Ketika Wartawan Disangka ”Bank Emok”
Suatu kali, tengah asyik-asyiknya menikmati perjalanan, saya dicegat oleh warga desa. Sebenarnya bukan cuma sekali. Pengalaman serupa saya alami beberapa kali. Saya dikira bank emok yang bisa meminjamkan uang.
Dengan maksud agar tidak terlalu menarik perhatian warga, dalam berpakaian saya lebih sering memilih warna gelap bahkan hitam. Mulai dari jaket, kaus, sepatu, hingga tas.
Ini mulai saya lakukan ketika terjun ke daerah penugasan baru di Karawang, Jawa Barat, pada 2019. Namun, alih-alih tidak mencolok, penampilan tersebut malah mengundang perhatian warga.
Sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Barat, Karawang memiliki lahan pertanian yang terbentang luas. Tidak mengherankan jika hampir dalam setiap perjalanan menuju lokasi liputan, saya akan melintasi area persawahan yang seakan tak ada habisnya.
Suatu kali, tengah asyik-asyiknya menikmati perjalanan, saya dicegat oleh warga desa.
Melihat pemandangan tersebut sungguh mengasyikkan. Suatu kali, tengah asyik-asyiknya menikmati perjalanan, saya dicegat oleh warga desa. Sebenarnya bukan cuma sekali. Pengalaman serupa saya alami beberapa kali. Kalau sudah begini, sepertinya saya perlu berefleksi tentang penampilan diri, ha-ha-ha.
”Neng, Neng, kadieu! Neng, bank emok? Saya mau pinjem duit, butuh banget,” kata seorang ibu sambil melambaikan tangan di tepi jalan di depan rumahnya.
Saya pun melipir mendekati ibu tersebut. Lalu, dia mengajak ngobrol dengan bahasa lokal yang tidak saya pahami. Maklum, saya baru beberapa hari tugas di Karawang sehingga belum fasih betul bahasa lokal.
Baca juga: Gampang-gampang Susah di Bali
Saya hanya bisa menangkap, sang ibu berulang kali menyebut ”duit” dan ”duit” dengan tekanan bicara yang lebih dari lainnya. Setelah sekian kata yang dia ucapkan, akhirnya saya dapat menangkap maksudnya: ingin pinjam duit.
Saya kemudian menjelaskan bahwa saya bukan bank emok. Emok dalam bahasa Sunda artinya duduk lesehan. Bank emok biasanya menyasar pada ibu-ibu yang sedang duduk lesehan berkelompok. Orang setempat mengasosiasikan bank emok dengan koperasi karena bank emok biasanya memperkenalkan diri sebagai koperasi. Barangkali agar mudah dipahami dan diterima pada awalnya. ”Waduh saya bukan anggota koperasi. Saya belum mampu pinjemin uang, Bu,” jawab saya.
Mendengar jawaban itu, sang ibu tertawa dan meminta maaf. Raut wajahnya kemudian berubah sendu dan kecewa. Harapan menggenggam uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pupus. Saya pun kembali memacu kendaraan ke desa tujuan.
Baca juga: Tulisan tentang Nasib Awak Bus yang Gugah Penderma
Dengan penampilan serupa dengan sebelumnya, saya meliput peristiwa tumpahan minyak di pesisir utara Karawang pada pertengahan September 2019. Semula para nelayan dan keluarganya tampak meragukan saya sebagai wartawan. Mereka mengira saya adalah penagih utang yang datang di tengah kondisi sulit mereka yang terdampak tumpahan minyak.
Di sana, saya juga pernah dicegat di jalan sekitar pantai karena dikira anggota koperasi (bank emok) yang bisa meminjamkan uang. Setelah lebih kurang seminggu melihat saya mondar-mandir di sana, mereka mulai terbiasa dengan kehadiran saya. ”Oh, Mbaknya yang wartawan bukan anggota koperasi,” seloroh mereka.
Sepulang dari sana, saya bertanya kepada kawan media di Karawang apa itu ”bank emok”. Ternyata itu adalah julukan dari masyarakat setempat untuk jasa peminjaman uang dengan bunga sangat tinggi alias rentenir. Mereka menjelaskannya sambil tertawa. Lepas banget, kompak.
