Pindah Partai Politik, Kursi Tak Hilang
Jelang pemilu, kerap terlihat anggota DPR pindah parpol untuk maju pemilu dengan parpol barunya. Pembajakan anggota DPR bahkan jadi strategi parpol. Padahal agar terpilih lagi setelah ”migrasi”, tidak mudah.

Bendera partai politik peserta pemilu serentak 2019 menghiasi jalan layang Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2019).
Menjelang Pemilu 2024, kabar partai politik melobi anggota legislatif dari partai lain untuk bergabung sudah santer terdengar. Fenomena pindah partai anggota legislatif yang terlihat pada pemilu sebelumnya pun berpotensi terulang. Padahal, maju dengan partai berbeda di pemilu bukan perkara mudah. Tak cukup sebatas mengandalkan popularitas.
Kisruh di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pasca-Pemilu 2014 seolah tak berujung. Kedua kubu kepengurusan saling klaim, bahkan saling gugat di meja hijau, yang tak pelak turut membelah akar rumput pendukung partai berlambang Ka’bah tersebut.
Gusar dengan kondisi itu, Achmad Dimyati Natakusumah berpikir untuk mengakhiri karier politiknya bersama PPP. Terlebih putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung telah memenangkan kubu kepengurusan di bawah kepemimpinan Romahurmuziy yang berseberangan dengan kubu Djan Faridz tempat Dimyati berlabuh.
”Saya harus hijrah dari PPP,” tuturnya saat ditemui di ruangannya di Gedung DPR, Jakarta, akhir Maret lalu.
Baca juga: Jatuh Bangun Caleg Pendatang Baru Menembus Parlemen

Anggota DPR dari Fraksi PKS, Achmad Dimyati Natakusumah.
Niat tersebut akhirnya diwujudkan pada akhir 2017. Pria kelahiran Tangerang yang kini berusia 55 tahun itu memutuskan meninggalkan PPP meski telah bersama partai tersebut sejak sekitar tahun 2000. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lantas dipilih sebagai kendaraan politik barunya.
Melihat karier politik Dimyati yang gemilang, di antaranya menjabat Bupati Pandeglang (2000-2009) dan terpilih anggota DPR dari PPP pada Pemilu 2009 dan 2014, PKS pun tak menyia-nyiakannya. Menjelang Pemilu 2019, Dimyati dimasukkan dalam daftar calon anggota DPR dari PKS. ”Saya diminta Ketua Majelis Syura PKS Habib Salim Segaf Al’Jufrie kembali ke Pandeglang,” kenang Dimyati. Kabupaten Pandeglang saat Pemilu 2019 masuk dalam Daerah Pemilihan (dapil) Banten I bersama Kabupaten Lebak.
Keputusan ini otomatis membuat Dimyati menghadapi ujian berlipat. Ia harus kembali ke dapil yang telah ditinggalkannya sejak Pemilu 2014 karena saat itu ia maju dari dapil DKI Jakarta III (Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu). Ujian kedua, ia kembali ke dapil tersebut dengan ”baju” baru, PKS. Ujian ini kian berat karena PKS belum pernah memperoleh kursi DPR dari dapil itu.
Maka setelah diputuskan maju di dapil Banten I, Dimyati mau tak mau harus kembali intens mengenalkan diri berikut partai barunya, ke masyarakat di Banten I. Untungnya, rekam jejaknya saat masih menjabat Bupati Pandeglang dan anggota DPR dari dapil Banten I saat Pemilu 2009 masih diingat masyarakat. Ia tinggal membangkitkan memori publik ini dan mengarahkan mereka agar memilihnya dan PKS di Pemilu 2019.

Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Salim Segaf Aljufrie (tengah) bersama Presiden PKS Ahmad Syaikhu (sebelah kanan Salim) dan para pengurus pusat PKS Periode 2020-2025 menyapa peserta Munas ke V PKS di Bandung, Jawa Barat, Minggu (29/11/2020).
Lama malang melintang di Banten I juga membuatnya paham betul peta politik serta karakteristik masyarakat setempat. Dengan demikian, ia tahu mana yang harus diprioritaskan didekati untuk mendulang suara. Untuk ini, ia tak bergerak sendiri, apalagi dengan luasnya wilayah Pandeglang dan Lebak. Ia memilih tokoh-tokoh setempat yang memang berpengalaman dan punya pengaruh untuk bergabung dalam tim suksesnya.
”Ketika pindah dapil harus beda timnya karena harus orang setempat yang dikenal dan ditokohkan, seperti tokoh agama, pemuda, masyarakat, perempuan,” ujar Dimyati.
Tak hanya itu, ia membaca betul manuver yang dilakukan kompetitornya, baik caleg dari PKS maupun dari parpol lain. Dengan caleg dari PKS, ia berbagi wilayah yang didekati dalam dapil Banten I, bahkan kerap kampanye bersama dengan calon anggota DPRD provinsi atau kabupaten/kota dari PKS. Adapun menghadapi caleg dari parpol lain, Dimyati memilih menghindari area tertentu yang telah dimasuki oleh caleg parpol lain dan mencari wilayah yang masih longgar kontestasinya.
Kerja-kerja itu berbuah hasil. Saat hasil Pemilu 2019 diputuskan, PKS untuk pertama kalinya meraih kursi DPR dari Banten I. Kursi itu diraih oleh Dimyati.
Baca juga: Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu

Anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Tebar spanduk
Selain Dimyati, Mukhamad Misbakhun (51) juga harus menempuh jalan yang tidak mudah agar bisa kembali ke Senayan pada Pemilu 2014. Meski terpilih sebagai anggota DPR dari PKS pada Pemilu 2009, di tengah jalan, karier politiknya bersama PKS kandas. PKS memutuskan mengganti Misbakhun dengan kader PKS lainnya sebagai wakil rakyat dari dapil Jawa Timur II (Kota dan Kabupaten Pasuruan serta Kota dan Kabupaten Probolinggo) pada 2011.
Tak ingin karier politiknya berhenti, Misbakhun melanjutkan petualangan politiknya bersama Partai Golkar. Menghadapi Pemilu 2014, ia pun menyatakan kesiapan jika diajukan sebagai salah satu caleg Golkar. Golkar yang saat itu dipimpin Aburizal Bakrie menyambut kesiapan Misbakhun tersebut. Begitu pula keinginannya agar kembali berkontestasi di dapil Jawa Timur (Jatim) II.
”Saya disuruh pilih nomor urut tetapi saya serahkan keputusan itu ke Golkar. Yang penting saya boleh tetap di dapil yang lama. Akhirnya saya diberi nomor urut lima,” ujarnya.
Meski nomor urutnya di surat suara tak strategis, ia yakin bisa terpilih asalkan tetap berkontestasi di Jatim II. Sebab, sejak terpilih di Pemilu 2009, ia rajin merawat relasi dengan konstituennya di Jatim II sehingga tingkat pengenalan masyarakat padanya dinilai baik. Ia juga sudah paham betul peta politik dan karakteristik masyarakat di daerah tersebut.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun (kanan), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/6/2017).
Namun tetap saja, keyakinan itu harus dibarengi kerja-kerja di lapangan. Ini terutama untuk memberi tahu masyarakat bahwa ia sudah tak lagi dengan PKS. Untuk itu, kerja-kerja pertamanya seputar itu. Salah satunya, menebar ribuan spanduk dan baliho bergambar dirinya dengan logo Golkar di sampingnya.
”Begitu saya diputuskan maju dari Golkar dan tetap di dapil saya, tahun 2012 itu, saya langsung pasang gambar Golkar dan foto saya di banyak daerah. Itu saja, tulisannya, Misbakhun sudah di Golkar, sekarang saya Golkar,” tuturnya.
Setidaknya selama setahun promosi melalui spanduk dan baliho di ruas-ruas jalan utama hingga jalan-jalan desa di empat daerah di Jatim II digencarkan. Bersamaan dengan itu, ia gencar bergerilya menjumpai berbagai tokoh masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, bahkan masyarakat langsung.
Ia juga petakan potensi pemilihnya di setiap wilayah. Basis pendukung terkuat jadi fokus perhatiannya. Selain itu, ia pun memetakan karakteristik juga kebutuhan masyarakat di setiap wilayah, sebagai dasar strategi pendekatan yang tepat untuk meraih simpati yang bisa berujung ke suara baginya dan Golkar.
Baca juga: Hadiah Paket Data hingga “Rebranding”, Kiat Parpol Ikut Pemilu 2024

