Malam Terakhir yang Menegangkan di Puncak Jaya
Saat lelap tidur, kami dikejutkan suara salakan anjing dari bawah kolong rumah. Ingatan akan "kelompok tiga huruf", membuat rasa penasaran hanya mampu kami pendam. Kami tak berani untuk sekadar mengintip keluar rumah.
Setelah sepuluh tahun bekerja sebagai pewarta foto di Kompas, kesempatan liputan ke Papua akhirnya datang juga pada awal November 2011. Saking antusiasnya, saya langsung mengiyakan tawaran tanpa melihat lagi peristiwa apa yang akan saya liput.
Setelah membaca surat undangan yang diberikan editor, barulah saya tahu akan meliput operasi kemanusiaan di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, berupa pengobatan massal dan operasi katarak gratis. Kegiatan itu diselenggarakan Palang Merah Indonesia (PMI) bersama Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Sepuluh hari sebelum berangkat, PMI mengumpulkan empat wartawan yang akan berangkat meliput. Selain saya, bergabung pula satu reporter Republika dan dua wartawan dari TransTV.
Ada dua hal penting yang ditekankan, yaitu tentang Papua sebagai wilayah endemik penyakit malaria dan kondisi keamanan di daerah yang akan kami datangi.
Dalam pengarahan, kami dijelaskan tentang detail rencana kegiatan dan persiapan yang harus dilakukan sebelum berangkat ke Papua. Ada dua hal penting yang ditekankan, yaitu tentang Papua sebagai wilayah endemik penyakit malaria dan kondisi keamanan di daerah yang akan kami datangi.
Untuk antisipasi malaria, kami diberi pengarahan dan diperiksa kondisi kesehatannya oleh dokter PMI. Kami juga diberi pil pencegah malaria. Pil itu harus diminum seminggu sekali, sejak seminggu sebelum berangkat hingga seminggu setelah pulang. Jadwal minum pil di awal pekan. Karena kami akan berada di Papua selama enam hari, tiap orang mendapat empat butir pil antimalaria.
Hal lain yang ditekankan adalah tentang kondisi keamanan Kabupaten Puncak Jaya dengan ibu kota Mulia. Kabupaten ini berada di wilayah pegunungan tengah di jajaran pegunungan Jaya Wijaya. Daerah ini termasuk rawan karena sering terjadi gangguan keamanan dari kelompok bersenjata yang diduga bagian dari kelompok yang saat itu dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kami sempat ciut nyali saat diberi tahu, dua bulan sebelumnya terjadi peristiwa penembakan oleh orang tak dikenal yang menewaskan Kapolsek Mulia. Penembakan terjadi tengah hari di Bandara Mulia ketika Kapolsek mengamankan kedatangan pesawat komersial. Selain itu, sempat terjadi juga beberapa kali penembakan terhadap warga serta penghadangan mobil dinas instansi pemerintah.
Namun, kami diberi jaminan keamanan karena tujuan kami ke Papua adalah untuk operasi kemanusiaan. Keberangkatan kami ke Puncak Jaya tidak dipublikasikan sebagai wartawan, melainkan dicatat sebagai bagian tim operasi kemanusiaan PMI dan ICRC.
Perjalanan ke Mulia
Kami berangkat dari Jakarta tanggal 12 November 2011 tengah malam. Total berenam, yakni empat wartawan serta dua personel PMI dan ICRC. Setelah menempuh perjalanan semalam suntuk, kami mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, 13 November 2011 pagi. Sambil menunggu jadwal pesawat ke Puncak Jaya keesokan harinya, kami menginap semalam di Jayapura.
Pagi-pagi kami sudah bersiap di Bandara Sentani untuk terbang ke Puncak Jaya. Pesawat yang kami tumpangi adalah pesawat perintis milik layanan misionaris gereja (MAF), berjenis Pilatus PC-6 Porter dengan baling-baling tunggal. Uniknya, setiap kali naik pesawat perintis di Papua, setiap penumpang akan ditimbang berikut barang bawaannya. Ini untuk menjaga agar pesawat tidak kelebihan beban muatan.
