logo Kompas.id
Politik & HukumBiaya Politik Caleg Hadapi...
Iklan

Biaya Politik Caleg Hadapi Pemilu 2024 Membengkak

Biaya caleg mengarungi kontestasi di Pemilu 2024 diperkirakan lebih besar daripada pemilu sebelumnya. Nilainya miliaran.

Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
· 5 menit baca
Baliho kampanye sejumlah calon anggota legislatif terlihat di Jalan Walanda Maramis, Manado, Sulawesi Utara, Kamis (7/12/2023).
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Baliho kampanye sejumlah calon anggota legislatif terlihat di Jalan Walanda Maramis, Manado, Sulawesi Utara, Kamis (7/12/2023).

JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah calon anggota legislatif memprediksi biaya kampanye untuk bertarung pada Pemilu 2024 bakal lebih besar dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Ketatnya persaingan serta antisipasi kecurangan menjadi sejumlah faktor yang berpengaruh. Meski biaya kampanye tinggi tak bisa dihindari di tengah sistem pemilu proporsional terbuka, hal tersebut perlu ditekan dengan menggerus watak transaksional dalam kontestasi.

Besarnya biaya politik saat mengikuti pemilihan anggota legislatif (pileg) salah satunya diakui oleh Habiburokhman, anggota Fraksi Partai Gerindra di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan mengeluarkan biaya untuk kampanye hingga Rp 2 miliar saat berkontestasi di Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta I pada Pemilu 2019. Dari total dana tersebut, sebagian memang digunakan untuk membeli alat peraga.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Misalnya, pembelian kaus yang idealnya sama dengan jumlah pemilih. Di Dapil Jakarta I, kata Habiburokhman, ada sekitar 31.000 pemilih. Dengan hitungan sederhana, biaya pembelian kaus saja bisa mencapai Rp 3,1 miliar. Belum lagi ditambah dengan biaya pembuatan baliho dan alat peraga lain.

Kendati demikian, kata Habiburokhman, pembelian alat peraga itu bisa ditekan karena bisa digantikan dengan interaksi dengan para pemilih secara langsung. Ia yang baru pertama kali berkontestasi pada 2019 mengganti dengan mengintensifkan kunjungan ke rumah warga.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman (tengah), di Jakarta, Kamis (9/11/2023).
KURNIA YUNITA RAHAYU

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman (tengah), di Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Di luar itu, ada pembiayaan yang tak bisa ditawar, yakni biaya operasional para saksi untuk mengawal perolehan suara.

”Biaya paling besar yang keluar itu untuk mengawal suara, membiayai operasionalisasi saksi di kecamatan. Itu bisa mencapai Rp 1 miliar totalnya karena pengeluarannya sampai Rp 30 juta per hari,” kata Habiburokhman saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (7/12/2023).

Baca juga: Saksi Parpol, Ujung Tombak Pengawal Suara dalam Pemilu

Biaya besar untuk mengawal suara, ujar dia, tak bisa ditangguhkan. Peran para saksi sangat krusial di tengah potensi kecurangan pemilu yang belum bisa dihilangkan. Tidak hanya pada Pemilu 2019, tetapi juga pada Pemilu 2024.

Oleh karena itu, besarnya biaya yang akan dikeluarkan untuk kembali berkontestasi di Pileg 2024 diprediksi tidak akan berkurang dibandingkan dengan lima tahun lalu. Namun, ia tak merinci dana yang sudah dikeluarkan sepanjang pekan awal kampanye yang telah berlangsung sejak 28 November lalu. ”Menurut saya, lebih tinggi itu pasti. Harga nasi pada 2019 dengan 2024, kan, beda. Harga kaus juga,” kata Habiburokhman.

Warga berjalan di depan alat peraga kampanye caleg Pemilu 2024 di Jalan Matraman Raya, Jakarta, Rabu (6/12/2023).
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Warga berjalan di depan alat peraga kampanye caleg Pemilu 2024 di Jalan Matraman Raya, Jakarta, Rabu (6/12/2023).

Ia pun mengklaim jumlah dana kampanye yang dikeluarkan pun sering kali dianggap terlalu kecil. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan, sejumlah caleg lain umumnya mengeluarkan dana dalam rentang Rp 20 miliar-Rp 25 miliar. ”Tetapi, kan, biaya setiap orang itu berbeda-beda ya. Sangat mungkin juga ada yang jauh lebih kecil dari saya,” ungkap Habiburokhman.

Ia menilai, pembiayaan tinggi itu tak bisa dihindari di tengah sistem pemilu proporsional terbuka. Selain para caleg perlu berkontestasi secara individual, tidak ada pula larangan untuk berkampanye secara mandiri dengan pembiayaan sendiri. ”Mungkin itu bisa ditekan dengan cara, misalnya, dilarang menggunakan alat peraga selain yang dibuatkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum),” usul Habiburokhman.

Persaingan ketat

Tingginya biaya kampanye juga diakui oleh Trimedya Panjaitan, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang kembali menjadi caleg di Dapil Sumatera Utara II pada Pemilu 2024. Ia memprediksi, total dana kampanye yang akan dikeluarkan mencapai lebih dari Rp 3 miliar, total jumlah dana kampanye dirinya pada Pemilu 2019.

”(Pada 2024) ini akan lebih berat karena persaingan internal, eksternal, karena semua partai politik (parpol) mengeluarkan kader-kader terbaiknya. Misalnya, di Dapil Sumatera 2, akan ada dua mantan bupati yang jelas basis suaranya,” ungkap Trimedya.