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto
Untuk melakukan semua kerja-kerja itu, ia tak sendirian. Ia kembali menggandeng mesin politiknya saat masih di PKS. Tim suksesnya tersebar sampai ke desa-desa, terutama desa yang menjadi basis suara Misbakhun.
”Saran saya kalau pindah partai, tetap di dapil yang sama karena infrastruktur tim masih ada, kecuali kita ada masalah di dapil itu,” ujarnya. Di Pemilu 2014, ia berhasil terpilih dari dapil Jatim II. Begitu pula di Pemilu 2019.
Strategi parpol
Perpindahan anggota legislatif dari satu parpol ke parpol lain, seperti halnya Dimyati dan Misbakhun, sudah kerap terlihat dari pemilu ke pemilu. Perpindahan kerap dipicu oleh problem yang terjadi di internal parpol. Namun, di luar itu, ada pula parpol yang menjadikannya sebagai bagian dari strategi mendulang suara dan kursi seperti tampak pada Pemilu 2019.
Catatan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Pemilu 2019, dari 31 anggota DPR yang memutuskan pindah parpol, 20 orang di antaranya memutuskan pindah ke Partai Nasdem. Sebelas lainnya tersebar ke enam parpol, yakni Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), PKS, dan Partai Berkarya.

Sejumlah pesohor turut mengantar sejumlah perwakilan pimpinan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memasukkan berkas dan mendaftarkan calon anggota legislatifnya untuk Pemilu 2019 di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Jakarta, Senin (16/7/2018).
Saat itu, beberapa anggota DPR mengaku didekati elite Nasdem untuk menjadi caleg Nasdem di Pemilu 2019. Bahkan sempat berembus kabar adanya biaya tertentu yang diberikan pada anggota DPR yang mau pindah. Ini mengindikasikan pembajakan anggota DPR dari parpol lain dijadikan strategi Nasdem untuk mendulang suara dan kursi di pemilu. Namun, fungsionaris Nasdem, Willy Aditya, membantah tudingan itu, termasuk soal biaya transfer politisi. Menurut dia, banyaknya kader partai lain yang gabung ke Nasdem karena program nyata Nasdem, (Kompas, 19/7/2018).
Terlepas dari hal itu, tak semuanya lantas mulus jalannya untuk terpilih kembali. Dari jumlah 31 anggota DPR itu, hanya tujuh anggota DPR yang berhasil terpilih kembali.
Baca juga: ”Dunia Hitam” Pasca-pemungutan Suara Pemilu
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengatakan, pemilihan dapil sangat menentukan keberhasilan caleg untuk bisa mengamankan kursi meski berpindah parpol. Dapil sebaiknya tidak dipindah atau kalaupun harus pindah, caleg tersebut hendaknya pernah memiliki rekam jejak yang baik di dapil yang dituju.
Keberhasilan juga sangat ditentukan oleh sejauh mana investasi politik yang telah dibangun di dapil itu. Jika rekam jejaknya di dapil itu buruk, misalnya anggota legislatif petahana tidak pernah menyapa konstituen di dapilnya, bisa jadi kans keterpilihannya juga kecil. Sebaliknya, jika rekam jejaknya baik, publik tak peduli jika figur itu pindah parpol. Figur itu bahkan bisa jauh lebih memikat daripada parpol pengusungnya.

Pelipatan surat suara calon anggota DPR dalam Pemilu 2019 di GOR Kebon Jeruk, Jakarta, Sabtu (2/3/2019).
Mengenai pemilihan parpol, sebaiknya memiliki ideologi yang mirip dengan parpol sebelumnya. Parpol yang dipilih pun sebaiknya bukan parpol yang kaderisasinya relatif baik karena biasanya parpol itu telah memiliki kandidat potensial.
Menjelang Pemilu 2024, sudah santer terdengar parpol mendekati anggota legislatif petahana parpol lain untuk maju menjadi caleg parpol itu. Sama seperti di 2019, migrasi anggota legislatif jadi strategi parpol mendulang suara dan kursi. ”Saya kira ini strategi parpol untuk merebut kursi, memberikan kepastian dibanding merekrut orang baru yang belum jelas pengalaman politiknya dan kader yang belum populer sehingga caleg petahana dari parpol lain lebih memberikan kepastian secara politik,” ujar Arya.
Baca juga: Cek Ombak Dahulu, Arungi Lautan Pilpres Kemudian
Namun, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, mengingatkan, praktik ”pembajakan” anggota legislatif bisa berimbas buruk pada demokrasi dan kaderisasi di parpol. Fungsi kaderisasi parpol bisa jadi terhambat karena parpol lebih memilih figur yang sudah ”jadi” dari parpol lain untuk pemilu. Demokrasi di parpol juga menjadi tersumbat karena tak ada ruang bagi kader parpol yang dididik dari nol untuk bisa berkontestasi.
Praktik itu pun menunjukkan kian suramnya ideologi partai. Parpol yang dibentuk untuk memperjuangkan nilai-nilai tertentu, kini lebih pragmatis mengejar kekuasaan sehingga tak peduli apakah kader parpol lain yang dibajak berideologi yang sama dengan parpol tersebut.