Baca juga: Ketika Wartawan Disangka Bank Emok
Wilayah tengah Papua merupakan daerah pegunungan yang hanya bisa dijangkau oleh pesawat perintis karena bandara di wilayah tersebut hanya bisa didarati pesawat kecil. Di kawasan pegunungan, cuaca sangat sulit diprediksi.
Perjalanan dalam pesawat yang dipiloti warga Swiss itu berlangsung sekitar 1,5 jam. Sepanjang penerbangan, pemandangan pegunungan mendominasi. Menjelang mendarat, kami melihat melalui jendela di sebelah kiri dan kanan pesawat, bentangan punggungan gunung. Di salah satu sisi lereng, tampak rongsokan badan pesawat yang telah berkarat. Pemandangan itu sontak membuat nyali sedikit surut.
Baca juga: Petuah Terakhir Legenda Jazz Benny Likumahuwa
Setelah mendarat, kami mendapat penjelasan bahwa bangkai pesawat yang kami lihat itu adalah pesawat perintis yang jatuh setelah menabrak gunung saat hendak mendarat di Mulia beberapa tahun lalu.
Saat pesawat kami selesai parkir, sejumlah personel polisi dan TNI langsung mengitari pesawat. Beberapa di antaranya membawa senjata laras panjang. Pilot kemudian turun dan berbicara dengan salah satu polisi. Satu pertanda betapa di wilayah ini masih rawan gangguan keamanan.
Barang-barang kami diturunkan dan diperiksa satu per satu oleh polisi yang berjaga. Setelah menunggu beberapa saat, datang mobil pikap kabin ganda untuk menjemput dan mengangkut barang. Sementara kami menumpang sebuah minibus.
Operasi kemanusiaan
Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, mobil yang kami tumpangi tiba di kompleks Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mulia yang merupakan fasilitas kesehatan utama di Kabupaten Puncak Jaya. Kami disambut sejumlah dokter muda yang bertugas.
Sehari sebelumnya, ternyata sudah tiba tim dokter spesialis mata dan perawat dari Manado yang akan melakukan operasi katarak. Kami kemudian diberi tempat menginap di rumah dinas yang berada di belakang kompleks RSUD. Bentuknya, deretan rumah berdinding kayu dengan kolong sekitar setengah meter dari atas tanah. Mirip rumah panggung, tetapi lebih pendek.
Kompleks RSUD cukup luas dengan bangunan kayu dan halaman tanpa pagar sehingga tidak ada batas antara kompleks RSUD dengan tanah sekitarnya. Rumah penduduk saling berjauhan. Paling dekat sekitar 200 meter di belakang RSUD.
Baca juga: Gampang-gampang Susah di Bali
Lahan sekitar rumah sakit berupa tanah kosong tak terawat yang ditumbuhi semak ilalang. Jalanan di RSUD hanya berupa jalan setapak dengan jalan utama berupa jalan makadam atau jalan berbatu yang dikeraskan.
Saat kami tiba di RSUD Mulia, kegiatan operasi kemanusiaan telah berlangsung sejak pagi. Diawali dengan kegiatan pendataan dan pemeriksaan awal bagi warga yang akan ikut operasi.
Keesokan harinya digelar operasi massal katarak. Puluhan warga datang dari berbagai distrik (kecamatan). Seharian penuh dokter dan perawat bekerja keras. Menjelang sore operasi tuntas digelar. Kami pun beristirahat.
Baca juga: Tulisan tentang Nasib Awak Bus yang Gugah Penderma
”Kelompok tiga huruf”
Di sela-sela waktu luang, kami menyempatkan berjalan-jalan. Sebelumnya kami telah diwanti-wanti agar berhati-hati dan selalu mengenakan rompi palang merah selama berkegiatan di Mulia.
”Rompi ini menjadi tanda bapak dan ibu anggota tim medis. Selama mengenakan rompi palang merah, tidak akan ada yang menggganggu, baik warga maupun \'kelompok tiga huruf\',” ujar Joti, anggota staf honorer RSUD Mulia.
