Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik
Jasa konsultan politik kian dibutuhkan menjelang pemilu. Berbasis survei, peserta pemilu tak perlu menghadapi pemilu seperti menembus belantara hutan. Strategi memikat pemilih lebih mengena, kans terpilih lebih besar.
Pemilu Legislatif 2014 jadi pelajaran berharga bagi Taufik Basari. Pola kampanye yang sporadis, termasuk isu yang dibawanya, membuat mantan aktivis hak asasi manusia dan penggiat antikorupsi ini gagal terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan DKI Jakarta I. Setelah kandas pada 2014, ia pun langsung menatap Pemilu Legislatif 2019. Kini, dengan strategi berbeda, berbasis saintifik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Setelah Pemilu 2014, Partai Nasdem yang menjadi ”kendaraan” politik Taufik mulai mengintensifkan basis saintifik sebagai dasar partai melangkah. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015 jadi batu uji pertama. Sokongan Nasdem pada calon kepala/wakil kepala daerah banyak bertumpu pada hasil survei oleh lembaga survei. Hasilnya memuaskan, banyak calon yang disokong Nasdem memenangi kontestasi. Strategi serupa pun diulang pada pilkada serentak gelombang berikutnya, yakni Pilkada 2017 dan 2018, dengan capaian yang juga memuaskan.
Berkaca pada hal tersebut, Nasdem menjadikan survei sebagai salah strategi utama dalam menghadapi tak hanya pilkada, tetapi juga pemilu legislatif (pileg) dan presiden. Tidak hanya partai yang secara berkala meminta jasa lembaga survei, tetapi juga mereka yang ingin maju di pileg didorong untuk melakukan hal yang sama. Tak lain karena hasil dari survei akan membuat pendekatan hingga strategi yang diterapkan tepat sasaran. Tidak asal buang energi, waktu, atapun biaya dalam meyakinkan pemilih.
Tak terkecuali Taufik Basari. Tak ingin kembali gagal untuk kedua kalinya di Pileg 2019, Taufik sudah mempelajari hasil survei untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Lampung I (meliputi Kabupaten Lampung Selatan, Bandar Lampung, Metro, Pesawaran, Pringsewu, Tanggamus, Pesisir Barat, dan Lampung Barat), tempatnya berkontestasi, jauh-jauh hari sebelum masuk tahapan pemilu.
Baca juga: Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol
Penentuan Taufik untuk masuk dalam Dapil Lampung I juga berbasiskan survei dari lembaga survei yang disewa oleh Nasdem. Menjelang Pemilu 2019, Nasdem telah memiliki data hasil survei 80 dapil untuk pemilihan anggota DPR pada 2019. Hasil survei jadi dasar Nasdem untuk menentukan figur yang akan maju di setiap dapil berikut nomor urutnya.
”Berkaca pada hasil survei, Lampung I itu masyarakatnya plural sehingga siapa pun bisa terpilih, tak harus orang yang dari Lampung I. Berkaca pada hasil survei itu juga, ada problem-problem masyarakat yang terkait advokasi yang saya lakukan saat masih di YLBHI. Saya dinilai ada peluang untuk terpilih di situ, maka saya masuk di sana,” katanya.
Setelah diputuskan maju dari Dapil Lampung I, ia langsung bergegas mencermati hasil survei pilkada kabupaten/kota di Dapil Lampung I yang pernah diminta Nasdem dari lembaga survei. Karakteristik masyarakat di setiap wilayah dipetakannya hingga isu yang jadi perhatian masyarakat dan pendekatan yang tepat untuk memikat simpati publik. Tak cukup hanya itu, ia juga rajin meminta hasil survei dapil yang dilakukan lembaga survei yang disewa Nasdem, khususnya Dapil Lampung I. Selain itu, ia juga secara berkala menyewa lembaga survei untuk Dapil Lampung I.
”Setidaknya tiga kali saya bekerja sama dengan lembaga survei menjelang Pemilu 2019. Sekali sebelum tiba masa kampanye, kemudian dua lainnya saat masa kampanye,” ujarnya.
Baca juga: Pindah Partai Politik, Kursi Tak Hilang
Hasil kompilasi semua hasil survei itu lantas dipadukannya dengan data lainnya. Data lain, seperti pemetaan yang dilakukan Badan Pusat Statistik untuk kabupaten/kota di Lampung I. Kemudian, data dikompilasikan pula dengan menggali langsung informasi dari tokoh masyarakat di kabupaten/kota yang masuk Dapil Lampung I.
