Di Udara Papua, Pesawat yang Saya Tumpangi Kehabisan Bahan Bakar
Setelah satu jam di udara, di tengah cuaca yang cerah, tiba-tiba Sarie menengok ke arah saya di belakangnya dan berbisik, ”Mas, bensin pesawatnya mau habis.” Ucapan Sarie seketika membuat suasana menjadi tegang.
Mengunjungi Papua berarti menabung kenangan tentang keseruan pengalaman di sana. Mulai dari bertemu warga Papua, mengenal budaya, menikmati keindahan alam, hingga petualangan melintasi bentang alamnya.
Di memori kepala saya, semuanya tersimpan rapi, termasuk kenangan yang tak ingin terulang, yaitu hampir kehabisan bahan bakar di udara.
Hari Rabu (17/11/2017), saya duduk di teras bandara di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Kami menunggu jadwal keberangkatan pulang menuju Bandara Sentani di Jayapura setelah pagi harinya ditinggal pesawat yang seharusnya kami tumpangi.
Di memori kepala saya, semuanya tersimpan rapi, termasuk kenangan yang tak ingin terulang, yaitu hampir kehabisan bahan bakar di udara.
Kami tiba di bandara pukul 07.00 WIT. Petugas menginformasikan pesawat akan datang pukul 09.00. Selang waktu dua jam, kami manfaatkan untuk sarapan.
Tiba kembali di bandara pukul 08.00 ternyata pesawat tiba lebih cepat dari jadwal. Karena sinyal yang kurang baik, petugas kesulitan menghubungi kami. Jadilah kami ketinggalan pesawat.
Rombongan kami berjumlah tiga orang. Saya, reporter Kompas, Sarie Febriane, dan Irvan Helmi, roaster sekaligus pendiri kedai Anomali Coffee di Jakarta, yang mewakili SCOPI (Sustainable Coffee Platform of Indonesia).
Di Mulia, kami baru saja meliput pelatihan untuk warga dalam memperbaiki kualitas biji kopi yang dihasilkan, mulai dari cara memelihara tanaman kopi, memanen biji kopi, hingga proses pascapetik yang akan menentukan kualitas biji kopi sebelum diolah.
Di teras bandara, kami hanya bisa menunggu karena tidak tahu jadwal pasti penerbangan ke Jayapura. Ketika bertanya kepada petugas maskapai, dia hanya menjawab nanti pesawat datang. Saya mencoba mengusir bosan dengan menyetel pemutar musik digital yang saya bawa. Mau buka hape, tak ada sinyal.
Baca juga: Malang Terakhir yang Menegangkan di Puncak Jaya
Sarie mengisi waktu dengan caranya sendiri. Dia melakukan gerakan yoga di atas mobil bak terbuka yang mengantar kami ke bandara. Saya lalu memotret Sarie saat Yoga.
Setelah beberapa saat, akhirnya kami dipanggil masuk bandara lantas diarahkan menuju landasan. Saya pikir pesawatnya sudah datang, tetapi ternyata landasan masih kosong. Saya hanya melihat barang-barang bagasi kami diletakkan di pinggir landasan bersama beberapa karung barang lainnya dan drum-drum bahan bakar.
Kami lalu duduk menunggu di hanggar yang digunakan untuk parkir mobil pemadam kebakaran. Kami duduk bersila, terkadang rebahan, sambil memandangi landasan kosong dengan latar belakang bukit-bukit menjulang.
Saya kemudian teringat manuver pesawat yang kami tumpangi saat mendarat di Mulia dua tiga hari sebelumnya usai lepas landas dari Bandara Wamena. Pesawat perintis itu meliuk-liuk mengimbangi kontur bukit sebelum akhirnya berhasil mendarat mulus di kawasan berketinggian 2.448 meter di atas permukaan laut ini. Distrik Mulia yang berada di kaki Pegunungan Jayawijaya adalah salah satu kawasan tertinggi yang didarati oleh pesawat udara.
Baca juga: Petuah Terakhir Legenda Jazz Benny Likumahuwa
Dari kejauhan, kemudian kami saksikan benda kecil yang lambat laun membesar muncul dari arah bukit. Sebuah pesawat mendarat. Ternyata itu bukan pesawat yang akan kami tumpangi. Pesawat itu hanya menurunkan penumpang dan bahan kebutuhan warga sehari-hari.
Di pedalaman Papua, distribusi barang menggunakan pesawat komersial perintis amat penting. Selalu ada tentara yang menjaga proses bongkar muat barang dan naik turun penumpang guna mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan.
Perlu diketahui, kawasan Distrik Mulia rawan terjadi konflik antarwarga, aparat keamanan, dan kelompok kriminal bersenjata. Pesawat tersebut tidak lama berada di landasan. Setelah semua terangkut, pesawat melanjutkan perjalanan.
Di Papua, transportasi udara berkejaran dengan cuaca. Penerbangan pesawat perintis jarang dilakukan menjelang sore karena umumnya akan turun kabut atau hujan di wilayah pegunungan yang dilintasi.
