Terbongkarnya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak perempuan dan perempuan dewasa akhir-akhir ini sangat mengerikan. Pelakunya justru dari kalangan pendidik yang seharusnya menganyomi.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·4 menit baca
Setiap orang mempunyai hak untuk merasa aman dalam beraktivitas sehari-hari dalam segala aktivitas kehidupan, seperti bekerja, belajar, dan bersosialiasi, terlebih di dalam keluarga tempat berlindung. Persoalan sosial yang mengemuka belakangan ini adalah terbongkarnya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak perempuan dan perempuan dewasa.
Yang paling mengerikan dari kisah kekerasan seksual tersebut ialah ruang kejadian dan pelakunya, yaitu orang-orang yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku, dan peristiwa itu terjadi di dalam rumah dan ruang menuntut ilmu.
Muncul sebuah pertanyaan besar: adakah ruang aman bagi anak-anak kita? Di dalam rumah dan ruang tidur sendiri anak perempuan belum terjamin keamanannya, karena pelakunya terkadang abang dan ayahnya, ataupun pamannya sendiri. Bagaimana kita melepaskan anak untuk menuntut ilmu? Di saat yang sama, kita mendengar kisah kekerasan seksual dilakukan oleh guru mereka sendiri di sekolah ataupun oleh pengasuh pondok pesantren.
Kekerasan seksual yang terjadi di ranah komunitas tidak kalah mengerikan dari peristiwa ruang privat. Sekolah Tahfiz Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat, telah ditutup karena pemilik sekaligus pengajar HW (36 th) memperkosa santrinya selama kurun waktu 2016-2021. Para korban berusia 13-16 tahun, sebanyak 13 anak menjadi korban hingga melahirkan 9 bayi, ada satu korban yang hingga dua kali melahirkan.
Kasus ini terbilang sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pesantren di Indonesia yang 30.000-an pesantren. Namun, jika dilihat dari modus hitam yang tersimpan hingga lima tahun, artinya kondisi pengawasan di masyarakat sangat lemah, letak pesantren yang berada di tengah-tengah masyarakat sungguh mengejutkan dapat tertutup rapat, bahkan keluarga korban pun tidak tahu.
Kasus serupa terjadi di Tasikmalaya, seorang guru pesantren melakukan kekerasan seksual kepada sembilan santriwati, korban berusia 15-17 tahun. Kasus di Bandung dan Tasikmalaya makin menunjukkan, kedekatan dengan agama dan ritual ibadah ternyata tidak selalu dapat menahan seseorang dari perbuatan jahat yang sangat dibenci agama.
Sekolah yang kerap identik dengan bullying, ternyata juga menjadi ruang bagi kekerasan seksual. Kepolisian Resor Metro Depok menangkap MMS (52), seorang guru agama yang melakukan kekerasan seksual terhadap 10 murid perempuan berusia 10-15 tahun di Kemirimuka, Beji, Depok, Jawa Barat, pada Desember 2021. Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pelaku berinisial M (51 th) melakukan kekerasan seksual dengan mencabuli 15 siswi di sekolah (Kompas,11 Desember 2021).
Kasus berikutnya, tiga siswi yang sedang melakukan praktik kerja lapangan (PKL) di salah satu instansi mengalami kekerasan seksual dari pegawai honorer di Kelurahan Jombang, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Korban berusia 16 dan 17 tahun (Kompas, 17 Desember 2021).
Data kekerasan Komnas Perempuan membagi wilayah korban kekerasan seksual dengan tiga area, ranah personal (privat), yakni pelakunya orang yang memiliki hubungan darah; ayah, kakak, paman dan kakek; ataupun yang memiliki hubungan kekerabatan karena perkawinan, atau relasi intim dengan korban.
Kedua, ranah komunitas, yakni pelaku dengan korban tidak memiliki kekerabatan darah ataupun perkawinan, misalnya atasan, teman, tetangga, tokoh masyarakat, atau orang tidak dikenal. Ketiga, ranah negara jika pelakunya adalah aparatur negara yang seharusnya memberikan contoh kepada masyarakat sebagai abdi negara.
Kisah kekerasan seksual makin mengerikan jika melihat Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2021 yang menunjukkan pelakunya adalah orang yang sangat dekat dengan korban.
Data tahun 2020, angka kekerasan seksual terlihat lebih rendah dibandingkan pada 2019. Hal itu disebabkan laporan yang masuk hanya 16 persen dari 757 formulir yang dikirimkan Komnas Perempuan. Tahun 2020, angka kekerasan seksual mencapai lebih dari 2.945 kasus, dan lebih dari 60 persennya terjadi di ranah personal atau privat, dan kasus inses (hubungan seksual sedarah atau sekerabat) diketahui sebanyak 215 laporan.
Jenis kekerasan seksual tertinggi tahun 2020 adalah pencabulan 412, kekerasan berbasis jender siber 329, dan pemerkosaan 309. Sementara tahun 2019 ada sebanyak 4.898 kekerasan seksual dengan 57 persen terjadi di ranah privat.
Angka itu menunjukkan ruang pribadi menjadi area utama terjadinya kekerasan seksual dibandingkan dengan di ruang publik. Dapat dimengerti mengapa yang terbanyak di ruang privat karena peristiwa kekerasan terjadi biasanya pelaku memiliki kekuasaan atas korbannya, baik kekuasaan fisik maupun mental.
Jika dilihat dari peristiwa kejadian, tersebar di seluruh wilayah Indonesia, seperti di Aceh Besar, Luwu Timur, Padang, Palembang, Tanjungpinang, Pekanbaru, Tambusai, Rokan Hulu, Kotawaringin Barat, Sragen, Mojokerto, Malang, dan Bandung. Sebaran lokasi itu memperlihatkan persoalan kekerasan seksual sudah menjadi masalah nasional.
Korban kekerasan seksual mengalami kerentanan yang berlapis, mereka umumnya menutup diri, bahkan tidak melapor karena terkendala banyak hambatan. Wacana seksualitas yang dianggap tabu justru membuat korban enggan terbuka karena tidak terbiasa atau bahkan malu untuk menceritakan segala hal yang berkaitan dengan seksualitasnya.
Bayangkan, korban dalam kondisi sangat traumatik, lalu dicecar dengan beragam pertanyaan yang bersifat intimidatif di kepolisian, apalagi jika korbannya anak-anak, akan semakin ketakutan dan makin tertutup. Oleh karena itu, dibutuhkan aparat polisi yang terlatih dan para ahli yang mampu memahami situasi kejiwaan korban, serta membuat penyelidikan yang empatik bagi korban.
Perlindungan hak korban harus menjadi perhatian utama selain menghukum pelaku seberat-beratnya. Dampak pada korban dapat terjadi seumur hidupnya, karena korban hidup di bawah bayang-bayang trauma kekerasan seksual. (LITBANG KOMPAS)