”Jadi, hasil survei, meski bisa jadi pegangan, harus punya kemampuan untuk mengelaborasi data lainnya dan juga riset langsung ke lapangan. Apalagi jika hasil dari survei itu hanya menangkap pemetaan secara umum di satu kabupaten atau kota,” ujarnya.
Dengan menggenggam semua data tersebut, barulah Taufik menyusun strategi. Misalnya, memfokuskan kampanye di kawasan tertentu di Lampung I yang berpeluang menyumbang suara. Menentukan isu yang dibawanya saat bertemu masyarakat sehingga selaras dengan kebutuhan ataupun persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Begitu pula jenis pendekatannya agar senafas dengan yang menjadi budaya masyarakat setempat.
”Jadi, saya tidak seperti masuk rimba belantara. Saya masuk setelah mengenal betul-betul daerah tersebut,” ujarnya.
Hasilnya, Taufik yang bukan kelahiran kabupaten/kota di wilayah Dapil Lampung I, belum pernah pula menetap lama di dapil itu, bisa terpilih pada Pemilu 2019. Ia kini bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat Lampung I di Senayan, Jakarta, tempat anggota MPR/DPR berkantor. Ia duduk di Komisi III DPR yang membidangi persoalan hukum dan hak asasi manusia.
Untuk Pemilu 2024, strategi berbasis hasil survei itu pun akan kembali diterapkan. Sebelum masuk tahapan pendaftaran caleg tahun depan, Nasdem menargetkan telah memiliki hasil survei untuk semua dapil. Ini akan kembali jadi dasar untuk menentukan caleg yang bertarung di suatu dapil berikut nomor urutnya. Dan sama seperti 2019, hasil survei akan digunakan oleh partai dan caleg untuk menerapkan strategi yang tepat dalam meyakinkan pemilih. Tak hanya itu, setiap caleg juga akan didorong untuk melakukan surveinya sendiri-sendiri agar strategi tepat sasaran.
”Strategi elektabilitas harus punya ukuran yang obyektif, valid, dan akuntabel. Tidak bisa berdasarkan feeling. Riset saintifik itu juga penting agar tidak ditipu tim sukses. Informasi tim sukses bisa diuji dengan data yang kita miliki,” ujar Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai Nasdem ini.
Basis saintifik itu pula jadi salah satu hal yang membawa Nasdem mencatatkan peningkatan elektabilitas pada Pemilu 2019. Dari jumlah 6,72 persen suara dan 36 kursi DPR pada Pemilu 2014 menjadi 9,05 persen suara dan 59 kursi DPR pada Pemilu 2019. ”Bisa jadi dengan basis saintifik, yakni hasil survei, membuat optimal capaian Nasdem. Tapi, itu hanya salah satu faktor saja. Faktor keberhasilan itu banyak. Kinerja dari kandidat dan partai, faktor lainnya,” kata Taufik.
Baca juga: Adaptasi Partai Politik untuk Membidik Pemilih Muda
Tak hanya Taufik dan Nasdem, politisi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun, yang berulangkali terpilih dalam pileg sejak 2009 dari Dapil Jawa Timur II (Kota dan Kabupaten Pasuruan serta Kota dan Kabupaten Probolinggo) juga menggunakan jasa konsultan politik untuk memandu strategi pemenangan dalam pemilu. Ia mengaku telah menggunakan jasa itu sejak menghadapi Pileg 2009. Ia pun berencana menggunakan jasa itu kembali menghadapi Pileg 2024.
”Melalui survei, saya bisa memahami perilaku masyarakat di dapil saya, pilihan politik mereka, bahkan hingga minat masyarakat sehingga saya tidak keliru dalam membuat strategi, seperti masyarakat di area mana yang perlu lebih intens didekati, caranya seperti apa, dan isu yang dibawa saat bertemu mereka,” kata anggota Komisi IV DPR ini.
Dari pemilu ke pemilu, survei oleh konsultan politik kian berperan penting sebagai panduan pemenangan parpol ataupun caleg dalam pileg. Hal ini mulai marak terlihat menjelang Pemilu 2019 dan sudah mulai terlihat saat ini meski gelaran pemilu masih tersisa sekitar dua tahun lagi. Kekuatan hasil survei yang telah terbukti bisa jadi pemandu dalam mendulang suara menjadi daya pikat utama.
