Laporan Dana Kampanye Capres-Cawapres Belum Sesuai Realitas
Laporan dana kampanye tak mendetail karena hanya memuat sumber dan jumlah penerimaan serta pengeluaran dana kampanye sehingga menyulitkan pengawasan. Selain itu, tidak sesuai realitas.
JAKARTA, KOMPAS — Laporan dana kampanye tiga calon presiden dan wakil presiden belum sesuai realitas. Sejumlah pengeluaran untuk iklan kampanye yang diduga berasal dari sumbangan pihak ketiga belum dicatatkan dalam laporan.
Penelusuran oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan dirilis dalam acara diskusi bertajuk ”(Masih) Basa-Basi Dana Kampanye”, Rabu (20/12/2023), menemukan, sudah ada iklan kampanye di media sosial dari ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, ketiga pasangan belum melaporkannya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, KPU mendesain laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye bisa diperbarui setiap hari.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Perludem menelusuri iklan kampanye di Meta dalam rentan waktu 16 November hingga 15 Desember. Penelusuran itu menggunakan fitur Ad library dari Meta yang menampilkan konten iklan dan besaran biaya yang dikeluarkan oleh pengiklan. Pencarian iklan tersebut menggunakan kata kunci nama capres, nama cawapres, dan nama pasangan capres-cawapres. Periode penelusuran diambil karena laporan dana kampanye mulai dibuat pada 15 November sehingga seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye semestinya sudah dilaporkan.
Baca juga: Intensnya Capres-Cawapres ke Pesantren, Mengharap Restu ”Langit” dan Dukungan Suara
Hasil penelusuran menunjukkan, iklan kampanye di media sosial untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, selama satu bulan mencapai Rp 444 juta. Akun pengiklan berjumlah 15 akun yang diduga merupakan akun dari pendukung atau sukarelawan.
Adapun biaya iklan kampanye di media sosial untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mencapai Rp 778 juta. Akun pengiklan kampanye tersebut sebanyak 33 akun yang diduga akun kelompok pendukung atau sukarelawan. Bahkan ada satu akun pengiklan yang diduga merupakan badan usaha swasta.
Sementara iklan kampanye di media sosial untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mencapai Rp 829 juta. Iklan tersebut dibuat oleh 87 akun yang diduga merupakan akun pendukung atau kelompok sukarelawan.
Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz, mengatakan, iklan kampanye di medsos tersebut seharusnya dilaporkan sebagai sumbangan dari pihak ketiga, bisa dari perorangan, kelompok, ataupun perusahaan atau badan usaha. Sebab, akun yang mengiklan diduga bukan akun resmi dari pasangan capres-cawapres. Sumbangan tersebut mestinya dicatatkan sebagai sumbangan dalam bentuk barang atau jasa.
Baca juga: Temuan PPATK Jadi Data Pembanding Pengawasan Dana Kampanye
”Namun, dari LADK (laporan awal dana kampanye) yang ditampilkan di laman Sikadeka (laman resmi KPU) hingga hari ke-23 masa kampanye, sumbangan dari pihak ketiga dalam bentuk barang dan jasa dari pasangan capres-cawapres nomor urut 1, 2, dan 3 masih kosong,” ujarnya.
Kahfi mengatakan, seluruh sumbangan dana kampanye dalam bentuk uang, barang, ataupun jasa harus dilaporkan dalam laporan dana kampanye. Ketentuan di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur batas maksimal sumbangan, termasuk identitas penyumbang yang mesti jelas.
Lebih jauh, ia menyoroti LADK yang tidak mendetail karena hanya memuat sumber dan jumlah penerimaan serta pengeluaran dana kampanye. Laporan seharusnya menampilkan pihak-pihak yang memberikan sumbangan. Tanpa ada informasi yang jelas, publik ataupun Badan Pengawas Pemilu akan kesulitan mengawasi laporan dana kampanye.
Peneliti Perludem, Heroik M Pratama, menambahkan, ketidaksesuaian laporan dana kampanye merupakan salah satu masalah klasik pemilu di Indonesia. Laporan yang dibuat oleh peserta pemilu cenderung tidak mencerminkan realitas di lapangan. Sumbangan dari pihak ketiga juga sering tidak dicatat di laporan dana kampanye, padahal jumlahnya sangat banyak.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, mengatakan, peserta pemilu masih menganggap laporan dana kampanye hanya formalitas. Akibatnya, jumlah yang dilaporkan tidak mencerminkan penerimaan dan pengeluaran yang sesungguhnya. Padahal, laporan dana kampanye bisa menjadi salah satu referensi bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.
Selain itu, peserta pemilu seringkali mengeluhkan biaya politik yang mahal untuk memenangi kontestasi. Hal ini bisa menjadi pintu masuk bagi pebisnis untuk ”berinvestasi” ke pasangan capres-cawapres secara ilegal. Apalagi, temuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terkait transaksi mencurigakan tidak juga ditindaklanjuti oleh Bawaslu sehingga tidak ada jaminan dana yang digunakan untuk pemenangan adalah dana legal dan dilaporkan ke rekening dana kampanye.
Baca juga: Biaya Politik Caleg Hadapi Pemilu 2024 Membengkak
Secara terpisah, anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, pihaknya akan meningkatkan sosialisasi kepada peserta pemilu di berbagai tingkatan terkait peraturan mengenai dana kampanye. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa peserta pemilu mematuhi peraturan dana kampanye sekaligus memberikan kesadaran kepada publik yang ikut memberikan sumbangan dana kampanye. Sebab, seluruh sumbangan terikat batas maksimal dan tidak boleh berasal dari tindak pidana.