Baca juga: Ketika Wartawan Disangka Bank Emok
Setelah penantian yang seakan tak berujung, pada pukul 13.00 petugas tiket memanggil kami yang sedang rebahan. Ia memberi tanda pesawat telah tiba. Kami pun bergembira. ”Jadi pulang, nih,” ucap saya dalam hati.
Petugas menurunkan muatan lalu menata kursi untuk penumpang. Ada tiga baris kursi penumpang. Dua baris berdekatan dengan pilot, sementara satu baris lainnya di ujung belakang. Bagian tengah untuk meletakkan bagasi.
Selain kami bertiga, ada empat penumpang lain di pesawat kecil itu. Pukul 13.20, roda pesawat lepas dari aspal landas pacu Bandara Mulia. Pesawat terbang berkelok-kelok menjauhi bukit yang tampak jelas dari kaca jendela.
Getaran pesawat saat menabrak angin menimbulkan perasaan ngeri-ngeri sedap. Hujan kecil menambah nuansa petualangan perjalanan. Sarie dan Irvan yang mengambil video sejak pesawat berangkat memutuskan tidur setelah kepala mereka pening akibat memandangi layar video yang bergoyang-goyang.
Baca juga: Gampang-gampang Susah di Bali
Saya, seperti biasa, selalu menikmati perjalanan lewat kaca jendela pesawat. Memandangi keindahan alam dari udara. Setelah satu jam di udara, di tengah cuaca yang cerah, tiba-tiba Sarie menengok ke arah saya di belakangnya dan berbisik, ”Mas, bensin pesawatnya mau habis.” Ucapan Sarie seketika membuat suasana menjadi tegang.
Sarie yang terbangun dari tidur lalu melanjutkan merekam video dari dalam pesawat. Ia menemukan kejanggalan ketika lampu indikator bahan bakar pesawat menyala terus-menerus.
Dia juga menangkap ekspresi kekalutan pilot dan kopilot saat berbincang merespons kondisi tersebut. Rekaman video itu kelak oleh Sarie diunggah di Youtube dengan judul ”Mama Naik Pesawat Bensinnya Mau Habis Part I dan II”.
Dalam keadaan panik yang kami simpan dalam hati, saya berusaha menghitung waktu yang tersisa sampai pesawat ini mendarat di Bandara Sentani. Kira-kira masih 30 menit lagi. Lampu indikator yang terus menyala itu hanya disadari oleh pilot, kopilot, dan kami bertiga.
Baca juga: Tulisan tentang Nasib Awak Bus yang Gugah Penderma
Sementara itu, penumpang lainnya masih terlelap dalam tidur mereka. Tentu saja, kami berusaha menahan diri untuk tidak berteriak. Untuk bertanya kepada pilot, kami tidak berani. Akhirnya, kami putuskan diam saja dan berdoa agar hal buruk tidak terjadi.
Saya menjaga diri dari kekalutan dengan berpikir positif bahwa pesawat akan mampu mendarat dengan sisa bahan bakar yang ada. Saya melihat keluar jendela pesawat. Di bawah kami terbentang danau.
Saya berusaha membayangkan pendaratan darurat pesawat kecil di lautan dalam film Six Days, Seven Nights. ”Ah, Harrison Ford aja selamat, mosok kita enggak,” pikir saya untuk melegakan hati.
Pesawat masih terbang normal dengan bahan bakar yang tersisa. Kepanikan saya berkurang karena Sarie dan Irvan terlihat berbincang santai. Walaupun itu mungkin hanya cara mereka menghilangkan panik.
Ah, Harrison Ford aja selamat, mosok kita enggak, pikir saya untuk melegakan hati.
Mata saya masih lekat memantau tombol indikator yang belum berhenti menyala. Mendekati Bandara Sentani, justru menjadi saat yang paling saya takutkan. Bagaimana jika pada saat itu bahan bakar benar-benar habis sehingga pesawat jatuh ke aspal? Kan lumayan tuh, beda dengan jatuh di air.
Syukurlah, pesawat akhirnya mulus menyentuh landasan. Hanya saja, pesawat tidak bisa menuju tempat parkir karena ketika tiba di ujung landasan, bahan bakar betul-betul habis. Truk bahan bakar yang telah menunggu dengan cepat mendatangi pesawat. Usai kami turun dari pesawat, bahan bakar langsung diisi.
Di mobil yang membawa penumpang ke ruang kedatangan, kami saling berpandangan lalu menertawakan kemujuran hari itu. Di alam Papua yang ganas, semua hal bisa terjadi.
Pulang dari Papua, saya membawa pengalaman di udara yang tak terlupakan. Tidak hanya itu, saya juga membawa kenang-kenangan wajah yang terbakar matahari hingga mengakibatkan luka iritasi kulit selama sebulan. Semua itu, hanya karena lupa mengoleskan tabir surya....