Jasa konsultan politik
Salah satu konsultan politik yang kerap disewa parpol, caleg, atau peserta pemilu lainnya adalah Charta Politika. Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyebutkan, khusus untuk pemilu legislatif, rata-rata lembaganya diminta untuk menyurvei dua kali. Biasanya survei dilakukan saat masa kampanye. Namun, ada pula yang meminta jauh hari sebelum pemilu. Biasanya hasil survei ini dijadikan dasar untuk penentuan caleg yang akan diusung oleh partai di pemilu.
”Untuk jumlah berapa kali survei ini, ya, tergantung dari ketersediaan dana dari calon peserta pemilu,” kata Yunarto.
Pemetaan wilayah melalui survei menjadi salah satu favorit calon peserta pemilu. Dari survei, di antaranya, bisa dipetakan perilaku pemilih di dapil tertentu, pengenalan masyarakat atas peserta pemilu, hingga peta persaingan antarpeserta pemilu. Untuk memperbesar kans peserta pemilu meraih targetnya, survei secara berkala penting. Jadi, sejauh mana kinerja peserta pemilu bisa diukur dari satu survei ke survei lainnya. Kelemahan yang ada, misalnya, bisa diperbaiki. Begitu pula area yang perlu lebih intens didekati, strateginya, hingga isu yang perlu dibawa saat bertemu calon pemilih.
Seberapa banyak sampel dan kian mikro cakupan wilayah yang disurvei pun bisa membuat hasil survei lebih presisi. Namun, konsekuensinya otomatis berimplikasi pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
”Kebanyakan meminta survei untuk memetakan provinsi atau kabupaten/kota. Jadi, bisa diketahui pemetaan masyarakat satu tingkat di bawahnya, kalau provinsi bisa terlihat peta masyarakat di kabupaten/kota di bawahnya, juga untuk kabupaten/kota bisa ketahuan pemetaan setiap kecamatan. Namun, pernah ada pula yang meminta memetakan sampai kecamatan sehingga terlihat peta di setiap desa atau kelurahan. Itu hasilnya lebih banyak membantu peserta pemilu, tetapi ya biayanya jadi besar karena sampel survei diambil dari masyarakat di kecamatan-kecamatan,” ujarnya.
Baca juga: Taktik Partai Menarik Simpati, dari Isu Lingkungan hingga Kekerasan Seksual
Hal lain yang patut jadi perhatian, waktu dari pelaksanaan survei. Jika memang tujuannya agar terpilih di pileg atau agar elektabilitas parpol meningkat, akan lebih baik jika survei dilakukan ketika peta persaingan sudah jelas. Untuk calon anggota DPR contohnya, setelah keluar daftar calon anggota DPR sementara atau bahkan setelah ditetapkan KPU.
Jika mengacu pada rancangan jadwal tahapan Pemilu 2024 yang telah disusun KPU, tahapan penetapan daftar caleg ini akan tiba waktunya pada Oktober 2023. Adapun tahapan pengajuan daftar caleg ke KPU berlangsung dari Mei hingga Juni 2023.
Selain jasa pemetaan wilayah, menurut Yunarto, jasa monitoring juga kerap digunakan peserta pemilu. ”Artinya, kita mendampingi peserta pemilu terus, dan melakukan monitoring terhadap apa yang mereka lakukan ataupun tim sukses lakukan, kemudian dievaluasi, dan kami berikan masukan,” ujarnya.
Di luar kedua jasa itu, lanjut Yunarto, ada pula konsultan politik yang memosisikan lembaganya turut masuk ke wilayah mobilisasi atau ikut membantu pemenangan dari peserta pemilu.
Mobilisasi dimaksud seperti ikut kampanye dari pintu ke pintu memengaruhi pemilih, membuat aplikasi khusus untuk memonitor pergerakan tim sukses, mendesain acara-acara pemenangan kandidat, merekrut dan melatih sukarelawan pendukung peserta pemilu, menciptakan opini publik untuk mendukung peserta pemilu tertentu, hingga ikut menebar kampanye negatif. ”Kampanye negatif ya, bukan kampanye hitam. Kampanye negatif, kan, menjadi salah satu ciri khas negara demokrasi. Kalau kampanye saling memuji, ya, ngapain kampanye,” ujarnya.
