Ada kekhawatiran perubahan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang tengah dibahas DPR sebagai jalan mempertahankan UU Cipta Kerja tanpa melakukan perubahan mendasar isi UU Cipta Kerja.
Oleh
IBNU SYAMSU HIDAYAT
·4 menit baca
DPR mulai tancap gas, membahas perubahan kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setelah berhasil menjadikan sebagai Prolegnas Prioritas 2022, DPR dalam rapat paripurna pada 8 Februari 2022 menyetujui Rancangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai RUU inisiatif DPR. Padahal, perubahan pertama undang-undang ini baru dilakukan pada 2019.
Hal yang menjadi pertanyaan, baru berjalan kurang lebih tiga tahun, mengapa DPR bersama pemerintah sepakat melakukan perubahan UU No 12/2011? Apakah akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat? Apakah ini merupakan trik DPR dan pemerintah agar dapat mempertahankan UU Cipta Kerja yang pembentukannya menggunakan metode omnibus law yang tidak dikenal dalam UU No 12/2011?
Alasan pihak yang sepakat, perubahan UU No 12/2011 ini merujuk pertimbangan hukum putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 angka 3.18.2.2. Dalam pertimbangan hukum ini, MK menilai bahwa teknik atau metode apa pun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya menyederhanakan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, atau mempercepat proses pembentukan UU, bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar, serta dituangkan terlebih dulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut. Artinya, metode pembentukan UU melalui omnibus law tidak dapat digunakan selama belum diadopsi dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Adapun pihak yang menolak perubahan UU PPP ini berpendapat bahwa putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak sama sekali memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan revisi UU PPP, tetapi pembentuk UU diperintahkan memperbaiki UU Cipta Kerja selama dua tahun ke depan. Hal ini dapat dilihat dari amar putusan yang sama sekali tidak ada perintah agar pembentuk UU melakukan perubahan UU No 12/2011.
Mengedepankan substansi
Kekhawatiran perubahan UU PPP sebagai jalan mempertahankan UU Cipta Kerja tanpa melakukan perubahan mendasar isi UU Cipta Kerja itu cukup alasan. Jangan sampai perubahan UU PPP yang memasukkan metode omnibus law dalam UU tersebut akan menjadi alat DPR dan pemerintah untuk menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja melalui metode omnibus law telah sesuai dengan UU PPP.
Hal yang paling penting dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu adalah adanya penilaian atau tafsir resmi bahwa UU Cipta Kerja dibuat dengan prosedur yang salah. Dengan demikian, MK memerintahkan DPR dan pemerintah agar pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan dengan serangkaian yang berkesinambungan melalui lima tahapan dengan benar, mulai dari pengajuan rancangan undang-undang, pembahasan bersama antara DPR dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, presiden, dan DPD, persetujuan bersama antara DPR dan presiden, serta pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang dan pengundangan.
Selain itu, MK menilai bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas keterbukaan. Pembentuk undang-undang seharusnya memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal, seperti memberikan ruang pembahasan dengan masyarakat, memberikan akses dengan mudah sehingga masyarakat dapat membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo sehingga memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan ataupun tertulis terhadap rancangan sebuah undang-undang.
Prioritas
Waktu dua tahun perbaikan yang diberikan oleh MK seharusnya menjadi momentum yang tepat bagi DPR dan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja secara maksimal, khususnya yang berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna karena hal tersebut merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.
Suatu hal yang tidak mudah untuk mengatur 11 kluster dalam UU Cipta Kerja. Dalam konteks partisipasi masyarakat tentu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu yang lama untuk membahas rancangan masing-masing kluster sehingga mendapatkan esensi partisipasi masyarakat secara maksimal.
Partisipasi tidak sekadar pemaparan satu saluran, tetapi akan memiliki makna jika memenuhi tiga prasyarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Partisipasi masyarakat tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau kelompok masyarakat yang memiliki perhatian khusus terhadap isu yang dibahas dalam rancangan undang-undang.
Tanpa maksud memperbandingkan mana yang seharusnya menjadi prioritas, sepertinya perbaikan UU Cipta Kerja harus lebih diprioritaskan daripada pembahasan revisi UU PPP. Bukan perkara mudah dalam situasi pandemi Covid-19 untuk melakukan proses ulang pembentukan UU Cipta Kerja.
Ibnu Syamsu Hidayat,Advokat Themis Indonesia Law Firm