Kalau sedang kesulitan, saya memerhatikan perilaku orang lain lalu menirunya. Lari-lari kecil di pantai, membuat istana pasir, atau sekadar rebahan. Begitulah perjuangan wartawan membuat tulisan perjalanan.
Oleh
M Hilmi Faiq
·5 menit baca
Siapa bilang menulis tentang jalan-jalan itu gampang? Apalagi kalau jalan-jalannya ke Bali. Dengan mengeklik kata kunci “wisata bali”, Google akan menampilkan hasil seratusan juta tulisan. Buset dah! Terus, saya harus nulis apa?
Pada Februari 2017, saya mendapat tugas meliput kesenian rakyat berupa lukisan batuan yang ada di Ubud, Bali. Liputan ini sebenarnya bisa selesai dalam dua hari saja. Namun atasan saya memberi waktu lebih, sampai empat hari.
Seperti biasa, mereka berpesan jangan sampai balik ke Jakarta hanya membawa tulisan tentang lukisan. Maka saya bawa tulisan tentang lain-lain, seperti tentang rumah vokalis Dialog Dini Hari Dadang SH Pranoto dan rumah “jenderal gitar” Balawan. Dua tulisan itu lebih dari cukup untuk memenuhi harapan bos di Jakarta.
Saya sadar betul bahwa tulisan perjalanan tentang Bali sudah demikian bejibun. Saya cermati satu-satu, nadanya rata-rata sama.
Saya berhitung masih ada sisa waktu sehari. Bahkan di hari-hari sebelumnya pun, ada jeda beberapa jam terutama di pagi dan sore hari. Saya lalu berinisiatif merancang tulisan lain dalam bingkai perjalanan.
Saya sadar betul bahwa tulisan perjalanan (traveling) tentang Bali sudah demikian bejibun. Saya cermati satu-satu, nadanya rata-rata sama, pengulangan sudut pandang dan lokasi. Saya lalu berpikir mencari sudut pandang yang berbeda.
Kebetulan, selain menulis, saya amat suka fotografi. Dalam dunia fotografi, pagi dan sore hari adalah waktu paling indah untuk mengabadikan pesona alam karena cahaya matahari sedang ganteng-gantengnya. Semua yang terjangkau cahaya matahari pagi dan sore itu, tampak segar disapu warna keemasan. Orang menyebut periode waktu itu sebagai golden hours.
Sebenarnya, sebelum mengenal dunia fotografi, saya sudah lama senang duduk diam menikmati matahari terbit atau tenggelam. Saya lahir dan tumbuh di pantai utara Jawa yang memiliki sebagian tanah menjorok ke laut, yakni Tanjung Kodok.
Di tempat ini, terutama setiap hari Jumat, kami, warga desa yang masih remaja, sering berenang di laut sebelum matahari terbit sampai langit terang oleh matahari terbit. Bahkan kadang hingga sang surya naik sepenggalah. Di sela-sela itu, saya paling bahagia jika mendapati matahari perlahan menyembul dari balik cakrawala menyapa manusia. Kadang kala dihiasi siluet perahu nelayan yang bergerak pelan meninggalkan jejak garis pada permukaan air.
Pergantian warna gelap ke ungu atau jingga itu luar biasa indah. Nah, di Tanjung Kodok ini, pandangan kita nyaris tidak terhalang oleh apa pun, hanya saya dan fajar. Kira-kira begitulah hiperbolanya.
Begitu pula saat senja. Di pantai, persis di tubir Jalan Raya Daendels, matahari saya saksikan tenggelam pelan-pelan. Tidak setiap hari, sih, lantaran kadang mendung atau bahkan hujan. Namun, sering kali pesona matahari tenggelam itu seperti memaku kaki untuk tak kemana-mana. Sesekali, mampirlah ke kampung saya dan rasakan sendiri keindahannya.
Itulah referensi personal saya tentang matahari terbit dan senja, sehingga ketika berada di Bali pun, dorongan yang muncul adalah mengejar matahari. Itu yang kemudian saya lakukan.
Sore hari saya mencari tempat strategis untuk menyaksikan matahari terbenam. Selain ke Seminyak, saya juga ke Pantai Kuta. Jalan-jalan di sore hari lebih leluasa karena tugas-tugas hari itu sudah selesai. Hari-hari berikutnya, setiap pagi selepas subuh saya kabur dari penginapan menuju pantai.
Hari pertama gagal lantaran kesiangan. Maklum, waktu Jakarta dan Bali tidak sinkron hehehe. Saya lalu cek di internet jam matahari terbit dan tenggelam di Bali. Ini penting karena setiap tempat berbeda dan berubah waktunya jika kita berada di bulan yang berbeda. Salah dua indikasinya adalah, azan subuh dan azan maghrib sering berkumandang di jam yang berbeda. Azan mengikuti posisi matahari.
Pagi kedua, saya datang lebih awal dan mendapati matahari mengirim warna keemasan disusul kemunculannya yang perlahan di pantai Sanur. Saya rekam dengan baik adegan itu, berikut adegan ikutannya: orang-orang yang pergi mencari ikan; anjing-anjing yang bangun dari tidur lalu bercengkerama dengan rekannya disiram cahaya pagi; juga para fotografer yang sibuk mengatur sudut pengambilan gambar.
Begitulah, saya berusaha untuk tidak merasa terbebani dengan apa yang harus saya tulis nantinya. Sebab, pikiran tersebut justru bisa menjadi bumerang. Intinya, jangan dibikin susah lah. Bisa-bisa kita tidak mendapat apa-apa dari perjalanan.
Saya berusaha menikmati saja proses matahari terbit atau tenggelam yang saya saksikan. Terkadang, kenangan indah melintas. Saya resapi nostalgianya. Intinya, saya berusaha menikmati suasana.
Kalau sedang kesulitan mendalami suasana, saya berusaha memerhatikan perilaku orang lain lalu menirunya. Kalau masih gagal juga, saya coba jurus-jurus lain yang saya suka. Lari-lari kecil di pantai, membuat istana pasir, atau sekadar rebahan di atas pasir dan membiarkan anak-anak ombak laut menggelitiki sekujur badan.
Sensasi yang saya rasakan lantas saya jadikan bahan tulisan perjalanan. Saya pun tidak perlu lirik kanan kiri lagi karena bahan tulisan sudah ada semua di otak, bahkan di dalam sel-sel tubuh ketika berada di pantai. Tidak ada yang menyamai karena sangat personal berdasarkan pengalaman menikmati situasi.
Dalam hipotesis memori tubuh disebutkan, tidak hanya otak yang menyimpan kenangan atau memori. Tubuh pun dapat menyimpan kenangan. Hipotesis ini banyak digunakan dalam konteks kekerasan atau trauma yang dialami tubuh, seperti diungkapkan Peter A Levine dalam buku Trauma and Memory: Brain and Body in a Search for the Living Past (2015).
Akan tetapi, saya meyakini bahwa tubuh kita juga merekam hal-hal baik dan hal-hal menyenangkan yang kita alami. Saat saya membaca kembali tulisan “Mengejar Matahari di Bali” (Kompas, Minggu, 5 Maret 2017) yang saya hasilkan dari perjalanan ini, kaki saya seperti merasakan kembali dibasuh ombak dan disapa matahari senja. Bisa jadi saya berlebihan tetapi begitulah adanya.