Menkumham: Benahi yang Substansial di UU Cipta Kerja, Perbaiki "Typo"
Pasca-putusan MK yang menyatakan pembentukan UU No 11/2020 Cipta Kerja cacat formil sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat, pemerintah dan DPR diminta memperbaikinya. Untuk itu, ”Kompas” mewawancarai Menkumham.
Oleh
Antony Lee/Susana Rita Kumalasanti, Nikolaus Harbowo, Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Meski tetap dinyatakan berlaku, pemerintah dan DPR diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki undang-undang tersebut.
Sejak putusan MK dibacakan Kamis, 25 November 2021, polemik mengemuka di antara pakar hukum dan anggota DPR, terutama terkait skema perbaikan. Ada yang bilang, cukup memperbaiki UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi ada juga yang bilang UU Cipta Kerja-nya yang harus diperbaiki, serta tak sedikit juga yang menilai kedua UU itu harus diperbaiki.
Lantas, seperti apa sikap dan rencana pemerintah? Untuk mengetahuinya, Kompas mewawancarai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Rabu (1/12/2021). Wawancara berlangsung sekitar 1,5 jam dan berjalan dengan santai. Berikut sebagian kutipannya.
Bagaimana reaksi pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait uji formil UU Cipta Kerja?
Kaget, lha. Putusan yang tiba-tiba itu sempat membuat guncang. Makanya, Presiden bilang tetap kita penuhi dan hormati putusan MK. Tetapi, harus segera diselesaikan. Presiden selalu mengatakan dalam dunia seperti sekarang ini memerlukan kecepatan. Persaingan bukan lagi tentang siapa yang besar dan kecil, tetapi yang tercepat membuat inovasi.
Ini, kan, kita mau memindahkan investasi dari China ke luar karena dampak perang dagang. Siapa yang punya infrastruktur dan ease of doing business yang lebih baik akan dilirik. Sekarang mengapa investor, kok, masuk ke Vietnam bukan ke kita? Sebab, kita ini, kan, ada persoalan perizinan di tingkat pusat dan daerah. Ini yang kita reform.
Kemarin pasca-keputusan itu, kan, Presiden baru saja menghadiri KTT G-20 di Roma; Konferensi Perubahan Iklim Dunia COP 26 di Glasgow; dan pameran pariwisata di Dubai. Itu ada deal komitmen investasi yang sangat besar. Tiba-tiba ada putusan itu, sempat guncang.
Dari perspektif kami, ada proses konstitusional yang harus kita hargai. Namun, hal itu tetap menimbulkan ketidakpastian di dunia internasional. Ini membuat investor sedikit terperangah karena tidak ada kepastian investasi di Indonesia. Tetapi, dengan konferensi pers dari Presiden, ada jaminan dari Presiden, sehingga mulai ada keyakinan kembali.
Tanggal 6 Desember 2021, minggu depan, saya akan masukkan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dalam UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), daftar kumulatif terbuka. Ini dulu. Karena metode omnibus law tidak dikenal dalam UU PPP. Padahal tidak dilarang, tetapi saya tidak mau berdebat dengan hakim konstitusi.
Kata Presiden harus diselesaikan secepat-cepatnya. Jadi, kalau tanggal 6 Desember bisa masuk prolegnas daftar kumulatif terbuka, mau kapan pun diajukan ke DPR, bisa. Tinggal beberapa pasal saja itu untuk memasukkan metode omnibus law di lampiran awal. Kalau itu lancar, bisa diketok palu tanggal 6 atau 7 Februari 2022 sehingga ada metode omnibus law di UU PPP.
Kata Presiden harus diselesaikan secepat-cepatnya. Jadi, kalau tanggal 6 Desember bisa masuk prolegnas daftar kumulatif terbuka, mau kapan pun diajukan ke DPR, bisa. Tinggal beberapa pasal saja itu untuk memasukkan metode omnibus law di lampiran awal. Kalau itu lancar, bisa diketok palu tanggal 6 atau 7 Februari 2022 sehingga ada metode omnibus law di UU PPP.
Revisi UU Ciptaker mulai dari nol atau bagaimana?