Baca juga: Caleg Tandem, Simbiosis Mutualisme demi Gaet Suara Pemilih

Iklan
Trimedya Panjaitan
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI

Trimedya Panjaitan

Ia mengungkapkan, biaya yang besar itu umumnya diperlukan untuk mendekati konstituen. Setiap agenda pengumpulan masyarakat untuk mendengarkan visi dan misi yang akan dibawa membutuhkan pembiayaan operasional. Mulai dari memberikan konsumsi hingga uang saku kepada warga.

Apalagi Pemilu 2024 bakal dilaksanakan secara serentak. Para caleg di lapangan tidak hanya harus mengampanyekan dirinya sendiri, tetapi juga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari parpol asal beserta koalisinya. Tidak bisa dimungkiri, itu juga bakal menambah biaya logistik serta operasional saat bertemu dengan konstituen. ”Pidato kita, kan, dari yang tadinya 10 menit bisa jadi 15 menit,” ungkap Trimedya.

Sama halnya dengan Habiburokhman, Trimedya juga mengklaim bahwa total dana kampanye yang ia keluarkan tak sebesar caleg-caleg lain. Hal itu bisa dilakukan karena telah memiliki basis massa serta modal sosial yang kuat di tengah konstituen. Trimedya sudah menjadi anggota DPR sejak Pemilu 2004.

”Saya sudah punya nama, sering diwawancara media, sering turun ke lapangan. Kalau yang pendatang baru, itu jauh lebih berat,” ungkapnya.

Baca juga: Rahasia Caleg Modal Cekak Menembus Parlemen

Para petugas memeragakan penyiapan kotak suara dalam Simulasi Bongkar Muat, Sortir, Lipat, dan Pengepakan Logistik Pemilu Tahun 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para petugas memeragakan penyiapan kotak suara dalam Simulasi Bongkar Muat, Sortir, Lipat, dan Pengepakan Logistik Pemilu Tahun 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2023).

Menurut Trimedya, tingginya biaya kampanye itu belum bisa ditekan meski teknologi informasi kian berkembang. Idealnya, kampanye caleg bisa mengoptimalkan penggunaan media sosial untuk menjangkau seluruh pemilih. Akan tetapi, belum meratanya akses serta literasi digital warga, khususnya di dapilnya, membuat penggunaan teknologi belum bisa dimaksimalkan untuk berkampanye.

Politik transaksional

Di tengah situasi itu, ia juga melihat kecenderungan masyarakat yang transaksional. Dengan kecenderungan itu, budaya korupsi yang mengiringi penyelenggaraan pemilu berbiaya tinggi tidak bisa dihindarkan. ”Ini yang harus kita terus sadarkan kepada masyarakat, kalau mau negara ini bersih, rakyat juga harus sadar, jangan transaksional,” kata Trimedya.

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, politik berbiaya tinggi memang tidak bisa dilepaskan dari praktik politik transaksional antara caleg dan pemilih. Hal itu dinilai terjadi di ruang gelap yang tidak terjangkau akuntabilitas dana kampanye. Oleh karena itu, pengakuan soal besarnya dana kampanye yang dibutuhkan untuk memenangi pemilu umumnya tidak pernah tergambarkan dalam laporan yang dibuat para caleg untuk parpol asal mereka masing-masing.

Kendati demikian, menurut Titi, tingginya biaya kampanye sebenarnya bisa ditekan dengan penggunaan media sosial. Dengan bantuan teknologi, jangkauan pemilih bisa lebih luas dan masif walau dengan biaya lebih ringan.

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (13/11/2023).
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (13/11/2023).

”Selain itu, penggunaan struktur partai dan dukungan dari kader partai semestinya bisa mempermudah gerak caleg untuk menjangkau pemilih. Memang di tengah sistem pemilu proporsional terbuka semestinya partai tidak lepas tangan. Partai juga perlu mengonsolidasikan struktur dan kader untuk terlibat dalam kerja pemenangan caleg,” ujarnya.

Lebih dari itu, upaya untuk membangun dan membina relasi politik dengan kelompok berbasis massa kuat juga diperlukan. Misalnya, organisasi kemasyarakatan keagamaan, kelompok perempuan, kepemudaan, atau perkumpulan profesi juga dapat membentuk keterikatan yang kuat antara pemilih dan caleg. Langkah itu bisa jadi alternatif untuk menghindari politik transaksional

Transaksi mencurigakan

Kecenderungan politik transaksional di tengah pemilu berbiaya tinggi tidak bisa dilepaskan dari potensi penggunaan dana secara tidak sah. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengakui, pihaknya melakukan pengawasan terhadap transaksi keuangan mencurigakan sejak masa kampanye dimulai. Meski tidak merinci hasilnya, ia menyebutkan ada banyak temuan terkait hal tersebut.

”Peningkatan pelaporan menjadi sangat masif saat ini. Kami menemukan kerawanan khususnya pada transaksi keuangan tunai,” kata Ivan, Kamis.

Baca juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/11/2023).
KOMPAS/NINA SUSILO

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/11/2023).

Pada September lalu, Ivan juga menjelaskan bahwa PPATK mengawasi ketat aliran dana kampanye Pemilu 2024. Pengawasan itu diperlukan karena PPATK masih menemukan peserta pemilu yang tidak memenuhi aturan yang ada di Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye. Salah satu indikasinya adalah adanya transaksi yang dilakukan di luar rekening khusus dana kampanye (Kompas, 16/9/2023).

Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000