Ingatan Lima Jam Pertama Gempa Yogya
15 Tahun lalu, wartawan ”Kompas”, Defri Werdiono, merasakan kepanikan dan kepedihan sebagai dampak gempa Yogyakarta. Ingatan itu kembali muncul saat gempa Malang terjadi pada 10 April lalu.
Gempa berkekuatan magnitudo 6,1 mengguncang wilayah Malang dan sekitarnya pada 10 April 2021. Gempa ini berpusat di 8.83 Lintang Selatan dan 112.50 Bujur Timur dengan kedalaman 80 kilometer di barat daya Malang, Jawa Timur. Goyangan gempa mengusik sebagian warga yang tengah merayakan megeng jelang puasa.
Gempa yang terjadi pukul 14.00 ini menelan korban jiwa. Di Kabupaten Malang, empat orang meninggal dan 110 orang luka-luka.
Kini, lebih dari sebulan pascagempa, proses rehabilitasi dan rekonstruksi terus berlangsung.
Peristiwa Gempa Malang yang terjadi menjelang Ramadhan 1442 Hijriah itu kembali mengingatkan saya akan gempa besar yang terjadi di Yogyakarta (kemudian dikenal dengan gempa DIY-Jawa Tengah) 15 tahun silam.
Gempa berkekuatan 5,9 skala richter yang terjadi pada 27 Mei 2006 itu tidak hanya merusak ratusan ribu rumah di Kabupaten Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta, serta Klaten dan Sukoharjo di Jawa Tengah, tetapi juga membawa korban jiwa ribuan orang.
Kompas mencatat jumlah korban meninggal di dua provinsi sebanyak 5.756 jiwa dan 37.513 orang lainnya luka-luka, dengan jumlah kerusakan bangunan kategori berat di DI Yogyakarta sebanyak 206.504 dan di Jawa Tengah 99.730 unit. Nilai kerugian ekonomi mencapai Rp 29,1 triliun.
Saat gempa terjadi, awalnya saya, yang kala itu bertugas di DI Yogyakarta, mengira guncangan selama 57 detik pada pukul 05.57 itu terjadi akibat peristiwa vulkanik, bukan tektonik. Maklum, saat itu, aktivitas vukanik Gunung Merapi di perbatasan Sleman dan Jawa Tengah juga sedang meningkat.
Peningkatan aktivitas vulkanik itu kemudian diiringi dengan kebijakan pengungsian warga. Saya menjadi salah satu wartawan yang mendapat tugas meliput tempat pengungsian di sekitar Kecamatan Cangkringan, Pakem, hingga Turi.
Begitu bumi berguncang, saya yang sudah bangun sejak satu jam sebelumnya langsung melihat ke puncak Merapi. Dari kawah ternyata membumbung awan panas cukup tinggi. ”Wah, benar ini, Merapi erupsi!” pikir saya saat itu.
Tanpa mandi, saya bergegas menuju rumah teman bagian penyelaras bahasa, Didik Durianto, di daerah Sagan, Kota Yogyakarta, untuk mengambil sepeda motor. Saya berangkat dari kos di Maguwoharjo dengan naik angkutan umum.
Namun, sepanjang Jalan Adisutjipto, bus kota yang saya naiki tidak bisa melaju dengan lancar karena situasi sudah cukup macet dan kepanikan terlihat. Di Simpang Tiga Jalan Affandi, saya kemudian turun dan meminta Didik membawa sepeda motor ke arah simpang empat Mal Galeria di Jalan Jenderal Sudirman.
Di tempat itu saya melihat banyak orang terluka yang dilarikan ke RS Bethesda yang berada di seberang Mal Galeria. Salah satu korban luka, yang menarik perhatian saya, diangkut menggunakan gerobak kecil yang ditarik memakai sepeda motor. Korban hanya digeletakkan di gerobak dengan kondisi pakaian berlumur darah.
Baca Juga: Duka Jelang Ramadhan di Wirotaman
Belum selesai rasa tercengang bercampur gusar, Didik kemudian memberi tahu ada isu tsunami sambil mengajak saya masuk Mal Galeria untuk mencari tempat tinggi. Ajakan itu tidak saya ikuti. Saya masih bergeming di trotoar. Sementara di perempatan orang-orang juga berhamburan mengira benar terjadi ancaman tsunami meski akhirnya terbukti hanya hoaks.
Saya akhirnya menuju kantor untuk berkoordinasi. Namun, Kantor Biro Yogyakarta di Jalan Suroto kosong. Di papan tulis terlihat pesan ”Semua wartawan diminta ke lapangan meliput gempa”.
Tak berpikir panjang, saya bersama Didik kemudian meluncur ke arah Jalan Parangtritis, Bantul. Saya mengajak teman dengan alasan lebih praktis dan aman. Paling tidak, Didik bersiap di kendaraan ketika blusukan meliput kerusakan. Dengan demikian, apabila terjadi situasi darurat, langkah penyelematan bisa dilakukan segera.
Setelah beberapa saat menyusuri jalanan, sampailah saya di dekat kampus Institut Seni Indonesia di Sewon. Di situ saya mendapati korban gempa yang masih gemetaran dengan kondisi rumah rusak. Saya wawancara singkat. Dari wawancara ini, saya tahu ada satu orang meninggal di tempat itu.
Saya kemudian melanjutkan liputan ke arah selatan, mengarah ke pantai. Sementara pada waktu yang sama, di Jalan Parangtritis, banyak orang berbondong-bondong justru meninggalkan kawasan selatan. Mereka menuju utara (Kota Yogyakarta dan Sleman) lantaran khawatir tsunami. Isu tsunami saat itu memang berembus kencang dan liar.