Kita akan bergerak secara simultan. Yang typo pasti diselesaikan, yang substansi kita lihat dan akan kita perbaiki. Walaupun sudah kita perbaiki substansinya, nanti juga tetap akan digugat. Kita ini, kan, semuanya digugat di MK. Bukan hanya UU Ciptaker, kok. Ada UU Pemilu, KUHP yang sudah tahun 1980-an, segala macam digugat di MK. Kita suka menggugat, tetapi oke karena itulah euforia demokrasi. In the long run, kita akan ada balance, akan ada satu kematangan konstitusi.
Apakah sebanyak 78 kluster UU di UU Cipta Kerja juga akan direvisi sejak awal?
Kalau 78 UU kita revisi dengan metode perubahan yang konvensional, satu periode mendatang presiden tidak akan selesai. Coba kalian lihat berapa UU konvensional selesai tahun ini? Hitung saja.
Membuat satu UU, mulai dari naskah akademik (NA), prosedur jaring aspirasi 78 UU kali berapa daerah, that’s a lot of money. UU Ciptaker ini efisien. Bahwa itu melompat, memang saat terjadi perubahan, pasti ada orang yang gamang. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-orang yang berpikir progresif dan visioner untuk dapat memahami itu.
Ini, kan, gamang. Kalau tidak ada jaminan dari pemerintah, investasi bisa bobol dan terancam. Padahal, ini dibutuhkan untuk tujuan menyejahteraan rakyat. Maka, berlakulah adagium, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.
UU Cipta Kerja ini kan for the welfare of the people. Ini kemudian direspons dunia internasional sebagai sesuatu yang sangat visioner dan berani dilakukan oleh presiden. Ide ini bukan gampang.
Dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK menilai asas keterbukaan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja dilanggar. Pembentuk undang-undang dianggap tidak memberikan ruang partisipasi kepada masayarakat secara maksimal?
Kalau dikatakan tidak ada sosialisasi, inilah UU yang sejak awal dimunculkan menimbulkan kontroversi. Kurang sosialisasi apa? Sidang-sidang di DPR terbuka dan online, dalam streaming. Apa yang tidak terbuka untuk umum?
Kalau dikatakan tidak ada sosialisasi, inilah UU yang sejak awal dimunculkan menimbulkan kontroversi. Kurang sosialisasi apa? Sidang-sidang di DPR terbuka dan online, dalam streaming. Apa yang tidak terbuka untuk umum?
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan pers terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/11/2021).
Tetapi, kalau dikatakan tidak terbuka untuk umum dan kurang sosialisasi? Saya berpikir omnibus law sudah menjadi perhatian semua orang. Sejak kami membuat drafting sudah menjadi perhatian banyak orang. Ini melibatkan banyak pakar karena itu adalah sesuatu yang baru, kami tidak mau gegabah. Bahwa ini terlalu cepat, wajar. Karena Presiden kan ingin merespons kondisi pandemi, kondisi yang di mana dunia saling bersaing, kalau kita terlambat bagaimana?
Perbaikan dari sisi formalitas, oke. Tetapi, pembentukan hukum yang progresif kalau menunggu perubahan-perubahan itu akan memperlambat. Padahal, kita mencari momentum.
Itulah pilihan konstitusional kita. Kalau saya baca dissenting opinion Prof Arief Hidayat dan Prof Anwar Usman itu memberikan pandangan yang begitu progresif. Hukum bukan hanya untuk hukum. Tetapi juga untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
Soal omnibus law itu memang metode yang biasa dipakai di negara-negara common law, bukan di civil law seperti kita. Tetapi, zaman sekarang sudah ada percampuran antara metode common law dan civil law. Kita sudah melakukan beberapa konvensi ketatanegaraan yang tidak diatur di konstitusi.
Di dalam sebuah negara demokrasi, jangan dihilangkan tujuan pembuatan UU. Bahwa UU Cipta Kerja dibuat di tengah pandemi, di kondisi ekonomi yang buruk, memang perlu percepatan. Butuh ketegasan untuk berani take it or leave it.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Hakim konstitusi membacakan putusan terhadap sejumlah perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (24/11/2021). Salah satu yang diputuskan yaitu perkara pelaksanaan pemilu serentak yang menyebabkan beban kerja di tingkat KPPS, PPS, dan PKK menjadi tidak rasional dan layak. Terhadap perkara tersebut, MK memutuskan menolak permohonan uji materi UU tentang kesetaraan pemilu tersebut.