Hingga kini, peristiwa saya dicegat orang di jalan, masih melekat di ingatan mereka dan jadi bahan bercandaan teman-teman. ”Dih itu gegara jaket lu, Mel. Ha-ha-ha,” kata salah satu dari mereka.
Apa iya karena berpakaian gelap? Saya sendiri belum penah bertemu anggota bank emok yang dimaksud. Hingga akhirnya, perhentian di sebuah warung kopi, membawa saya pada perjumpaan dengan orang-orang bank emok untuk pertama kalinya.
Mereka berpakaian rapi, berbaju kerah, dan wangi. Berlawanan dengan saya yang hanya mengenakan kaus dan tidak wangi karena lebih sering bermandi sinar matahari.
Baca juga: Ingatan Lima Jam Pertama Gempa Yogya
Saat pulang, mereka serentak mengenakan jaket berwarna gelap. Saya pun tersadar, oh jadi ini jaket gelap yang dimaksud teman-teman saya. Sambil menunggu pesanan gehu (toge tahu) yang masih digoreng, ibu penjual pun menanyai saya, ”Saya kira tadi Neng satu kelompok, tapi kok diem-diem weh,” ucapnya. Lagi-lagi, saya dikira bank emok.
Agar tidak lagi dikira bank emok, saya kemudian menambah koleksi syal dengan warna yang lebih cerah. Selama ini, dalam berpakaian saya kerap menambahkan pemakaian syal. Dengan memakai syal berwarna cerah, saya berharap warga tidak ragu dan takut lagi untuk mengobrol karena salah mengira saya bank emok yang akan menagih utang.
Meski terkadang sebal, pengalaman dikira bank emok ini menjadi salah satu pengalaman unik yang saya alami selama di lapangan. Berbagai pengalaman seru inilah yang membuat saya menikmati kerja sebagai wartawan.
Suatu kali, saya menceritakan rangkaian peristiwa ini pada rekan senior di Kompas Biro Jawa Barat, Bang Tatang Mulyana Sinaga. Menanggapi cerita saya yang dicegat warga, Bang Tatang mengatakan, peristiwa ini menggambarkan kefrustasian di akar rumput.
Dikutip dari artikel berjudul Mengatasi Kepepet dengan ”Bank Sobek”, masyarakat lapisan menengah ke bawah selama ini akrab dengan ”koperasi keliling” atau ”bank keliling”. Di Jakarta, disebut dengan bank sobek, karena ada kertas berwarna hijau atau kuning yang disobek, setiap kali peminjam mengangsur cicilan. Di daerah lain, seperti Jawa Tengah, disebut bank plecit atau bank titil.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis Suroto menjelaskan, berbagai program pemerintah untuk akses kredit bagi masyakat kecil belum efektif. (Kompas.id, 5/3/2020).
Baca juga: Kala Malam Tiba, Badai Seroja Menggila
Masyarakat desa lebih memilih ”bank keliling” karena lebih mudah untuk meminjam uang. Sementara untuk pinjam ke bank betulan butuh usaha lebih karena jaraknya jauh dari rumah dan proses pencairan uang juga tidak bisa seketika.
Bang Tatang kemudian menceritakan pengalamannya liputan di Garut, Jawa Barat, yang dicegat oleh petani. Sosok tersebut tampak frustrasi karena bawang yang ditanam mengalami gagal panen. ”Dikiranya aku tukang jual tanaman obat. Aku bilang, aku ini dokter hewan, bukan tanaman. Bapaknya ketawa, deh,” ucap Bang Tatang.
Pakaian bisa menjadi sarana kamuflase. Dengan pakaian tertentu, orang yang melihat bisa berasumsi begini atau begitu. Pengalaman saya menunjukkan, meski sudah tahu bank emok bisa menjerat, ibu-ibu tetap saja mendambanya karena hanya bank emok-lah yang ”memahami” mereka, memberi pinjaman uang tanpa bertele-tele. Seandainya ada yang memberikan pinjaman kepada ibu-ibu itu tanpa bunga mencekik....