Sehari lagi masuk bulan Ramadhan. Namun, sebagian warga Desa Wirotaman di Kecamatan Ampelgading, Malang, dihadapkan pada cobaan. Rumah mereka rusak oleh gempa. Sementara hasil panen kopi tidak optimal.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Tak pernah terbayangkan di benak Warsono (67) bahwa Ramadhan 1442 Hijriah yang tinggal hitungan jari bakal mengubah kondisinya berbalik 180 derajat. Jangankan rencana menyiapkan suguhan bagi kerabat dan tetangga yang akan bersilaturahmi pada Lebaran, pertanyaan akan tinggal di mana dirinya selama satu bulan puasa belum terjawab.
Rumah Warsono yang berada di Dusun Sukodadi, Desa Wirotaman, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, Jawa Timur, rusak akibat gempa Magnitudo 6,1 yang berpusat di perairan di selatan Malang, Sabtu (10/4/2021) sekitar pukul 14.00.
Dibandingkan dengan sejumlah rumah warga lainnya, rumah permanen berbahan batu bata yang dibangun tahun 1989 itu memang masih berdiri. Namun, kondisinya tak kalah mengenaskan. Dindingnya retak dan terkoyak, mulai dari ruang tamu sampai dapur. Orang awam pun bisa memastikan bahwa rumah berukuran 11 meter x 10 meter itu sudah tidak layak ditempati.
Sepanjang hari Minggu, aparat TNI, Polri dibantu warga bekerja bakti membersihkan rumah dari puing yang berserakan. Semua kusen, baik pintu maupun jendela, sudah dilepas, tak lagi menempel di tempatnya. Pecahan kaca sudah disingkirkan.
Proses pembersihan puing juga harus ekstra hati-hati, jangan sampai tertimpa material yang masih berpotensi jatuh sewaktu-waktu akibat goyangan gempa susulan. Sebab, sejak gempa utama sampai Minggu pagi, setidaknya sudah delapan kali gempa susulan dengan magnitudo rata-rata M 3 (terbesar Minggu pagi, M 5,5) menggoyang Malang dan sekitarnya.
”Pikiran saya koyongenes (gusar) sakniki (sekarang). Soalnya panen kopi tidak memuaskan. Buah kopi tidak maksimal akibat cuaca terlalu banyak hujan sehingga belum terpikirkan, baik itu untuk perbaikan rumah maupun persiapan Lebaran,” tuturnya.
Warsono memiliki lahan seluas 1,5 hektar dengan tanaman kopi puluhan batang. Dalam kondisi normal, dia bisa mendapat 7-8 kuintal biji kopi mentahdalam sekali petik. Jika per kilogram laku Rp 20.000, total penghasilan yang didapat berkisar Rp 14 juta-Rp 16 juta.
”Itu seharusnya bisa buat tabungan untuk Lebaran. Tetapi, sekarang tidak panen, sedangkan bantuan belum ada yang datang. Sejauh ini, bantuan rutin dari pemerintah yang saya terima Rp 300.000. Kalau dikumpulkan, sudah Rp 3 juta. Tetapi, itu sebelum gempa. Bantuan tidak terkait gempa,” katanya lagi.
Setelah gempa, Warsono bersama istri tinggal di tenda di samping rumah. Sejauh ini tinggal di tenda tidak masalah. Hanya saja, kala malam, udara dingin menusuk tulang. Meski begitu, lelaki lanjut usia itu mengaku bersyukur karena keluarganya selamat. Ini pertama kali rumahnya rusak oleh gempa.
”Kalau belum ada uang, rencana dinding-dinding yang rusak nanti saya ganti dengan anyaman bambu dulu. Tetapi, saya belum tahu apakah konstruksinya masih aman,” ucapnya.
Warsono membandingkan, apa yang dia alami dengan apa yang dialami oleh tetangganya. Rumah Jarmanto (yang ada di seberang jalan) ambruk rata dengan tanah. Padahal, pada gempa bumi beberapa tahun silam, dapur milik Jarmanto juga roboh.
Sehari pascagempa, sebagian warga Wirotaman yang rumahnya rusak memang telah menempati tenda-tenda sementara. Ada yang tenda itu berdiri di halaman rumah kerabat, tetangga, ataupun pekarangan sendiri. Sementara proses pembersihan material secara gotong royong terus berlangsung.
