guru mendidik manusia? Dengan mengajak siswa ngobrol, mereka bisa membuat keputusan baik dan buruk, membedakan yang baik atau tidak, hingga mana yang dilakukan atau tidak. Di sinilah ada kemampuan untuk menciptakan karena ada imajinasi dan karakter yang terbangun,” ujar Novi.
Anak berbahagia
Jika kondisi anak bahagia, neokorteks bekerja dengan baik. Dengan demikian, peserta didik siap diajak belajar bernalar tingkat tinggi (higher order thinking skill/HOTS). Anak-anak pun mampu membangun kesadaran diri yang penting pula untuk membentuk karakter.
Novi mengatakan, pendidikan dengan menumbuhkan rasa takut karena disuruh, diperintah, atau diarahkan membuat pencapaian pendidikan menjadi rendah. Contohnya, pencapaian literasi dan numerasi yang rendah bukan karena minat baca masyarakat Indonesia rendah, melainkan karena daya tahan membaca yang lemah. Hal ini karena neokorteks lemah akibat belajar dalam suasana tidak bahagia atau menyenangkan.
”Pendidikan yang membangun kesadaran diri itulah yang harus terus dilakukan guru, caranya dengan dialog, refleksi, dan introspeksi,” ujar Novi.
Pendidikan dengan menumbuhkan rasa takut karena disuruh, diperintah, atau diarahkan membuat pencapaian pendidikan menjadi rendah.
Salah satu yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang menerapkan GSM ialah dengan melakukan circle time, dengan pendekatan nilai-nilai moral. Tidak butuh waktu lama, berkisar 10-15 menit, baik di awal pembelajaran, di tengah pembelajaran, atau penutupan.
Sebagai contoh kasus, ketika ada anak-anak mencoret-coret dinding sekolah. Guru sering kali langsung memarahi atau menghukum siswa. Akibatnya, perilaku yang muncul karena rasa takut, bukan kesadaran diri.
Hasil survei kondisi sosial emosional siswa selama pembelajaran jarak jauh. Survei dilakukan Gerakan Sekolah Menyenangkan pada April 2021.
Di awal kegiatan circle time, siswa bisa diprovokasi dengan menampilkan video, gambar, atau foto dinding yang dicoret. Anak ditanya pendapatnya tentang gambar yang dilihat.
Lalu, guru bisa mengajak siswa untuk berpindah tempat jika pernah melakukan atau tidak, jadi anak belajar jujur. Anak juga ditanya perasaannya saat melihat dinding yang dicoret.
Selanjutnya, anak-anak diajak untuk mengeluarkan pendapat mengapa dinding-dinding sekolah dicoret sampai pada titik menemukan cara apa yang bisa dilakukan. Titik tersebut salah satunya bisa dijalankan dengan memberi ruang pada anak untuk bisa menggambar dinding sekolah sebagai tempat mereka meluapkan ekspresi.
”Dengan terus bertanya pada anak apa yang kalian lihat, rasakan, pikirkan, dan ingin lakukan dapat memunculkan kesadaran diri. Jadi muncul empati dalam diri anak. Kalau terus diulang nanti menjadi belief systems. Kita tidak bisa mengantre, membuang sampah di tempat sampah, susah mendengarkan pendapat orang lain, menjadi pemimpin yang tidak berempati, ini akibat pendidikan di sekolah tidak untuk membangun kesadaran diri, tapi lebih mengejar nilai akademik,” ujar Novi.
Fokus proses belajar
Pendiri GSM Muhammad Nur Rizal mengatakan, GSM menghargai setiap keunikan anak untuk mampu meningkatkan kapasitas diri anak. Semua anak mendapatkan penghargaan sesuai dengan keunikan.
Ada bintang kebaikan yang disampaikan ke mereka setelah melakukan berbagai hal, seperti disiplin, membantu teman, atau aktif bertanya. Ini penting untuk memberikan penghargaan pada tiap siswa sehingga lama-kelamaan mereka memiliki kesadaran untuk melakukan hal-hal baik.
”Jadi tujuan belajar atau tujuan pendidikan yang dilakukan guru di sekolah sangat kecil jika hanya menargetkan nilai tinggi. Jika guru menjiwai hakikat pendidikan yang dari dulu tetap sama, yakni memanusiakan manusia, (maka) anak-anak berani berimajinasi tinggi untuk membuat hidup lebih baik, bahagia, serta bermanfaat bagi orang lain,” kata Rizal.
Oleh karena itu, penilaian keberhasilan GSM difokuskan pada proses belajar, bukan untuk menjadi sekolah favorit atau hebat. Pengakuan kehebatan pada sekolah akan mengikuti jika sekolah berhasil menciptakan ekosistem belajar aman dan menyenangkan pada siswa, yang secara otomatis akan berdampak pada pencapaian hasil belajar yang melampaui nilai/ijazah.
Proses belajar memastikan guru harus menginspirasi (dengan mengajak murid keluar kelas, melaut, ke ladang, dan sebagainya); membangun kepercayaan diri supaya anak didik bangga terhadap potensi dirinya; membangun daya imajinasi; memantik rasa ingin tahu dengan metodologi belajar apa pun (intinya fokus di rasa ingin tahu, bukan proyek); serta membangun ruang bagi keunikan potensi siswa agar berkembang secara adil.
Guru juga mesti fokus untuk mengenal anak-anak lebih jauh dan mencoba membangun rasa aman. Langkah-Langkah yang dilakukan ialah dengan memastikan anak-anak mau datang ke sekolah; membuat para siswa merasa aman saat berada di sekolah; membantu siswa merasa dihargai sebagai individu; dan membuat kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa untuk sukses di masa depan.