Tanggal 9 Juni 2021 tepat setahun kepergian Benny Likumahuwa, seorang dedengkot ”Jazz” Indonesia. Momen ini mengingatkan saya akan pengalaman wawancara dengan beliau. Saat itu, saya mendapat ”petuah” berharga soal jazz.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
Profesi wartawan kerap memberi saya kesempatan bertemu sosok prominen dari berbagai bidang. Dari tiap momen itu, selalu ada kisah yang membawa kesan tersendiri. Apalagi bagi saya yang tergolong wartawan ”kemarin sore”.
Salah satu pertemuan berkesan yang saya alami adalah saat mewawancarai musisi jazz kawakan Benny Likumahuwa pada Februari 2020. Saya teringat sosoknya lantaran Rabu (9/6/2021) lalu tepat setahun kepergiannya. Benny yang mengidap diabetes sejak 2018 meninggal pada usia 73 tahun (Kompas, 10/6/2020).
Pertemuan dengan Om Benny terwujud di sela-sela perhelatan Jakarta International BNI Java Jazz Festival, 28 Februari 2020. Ia terlambat datang untuk menyaksikan panggung penampilan anaknya, Barry Likumahuwa, yang menjadi pembuka rangkaian pergelaran.
Profesi wartawan kerap memberi saya kesempatan bertemu sosok prominen dari berbagai bidang.
Padahal, malam itu Barry mempersembahkan proyek khusus, The Likumahuwa Jazz Connection: Salute to Benny Likumahuwa sebagai penghormatan kepada sang ayah.
Saat itu, pengunjung membeludak. Meskipun sudah muncul isu Covid-19, tetapi belum ada kabar tiba di Tanah Air. Beberapa hari kemudian, presiden mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia.
Om Benny tampak menyatu dalam kerumunan penonton meski hanya bisa duduk diam di kursi roda. Di tengah penampilan, Barry beberapa kali menyampaikan ucapan penghormatannya meski sang ayah tidak bisa ikut tampil di atas panggung. Kondisi fisik yang kian turun sejak 2019 membuat Om Benny tak lagi aktif tampil di atas panggung.
Malam itu, saya memang berencana mewawancarai Om Benny sebagai pelengkap bahan ulasan tentang jazz dan kaum urban. Pada hari pertama Java Jazz itu, saya dan rekan wartawan Kompas lainnya, Sekar Gandhawangi, bergerilya mengumpulkan pendapat dari para dedengkot jazz, baik sebelum maupun sesudah mereka pentas. Benny Likumahuwa adalah salah satu pilihan kami.
Saya baru berkesempatan ngobrol dengan Om Benny seusai pentas Barry Likumahuwa. Bersama sejumlah teman wartawan dari media lain, saya mencoba mengajaknya mengobrol. Sayang, kondisi sedikit di luar perkiraan.
Dengan usia dan kondisi kesehatannya, Om Benny tampak tidak cukup prima menjawab pertanyaan wartawan. Barangkali juga karena situasi yang riuh. Sejumlah respons Om Benny kurang terdengar oleh teman-teman wartawan. Suaranya serak dan lafal bicaranya kurang terdengar jelas.
Kondisi itu membuat sebagian teman wartawan urung mengobrol dengan Om Benny. Sebagian lainnya memilih tetap bertahan, termasuk saya karena merasa belum memperoleh bahan yang saya butuhkan.
Om Benny kemudian mengungkapkan kesannya terhadap panggung pertunjukan anaknya malam itu. Dia menyesal dirinya terjebak macet sehingga terlambat menonton konser Barry. ”Pas saya datang sudah lagu terakhir. Tapi saya yakin dan percaya penampilannya (Barry) bagus,” ujar salah satu personel band The Rollies itu.
Dia juga senang perkembangan musik jazz di kota belakangan ramai dengan generasi yang lebih muda. Festival musik jazz, menurut dia, harus tetap ada demi mewadahi pertemuan para seniman, baik tua maupun muda, berikut para penikmatnya.
Dalam kesempatan itu, Om Benny sempat menceramahi saya karena salah memahami makna jazz. Waktu itu saya bertanya, apakah jazz itu melulu soal kebebasan berimprovisasi. Lalu tiba-tiba dia merespons dengan intonasi yang lebih tegas dari sebelumnya. ”Orang suka ngomong jazz itu soal kebebasan, sebenarnya jazz itu enggak bebas-bebas amat,” katanya.
Om Benny menekankan, main jazz itu harus tetap tahu aturan. ”Ada aturannya. Itu makanya jangan salah kaprah karena orang berpikirnya bebas. Pelajari supaya tahu batas-batasnya, ada aturannya,” tambahnya.
Saya mendadak grogi karena salah melontarkan pertanyaan. Sudahlah wartawan kemarin sore, masih pula berhadapan dengan seorang legenda. Apalah saya, seorang penikmat amatir yang mendengarkan musik di kala senggang mengejar deadline harian.
Namun, semua saya anggap sebagai ”petuah” yang justru memperkaya pengetahuan jazz saya. Rupanya itu menjadi petuah pertama sekaligus terakhir untuk saya karena setelah itu tidak ada kesempatan lain untuk bertemu sang legenda.
Begitulah, karena kepolosan pertanyaan itu, saya justru dikasih penjelasan lebih detail oleh Om Benny. Dia lantas mengibaratkan jazz sebagai sebuah bahasa yang dimengerti sesama musisi.
”Artinya, dalam jazz itu satu dan yang lain harus saling mengerti. Jazz yang you pikir itu bebas, sebenernya enggak. Kalau kita ngobrol bebas, you ngomong bahasa Qatar, saya ngomong bahasa Nepal, kan, enggak saling ketemu,” katanya.
Lalu saya terpancing menanyakan hal lain. ”Om, main jazz itu sebenarnya tentang apa?” tanya saya.
Dia kemudian menyebut salah satu inti bermain jazz adalah memahami ”swing”. ”Main jazz itu sebenarnya tentang swing. Itu yang perlu diketahui, lho. Itu dasarnya,” kata Om Benny saat itu.
Baru belakangan ini saya mencari lagi makna istilah swing yang dia sebut. Apabila mengutip penjelasan Kevin Whitehead dalam Why Jazz? A Concise Guide (2010), makna swing mengacu pada cara bermain mengalun yang khas dilakukan dalam musik jazz. Contoh musik dengan swing terdapat dalam lagu ”Take Five” dari Dave Brubeck.
Dia kemudian menyebut salah satu inti dari bermain jazz adalah memahami ”swing”.
Om Benny kala itu menekankan, untuk bisa berkembang, seorang musisi jazz harus paham bermain swing. Dia lalu memberi perumpamaan lain kepada saya, dengan mengambil contoh seorang jurnalis yang belajar menulis.
”Sama aja kayak you mau nulis artikel, kan, mesti tahu dulu tulisan kecil, pendek, dan banyak artikel lainnya. Baru you bisa berkembang,” ucapnya.
Pengalaman wawancara sekaligus belajar singkat tentang jazz itu masih terus saya ingat sampai sekarang. Sosok Om Benny berjasa besar bagi banyak musisi dan generasi muda, termasuk saya yang bertemu dirinya meski hanya sekelebat waktu saja. Mudah-mudahan Om Benny hidup damai di sana.