Mengenai ongkos untuk menyewa jasa konsultan politik, Yunarto tak mau mengungkapkannya.
Namun, dari informasi yang Kompas peroleh, khusus bagi caleg, bisa mencapai Rp 5 miliar. Ini jika mereka mengambil paket lengkap, dari pemetaan, monitoring, hingga mobilisasi. Jika sebatas survei, bisa berkisar Rp 150 juta hingga 500 juta per dapil. Tinggi rendah tarif salah satunya tergantung dari lokasi dapil. Kemudian jika ditambah jasa monitoring, kocek lebih dalam harus disiapkan karena biayanya bisa berkisar Rp 100 juta hingga Rp 300 juta per bulan. Rata-rata jasa monitoring ini enam bulan lamanya. Selain tergantung dari lokasi dapil, tarif tergantung dari seberapa intens konsultasi. Adapun untuk jasa mobilisasi, bisa ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Lembaga survei kredibel
Berdasarkan data Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), saat ini tercatat 50 lembaga survei yang ada di Tanah Air. Anggota Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, menjelaskan, tidak semua lembaga survei diterima menjadi anggota Persepi. Ada syarat yang harus dipenuhi jika lembaga tersebut ingin menjadi anggota Persepi, seperti legalitas lembaga tersebut secara hukum, memiliki kantor yang jelas, peneliti-penelitinya memiliki rekam jejak yang baik dan berkualifikasi, serta metodologi penelitiannya terjaga.
”Jadi, enggak semua yang apply, lalu kami iyakan jadi anggota, enggak. Banyak juga yang kami tolak. Tujuan kami mendirikan Persepi ini, kan, supaya kita bisa menjaga marwah dari lembaga survei. Jadi, enggak abal-abal. Kalau dia anggota, kami bisa awasi. Kalau dia nakal, kami bisa semprit. Kalau dia perlu dididik, kami bisa didik. Dengan begitu, mutunya terjaga terus,” ucap Hamdi.
Baca juga: Adu Siasat Partai Politik, dari Isu Populis hingga ”Big Data” Pemilih
Hamdi tak memungkiri ada lembaga riset abal-abal yang bisa dibayar untuk memanipulasi data. Misalnya, menaikkan elektabilitas caleg, calon kepala daerah, atau partai yang memesannya. Hasil riset abal-abal itu pasti bertolak belakang dengan hasil riset yang dikeluarkan oleh anggota Persepi.
Namun, Dewan Etik Persepi tidak bisa mengawasi lembaga survei abal-abal itu karena mereka bukan merupakan anggota Persepi. Berbeda, jika lembaga itu menjadi bagian dari Persepi. Mereka harus patuh pada kode etik Persepi. Artinya, tidak boleh sampai ada manipulasi data karena itu justru akan mempertaruhkan reputasi mereka.
”Kalau lembaga survei yang kredibel, dia tidak mau tuh disuruh memanipulasi data, gede-gedein elektabilitas calon tertentu, misalnya, enggak mau. Sebab, taruhannya reputasi. Mereka tidak mungkin menggadaikan kredibilitasnya hanya untuk tergiur uang ratusan juta sesaat dan itu merusak reputasinya seumur hidup. Kan, kerjanya masih panjang lembaga survei,” kata Hamdi.
Menurut Hamdi, lembaga survei yang kredibel akan berpegang pada metodologi ilmiah yang ketat. Mereka tidak mungkin asal-asalan membuat survei karena hasil survei tersebut justru akan sangat berguna bagi pemesan survei untuk membaca situasi sosial-politik yang sebenarnya, apa pun hasilnya. Jika data itu dimanipulasi, justru akan menjadi bumerang bagi pemesan survei tersebut, selain tentu juga bumerang bagi lembaga surveinya.
”Itu, kan, bagian dari strategi untuk pemenangan pemilu, untuk menyusun tema kampanye, dan seterusnya, tentu dia harus tahu potret sebenarnya dari konstituennya. Namanya dia ikut kontestasi, dia harus tahu dong basis pemilihnya di mana, berapa persen dia bakal dapat suara di sana, dan lain-lain. Untuk itu, jasa profesional kami sangat dibutuhkan dan kami harus jaga etika riset itu,” kata Hamdi. (APA)