Kalau belum ada uang, rencana dinding-dinding yang rusak nanti saya ganti dengan anyaman bambu dulu. (Warsono)
Rumah Edi Sungkowo (55) di Dusun Wirotaman, Desa Wirotaman, misalnya, meski konstruksi masih berdiri, dinding rumah yang dibangun tahun 2010 itu rusak di berbagai bagian. Aparat bersama warga terpaksa menghancurkan dinding lain yang masih tersisa untuk dibangun kembali.
”Saat gempa saya masih di lahan. Di sana guncangannya kencang sekali. Saya pun langsung menebak rumah saya pasti rusak. Dan ternyata benar. Setelah sampai di rumah, kondisinya sudah seperti ini,” ucapnya.
Untuk sementara, Edi bersama enam anggota keluarga mesti tinggal di tenda yang didirikan di halaman depan rumah orangtuanya (di seberang jalan). Rasa waswas masih menyergap karena beberapa kali guncangan ringan masih kerap dia rasakan.
Desa Wirotaman yang berada di sisi selatan Gunung Semeru dinyatakan sebagai desa terdampak paling parah gempa Malang. Camat Ampelgading Achmad Sovie mengatakan, hampir semua dari 13 desa terdampak, mulai dari ringan sampai parah. ”Yang paling parah di Wirotaman,” ucapnya.
Jumlah rumah rusak berat di Wirotaman sebanyak 117 unit, rusak sedang 119 unit, dan rusak ringan 103 unit. Selain itu, satu orang meninggal dunia. ”Adapun di wilayah Kecamatan Ampelgading ada tiga orang yang meninggal, salah satunya di Wirotaman. Dua lainnya ada di Desa Tamanasri dan Sidorenggo,” ucapnya.
Menurut Achmad Sovie, sejak pertama gempa, sudah mulai ada kerja bakti oleh warga. Sementara Taruna Siaga Bencana sudah memberikan bantuan logistik.
Terkait dengan upaya perbaikan, menurut Achmad Sovie, sejauh ini masyarakat masih trauma dan takut terhadap gempa susulan. Mereka lebih memilih tinggal di tenda-tenda. Pihak desa juga sudah menyiapkan tempat penampungan pengungsi di balai desa.
Bupati Malang M Sanusi membenarkan Ampelgading sebagai kecamatan terparah yang mengalami dampak gempa. Sementara desa yang mengalami kerusakan terparah di Ampelgading ialah Wirotaman.
Menurut Sanusi, pihaknya sudah menyiapkan dana tanggap darurat senilai Rp 6,5 miliar untuk menangani bencana kali ini. Pihaknya juga telah mendapat sinyal bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan ikut membantu membenahi rumah yang rusak.
Namun, sembari menunggu datangnya bantuan tersebut, hal yang dilakukan saat ini ialah penanganan sebisanya dulu. ”Penangananya diberi bantuan sebisanya dulu, sembako dari provinsi. Ada juga BUMN, mereka beri paket sembako,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Sanusi, posko pengungsian sudah dibuat. Begitu pula dapur umum sudah didirikan. Pihaknya juga sudah meminta agar balai desa dimanfaatkan sebagai tempat pengungsian. Balai desa dipilih karena bentuknya yang terbuka sehingga warga yang masih trauma bisa merasa lebih nyaman.
Disinggung soal rekonstruksi, Sanusi mengatakan, bantuan untuk tahap rekonstruksi sedang dihitung. ”Rekan-rekan pengusaha juga bantu, total Rp 300 juta untuk menangani rumah ambruk yang menyebabkan kematian dulu. Kalau menunggu APBD, perlu proses,” katanya.
Komandan Kodim 0818 Kabupaten Malang/Batu Letnan Kolonel (Inf) Yusub Dody Sandra mengatakan, ada 700 personel lebih yang dikerahkan untuk membantu penyingkiran puing. Selain itu, juga ada tim psikologi trauma healing dari bagian Kesehatan Kodam 5 Brawijaya dan Kepolisian Daerah Jawa Timur yang diharapkan bisa mengurangi efek trauma gempa sehingga mereka tidak ketakutan.
Berdasarkan data per Minggu malam, jumlah rumah rusak berat di Kabupaten Malang sebanyak 427 unit, rusak sedang 392 unit, dan rusak ringan 878 unit. Selain itu, kerusakan juga menimpa 8 unit fasilitas kesehatan, 15 unit fasilitas pendidikan, 30 unit fasilitas ibadah, dan 6 unit jembatan. Meski berat, dampak bencana ini bisa diringankan dengan kerja bersama-sama.