Istilah ”kelompok tiga huruf” digunakan staf RSUD untuk menyamarkan kata OPM. Bagi mereka keberadaan kelompok ini nyata karena beberapa di antaranya pernah bertemu langsung. Namun, mereka tidak pernah diganggu.
Baca juga: Ingatan Lima Jam Pertama Gempa Yogya
”Dokter dan tenaga kesehatan dianggap orang-orang yang bisa diandalkan menolong keluarga mereka jika suatu saat sakit atau butuh pertolongan lain,” lanjut Joti.
Joti berpesan agar selama di Mulia menghindari kontak dan akrab dengan personel TNI-Polri. Bagi ”kelompok tiga huruf”, orang yang kebetulan kontak atau dekat dengan TNI-Polri dianggap membantu mereka. Praktis selama 4-5 hari di Mulia, kami berusaha tidak akrab ketika ada personel TNI/Polri datang.
Operasi kemanusiaan tuntas dalam tiga hari. Sisanya, kami manfaatkan untuk berkeliling Mulia dengan diantar Joti. Lelaki Suku Dani yang juga penduduk asli Mulia ini, cukup dikenal di kalangan masyarakat. Meskipun Mulia ibu kota kabupaten, suasananya lebih mirip kota kecamatan di pelosok Pulau Jawa. Jumlah penduduknya tidak banyak sehingga antarwarga biasanya saling mengenal.
Malam terakhir
Sore itu menjadi senja terakhir yang bisa kami nikmati sebelum kembali ke Jakarta. Saat tengah menyaksikan anak-anak bermain dari teras penginapan, tiba-tiba datang seorang perempuan muda yang juga anggota staf RSUD sambil berlari dari arah kebun samping kompleks rumah dinas.
Setengah berteriak, dia memanggil salah satu anggota staf PMI dan ICRC yang sedang berada di dalam rumah. Tak lama, anggota staf PMI segera keluar dan meminta kami yang tengah bersantai di halaman segera masuk ke dalam rumah. Semula kami hanya bereaksi santai. ”Mas-mas semua mohon segera masuk ke rumah dan pintunya ditutup ya,” anggota staf itu mengulangi.
Tiba-tiba datang seorang perempuan muda yang juga anggota staf RSUD sambil berlari dari arah kebun samping kompleks rumah dinas.
Di tengah kebingungan, kami menuruti perintah masuk ke rumah dan menutup pintu. Sementara staf tersebut masuk ke rumah sebelah yang hanya berbatas dinding kayu dengan rumah yang kami tempati sehingga masih bisa berkomunikasi antarrumah. ”Ada apa sih, kok tiba-tiba kami di suruh masuk rumah?” tanyaku.
Hingga pukul 07.00 malam kami belum juga mendapat jawaban, sebelum akhirnya kami diperbolehkan membuka pintu dan segera masuk ke rumah sebelah untuk makan malam. Rasa penasaran masih menghinggapi.
Di sela makan malam, salah satu anggota staf bercerita bahwa perempuan muda yang tadi sore berlari itu baru saja bertemu tiga orang yang diduga anggota ”kelompok tiga huruf”, di pojok kompleks RSUD.
Ketiga orang laki-laki itu digambarkan berambut panjang. Dua orang mengenakan koteka, pakaian adat Suku Dani, dan membawa busur dan anak panah. Seorang lainnya berpakaian seperti warga biasa tapi membawa senjata api kecil yang diduga pistol.
Perempuan anggota staf RSUD itu sempat menyapa ketiganya, tetapi tidak dibalas. Ia kemudian berjalan meninggalkan mereka sebelum akhirnya berlari setelah ketiganya hilang dari pandangan.
Seusai makan malam, kami diminta segera beristirahat karena esok pagi akan kembali ke Jayapura. Sekitar pukul 09.00 malam, tepat setelah listrik dipadamkan, kami pun berangkat tidur. Kami berempat yang seluruhnya wartawan laki-laki menempati satu rumah. Sementara anggota staf PMI dan ICRC yang semuanya perempuan menempati rumah sebelah kami.
