Badan Legislasi DPR Kebut Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Draf revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menambahkan definisi metode omnibus, penguatan partisipasi masyarakat, dan mekanisme perbaikan kesalahan penulisan setelah RUU disetujui DPR dan pemerintah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Suasana rapat paripurna di Kompleks DPR, Jakarta, Selasa (22/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dijadwalkan menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sebagai RUU inisiatif DPR pada Senin (7/2/2022). Materi revisi menambahkan metode omnibus dan penguatan partisipasi publik.
Pembahasan revisi Undang-Undang No 12/2011 tentang PPP dimulai dengan rapat pleno penyusunan RUU tentang Perubahan Kedua UU No 12/2011, Rabu (2/2/2022). Dalam rapat tersebut, Badan Keahlian DPR mempresentasikan naskah akademik dan RUU Perubahan Kedua UU No 12/2011. Rapat juga menyepakati pembentukan panitia kerja RUU PPP.
Sehari kemudian, Kamis (3/2/2022), dilakukan rapat panja penyusunan RUU PPP. Rapat dimulai dengan paparan dari Ketua Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengenai pasal-pasal yang akan direvisi. Pembahasan cenderung berlangsung lancar sekalipun ada sejumlah masukan dari berbagai fraksi.
”Kami akan bertemu dalam rapat pleno Baleg yang akan datang dalam rangka pengambilan keputusan RUU PPP sebagai inisiatif DPR pada hari Senin,” ujar Ketua Baleg DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas saat menutup rapat panja, Kamis.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Poster bertuliskan penolakan atas UU Cipta Kerja dibawa massa buruh saat melakukan aksi bersama menolak UU CIpta Kerja di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Pada rapat panja yang berlangsung selama sekitar 75 menit itu, Inosentius memaparkan sejumlah revisi dalam UU No 12/2011. Beberapa di antaranya ialah menambahkan definisi metode omnibus, penguatan partisipasi masyarakat, mekanisme perbaikan ketika masih ditemukan kesalahan penulisan setelah draf RUU disetujui DPR dan pemerintah, serta pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik.
Di Pasal 2a draf revisi UU PPP disebutkan, metode omnibus merupakan metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan materi muatan baru atau menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan atau mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu. Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan juga harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan (Pasal 42A).
”Sekalipun menggunakan metode omnibus, perencanaan dalam program legislasi nasional tidak bisa diabaikan. Semua wajib tercantum dalam prolegnas, kecuali yang masuk dalam kumulatif terbuka,” ucap Supratman.
Selain itu, revisi juga memperkuat partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Pasal 96 Ayat 4 disebutkan, untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, setiap naskah akademik dan rancangan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi menyerupai dukun santet saat demo menolak pengesahan UU Cipta Kerja di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (12/10/2020). Pendemo mendesak agar RUU Cipta Kerja yang disetujui DPR tidak disahkan menjadi UU.
Penguatan partisipasi publik itu, menurut Supratman, diperlukan agar publik bisa mengontrol pembentuk UU. Oleh karena itu, dokumen naskah akademik dan RUU harus diunggah secara daring agar publik mudah mengaksesnya. Jangan sampai pembuat UU menyembunyikan sesuatu dari pubik yang berhak mengetahuinya sebagai bagian dari keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban publik. ”Intinya, masyarakat tidak boleh dihalangi untuk mendapatkan informasi,” ujarnya.
Sebagian besar anggota fraksi di Baleg sepakat dengan poin-poin yang direvisi. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, John Kenedy Azis, menilai, poin-poin revisi sudah tepat. Namun, ia mengingatkan konsekuensi penguatan partisipasi publik itu nantinya agar DPR lebih siap menerima kritikan dan masukan dari masyarakat.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, Nasdem sepakat dengan penguatan partisipasi publik dalam revisi UU PPP. Namun, ia berharap keterbukaan itu tidak sebatas akses informasi, tetapi publik mesti benar-benar mudah mengakses dokumen-dokumen tersebut.
Meski demikian, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, menilai, penyerapan aspirasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus harus sangat cukup. Sebab, metode ini akan berdampak pada banyak UU. Oleh karena itu, perlu diatur jangka waktu penyerapan aspirasi karena sangat berkaitan dengan jumlah UU yang terdampak. ”Jangan ada kesan kejar tayang. Perlu ada waktu yang cukup agar masyarakat leluasa memberikan masukan,” katanya.
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terkait gugatan uji materi UU Cipta Kerja nomor perkara 91 dan perkara 95 secara virtual, Kamis (12/11/2020).
Secara terpisah, dalam konsultasi publik RUU PPP, pengajar Fakultas Hukum di Universitas Airlangga, Mohammad Syaiful Aris, mempertanyakan, partisipasi publik merupakan satu mekanisme yang harus dipenuhi atau tidak. Sekalipun dilakukan, partisipasi publik tidak akan berpengaruh selama hanya dianggap sebagai formalitas. Harapan publik pun tidak akan terwakili sekalipun sudah diungkapkan ke pembentuk UU.
Padahal, partisipasi publik bisa berdampak pada penguatan legitimasi sebuah produk perundang-undangan. Produk yang dihasilkan pun akan berkualitas sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi. Sementara kekurangannya antara lain tidak menggaransi keberhasilan, harapan yang tidak realistis, serta membutuhkan waktu dan biaya.
”Partisipasi terutama mesti melibatkan mereka yang memiliki kepentingan dan terdampak terhadap suatu regulasi,” ujar Syaiful.
Adapun revisi UU PPP merupakan salah satu tindak lanjut DPR atas putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Cipta Kerja yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Hakim MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan kala itu mengungkapkan, pembentuk UU tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dari materi perubahan UU Cipta Kerja.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Gedung Mahkamah Konstitusi
Akibatnya, masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan UU apa saja yang akan digabung dalam UU Cipta Kerja. Terlebih lagi, naskah akademik dan draf RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.