”Ah, tak peduli (tsunami), pasrah saja,” di benak saya mencoba menambah nyali meski rasa waswas tetap menyergap. Kalaupun terjadi tsunami, strategi asal-asalan yang saya punyai adalah lari sekencang mungkin dan mencari tempat aman. Meski, saya sendiri tidak yakin bisa berlari cepat.
Sesaat kemudian, sampailah kami di sebuah desa di Kecamatan Bambanglipuro. Saya bertemu seorang nenek yang duduk di depan rumah. Dia terdiam dengan wajah tanpa ekspresi dengan posisi membelakangi rumah joglo yang sudah runtuh dan rata dengan tanah.
Saat saya sapa, sang nenek hanya berucap, ”Teng mriku (di situ), keluarga kulo (saya) teng mriku,” sambil menunjuk rumah yang roboh dan keluarganya ada di balik reruntuhan.
Saya tak bisa berbuat banyak untuk menghiburnya. Mata saya nanar dan hanya mampu membesarkan hatinya dengan kata ”sabar”. Setelah itu saya mencoba bergeser. Namun, baru beberapa ratus meter dari lokasi itu—di sebuah pertigaan jalan desa yang tidak terlalu lebar—saya berhenti karena dari arah barat melaju sebuah minibus warna gelap melaju kencang.
Saya sempat berusaha hentikan mobil itu dan berteriak meminta sopir agar berkendara lebih pelan. Alasan saya waktu itu, tidak sopan naik mobil kencang di lokasi bencana, apalagi banyak orang masih panik sehingga khawatir terjadi kecelakaan (baru beberapa hari kemudian saya sadar, mungkin mobil itu juga membawa korban bencana ke rumah sakit).
Tidak berselang lama, masih di tempat itu, saya bersama beberapa warga tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari arah barat laut. Suara itu makin kencang dan makin mendekat. Dari kejauhan, tanaman padi terlihat bergerak bergelombang seperti karpet yang digerak-gerakan dengan tangan.
Ternyata, itu adalah gempa susulan yang kekuatannya cukup besar. Orang-orang berteriak lagi. Ada yang mengucap takbir, ada yang menghamburkan diri ke sawah sambil menangis.
Baca Juga: Pemerintah Beri Stimulan Rp 10 Juta sampai Rp 50 Juta bagi Warga Terdampak Gempa Malang
Setelah gempa susulan mereda, saya melihat ke tepi permukiman ada empat orang mengusung sesosok jenazah yang hanya ditutup selimut menuju ke sebuah makam. Tak ada orang lain yang mengiringi. Keranda yang dipakai untuk mengusung ternyata daun pintu dari rumah yang rusak.
Setelah itu, saya mencoba terus bergeser ke arah selatan melalui Jalan Bantul menuju Kecamatan Kretek dan Sanden yang lokasinya dekat pantai. Pemandangan mengenaskan terlihat sepanjang jalan. Ada beberapa keluarga yang tengah memandikan jenazah di pinggir jalan tanpa menggunakan kain penutup. Apa adanya begitu saja.
Beberapa jenazah juga terlihat tergeletak begitu saja di dekat pagar, di pinggir jalan, tanpa ada perlakuan layaknya kondisi normal dan terkesan dibiarkan. Saya pun mulai sadar bahwa jumlah korban yang tadinya hanya hitungan jari bakal terus bertambah.
Hingga akhirnya hari beranjak siang, posisi saya sudah cukup dekat dengan Pantai Parangkusumo-Parangtritis. Isu tsunami yang sebelumnya beredar tidak terbukti. Saya pun bergeser menuju pusat Kota Bantul, tepatnya RS Panembahan Senopati.
Di tempat ini banyak korban luka tengah menjalani perawatan hingga ke selasar dan teras. Di teras, korban luka tergeletak di lantai berdekatan dengan korban yang sudah meninggal. Sebagai orang awam—yang tidak terbiasa melakukan penanganan medis—dengan mudah saya bisa memastikan mana korban yang masih hidup mana yang sudah tidak bernyawa.
Amati saja sesaat, kalau korban sudah tidak bergerak berarti dia telah meninggal. Melihat orang meninggal dari dekat pun akhirnya menjadi hal biasa. Tidak ada lagi rasa takut.
Itulah gambaran setengah hari yang saya rasakan saat gempa Yogyakarta terjadi. Dalam perjalanan proses rehabilitasi dan rekonstruksi, ada satu hal yang membekas dan menurut saya bisa menjadi contoh penanganan bencana serupa di tempat lain, yakni rasa solidaritas.
Bagaimana rombongan orang dari luar daerah berbondong-bondong datang ke lokasi bencana untuk menjadi relawan. Dengan naik truk, mereka tiba di lokasi dan membantu tenaga sebisanya, apakah itu untuk membersihkan puing rumah yang hancur sampai memilah bahan bangunan yang masih bisa dimanfaatkan lagi.
Bantuan logistik, pangan, sembako, hingga pakaian bekas dari masyarakat dan swasta juga terus mengalir, termasuk upaya trauma healing bagi korban yang dilakukan oleh relawan, elemen, atau institusi yang memiliki kemampuan akan hal itu.
Dengan cara seperti ini, penanganan bencana bisa dilakukan lebih cepat. Adanya imbauan dari pemerintah daerah agar material yang masih layak bisa dipakai kembali turut meringankan beban korban. Sambil menunggu rumah permanen, ribuan shelter berupa rumah semipermanen dari bahan bambu didirikan.
Kini, di tengah proses rehabilitasi dan rekonstruksi gempa Malang yang tengah berlangsung, semoga upaya perbaikan cepat selesai dan korban bencana bisa berakivitas kembali seperti semula.