Saat lelap tidur, tiba-tiba kami dikejutkan suara salakan anjing dari bawah kolong rumah yang kami tempati. Awalnya, kami kira itu hanya salak anjing biasa saat melihat anjing lain atau orang tak dikenal lewat. Sekilas, saya lihat arloji menunjukkan pukul 01.00.
Namun, hingga 10 menit kemudian salakan anjing tak juga berhenti. Kami berempat terbangun, tetapi tak berani beranjak. Sambil berbisik, kami mengira-ngira apa yang terjadi dan kenapa anjing itu menyalak tiada henti.
Rasa penasaran menyelimuti. Namun, ingatan akan adanya tiga anggota ”kelompok tiga huruf”, membuat rasa penasaran hanya mampu kami pendam. Tak ada keberanian untuk sekadar mengintip ke arah belakang rumah. ”Kayaknya anjing di bawah kita menyalak karena ada orang tak dikenal yang mendekati rumah,” ujar Chairul, rekan wartawan.
Dugaan kami, ada orang tak dikenal yang berhenti dan memantau di belakang rumah, karena anjing yang tinggal di kolong rumah selalu menyalak saat ada orang tak dikenal mendekat.
Suara salakan anjing tak juga surut apalagi berhenti. Lebih dari dua jam anjing terus menyalak. Dan selama itu pula ketegangan menyelimuti.
Kami pun tak berani berkomunikasi dengan teman-teman di rumah sebelah. Akhirnya, kami hanya bisa pasrah dan berusaha memejamkan mata. Suara anjing dan hawa dingin yang menusuk mencegah kami terlelap lagi.
Bayangan akan adanya gangguan dari ”kelompok tiga huruf” berbaur dengan ingatan akan peristiwa gangguan keamanan dan penembakan yang berulang kali terjadi di Mulia. Sungguh kondisi yang menakutkan karena kami tahu tak ada pengamanan di kompleks RSUD tersebut.
Mulia berada di pegunungan dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Suhu udara malam hari di luar rumah berkisar 10-15 derajat celsius. Dalam bayangan kami, orang yang berada di belakang rumah begitu kuat bertahan dalam suhu dingin seperti itu. Kemungkinan orang tersebut sudah terbiasa. Kami pun makin yakin jika mereka anggota ”kelompok tiga huruf” yang tinggalnya memang di hutan pegunungan.
Setelah lebih dari dua jam, akhirnya anjing berhenti menyalak. Kami menghela napas lega saat kembali mendengar kesunyian malam. Dan mata pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali terlelap karena rasa kantuk berat.
Keesokan paginya kami terbangun dan saling bertanya apa sebenarnya yang terjadi semalam. Ternyata teman-teman anggota staf PMI dan ICRC yang tinggal di rumah sebelah juga mengalami hal sama. Mereka terbangun karena salakan anjing, tetapi tak berani bergerak.
Setelah beberes, kami bersiap terbang ke Jayapura. Pesawat MAF telah menunggu di bandara dengan penjagaan dari belasan personel TNI/Polri.
Setiba di Jayapura, barulah kami diberi tahu oleh salah satu staf PMI bahwa semalam ada beberapa orang datang mengawasi dari belakang rumah yang kami tempati.
Dugaannya, mereka adalah anggota ”kelompok tiga huruf” yang memantau keberadaan kami sebagai pendatang. Namun, karena kami semua dianggap anggota staf medis, mereka tak mengganggu.
”Dari awal kami tidak menyatakan teman-teman sebagai wartawan karena kami khawatir mereka berulah. Sebenarnya mereka tidak akan mengganggu wartawan juga. Namun, kami khawatir tiba-tiba mereka berulah untuk menarik perhatian,” ujar Ola, anggota staf PMI.
Akhirnya, setelah semalam menginap di Jayapura, keesokan harinya kami kembali ke Jakarta. Sungguh pengalaman pertama liputan di tanah Papua yang mengesankan. Melihat alam dan budaya yang indah sekaligus mengalami malam terakhir yang menegangkan. Walaupun begitu, Papua tetaplah tanah yang selalu dirindukan untuk dijelajahi.