DPR menyiapkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk memasukkan metode ”omnibus law”. Adapun pemerintah menyiapkan revisi UU Cipta Kerja. Revisi kedua UU ini diharapkan bergerak paralel.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersama Badan Legislasi DPR menyepakati skema perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional bersyarat. Dalam skema itu, revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diputuskan menjadi pintu masuk untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja.
Dalam rapat pleno pengambilan keputusan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2022, Senin (6/12/2021) malam, pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR menetapkan 40 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam Prolegnas 2022.
Salah satunya, RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. RUU itu disepakati akan diusulkan oleh Baleg DPR. Selain itu, disepakati pula memasukkan satu tambahan RUU dalam daftar RUU kumulatif terbuka, yakni RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Prolegnas Prioritas 2022 yang juga Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, hasil kesepakatan terkait Prolegnas Prioritas 2022 akan dilaporkan dalam Rapat Paripurna DPR untuk memperoleh persetujuan dan disahkan pada Selasa (7/12/2021).
Seusai rapat, Yasonna menyampaikan, pemerintah menghormati dan siap menindaklanjuti putusan MK atas UU Cipta Kerja.
Berkaitan dengan hal tersebut, langkah pertama adalah dengan merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Revisi terutama untuk memasukkan metode pembentukan undang-undang dengan omnibus law. Kemudian, secara simultan, pemerintah akan segera menyiapkan RUU Perubahan atas UU Cipta Kerja seperti diamanatkan MK.
Penyusunan draf RUU itu akan ada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
”Jadi, kami akan bergerak cepat sesuai perintah Presiden. DPR akan menyiapkan revisi UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), kemudian kami, pemerintah, segera menyiapkan dari sekarang, revisi UU Cipta Kerja,” ucap Yasonna.
Ia pun berharap kedua revisi UU tersebut dapat dibahas secara pararel pada masa persidangan DPR awal 2022. Pemerintah akan berkomitmen untuk membahas RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seefektif mungkin. Sebaliknya, DPR diharapkan bisa bersinergi dengan pemerintah dalam merevisi UU Cipta Kerja.
Tidak ada penolakan
Kesepakatan soal skema perbaikan UU Cipta Kerja tersebut berjalan mulus, termasuk saat Prolegnas 2022 masih dibahas di tingkat panja. Rapat panja penyusunan Prolegnas ini digelar tertutup sebelum digelar rapat pleno pengambilan keputusan. Tak ada penolakan dari fraksi-fraksi, termasuk dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fraksi Demokrat yang partainya berada di luar koalisi parpol pendukung pemerintah.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Bukhori, mengatakan, tak ada resistensi karena fraksinya pun melihat revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diamanatkan oleh putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Revisi UU itu justru akan memayungi metodologi omnibus law yang selama ini belum ada landasan hukumnya.
”RUU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) itu arahnya bukan melegitimasi kesalahan UU Cipta Kerja, melainkan kami ingin memasukkan metode omnibus law supaya menjadi metodologi pembentukan undang-undang yang legal. Itu harus dirinci,” kata Bukhori.
Pentingnya revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai payung hukum omnibus law juga disampaikan anggota Baleg DPR dari Fraksi Demokrat, Santoso. ”Selama ini sudah ada metode omnibus law, tetapi kurang komprehensif sehingga perlu revisi yang lebih masif,” tambahnya.
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berpandangan, keputusan DPR dan pemerintah memasukkan RUU Cipta Kerja ke daftar kumulatif terbuka tidaklah tepat. Sebab, itu akan berimplikasi pada pembahasan yang hanya asal cepat.
Padahal, lanjut Lucius, berkaitan dengan putusan MK atas UU Cipta Kerja, mahkamah memerintahkan agar DPR dan pemerintah memulai prosedur pembahasan UU Cipta Kerja dari awal. ”Nanti, kalau kumulatif terbuka, pembahasan RUU Cipta Kerja ini bisa sangat cepat sekali, mengubah pasal-pasal yang dianggap bermasalah, tanpa kemudian mewajibkan partisipasi publik dalam proses pembahasan. Ruang gelap pembahasan pun akan muncul lagi,” katanya.
Kemudian, berkaitan dengan cepatnya pengambilan keputusan Prolegnas 2022, Lucius menilai, ini juga menegaskan bahwa DPR dan pemerintah hanya menganggap penetapan daftar prolegnas tersebut sebagai prosedur formal belaka. Namun, mereka mengesampingkan makna dari prolegnas prioritas itu sendiri.
”Dua tahun kerja mereka saja, tidak ada semacam semangat untuk membahas RUU yang sudah masuk dalam rencana di daftar prioritas 2020-2021. Apalagi, ini asal cepat menentukan, saya yakin akan mengulang hal yang sama. Kualitas legislasi pun dipastikan juga tidak akan sesuai dengan harapan publik,” tutur Lucius.