Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Di AS, jumlah anggota legislatif yang terpilih kembali di pemilu mencapai 85 persen. Di Indonesia, jika merujuk Pemilu 2019, hanya separuh dari jumlah anggota DPR yang terpilih lagi. Apa jurus mereka agar terus terpilih?
Meyakinkan publik agar calon anggota legislatif bisa terpilih di pemilu bukan perkara mudah. Terlebih jika ditempatkan di daerah pemilihan atau dapil yang ketat persaingannya atau kerap disebut dapil ”neraka”. Namun, bagi sejumlah anggota DPR, tantangan berat itu seolah mudah dilalui. Mereka pun menjadi penghuni setia Senayan, lokasi gedung DPR berada di Jakarta. Apa saja jurus mereka?
Satu waktu menjelang Pemilu 2019, Bambang Soesatyo dihadapkan pada analisis sejumlah pengamat yang menyampaikan beratnya seorang ketua DPR bisa terpilih kembali sebagai anggota DPR dalam pemilu. Bahkan, kala itu muncul pandangan adanya semacam ”kutukan” bagi siapa pun yang menjabat ketua DPR. ”Kutukan” yang membuat ketua DPR tak mungkin terpilih kembali di pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pandangan-pandangan itu muncul tak lepas karena sejumlah ketua DPR sebelumnya memang tak pernah kembali terpilih dalam pemilu. Sebut saja Ketua DPR periode 2004-2009 Agung Laksono yang tak terpilih kembali pada Pemilu 2009. Begitu pula Ketua DPR periode 2009-2014 Marzuki Alie yang juga gagal kembali masuk parlemen pada Pemilu 2014. Di luar pandangan irasional adanya ”kutukan” dan sejarah kegagalan ketua DPR tersebut, citra DPR yang kurang baik di mata publik dinilai turut memengaruhi kegagalan mereka terpilih kembali. Belum lagi, sebagai ketua DPR, kesibukan mereka berlipat sehingga tak jarang kesulitan untuk membagi waktu guna turun ke daerah pemilihan.
Khusus bagi Bambang, tantangan kian berat karena untuk Pemilu 2019 ia harus bertarung di daerah pemilihan (dapil) ”neraka”. Sebutan itu muncul untuk Dapil Jawa Tengah VII, yang mencakup Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen, karena sejumlah partai politik (parpol) menempatkan kader-kader unggulan untuk berkontestasi di sana.
Baca juga: Adu Siasat Partai Politik, dari Isu Populis hingga ”Big Data” Pemilih
Ada nama Utut Adianto dari PDI-P yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPR. Selain itu, ada nama Heru Sudjatmoko dari PDI-P. Heru kala itu menjabat Wakil Gubernur Jawa Tengah dan sebelumnya pernah menjabat Bupati Purbalingga. Ditambah lagi sejumlah calon anggota legislatif (caleg) lainnya di dapil itu, berstatus sebagai anggota DPR petahana.
Dihadapkan pada tantangan-tantangan berat tersebut, Bambang Soesatyo yang menjabat ketua DPR sejak pertengahan Januari 2018 hingga akhir September 2019 tak lantas surut. Politisi senior Partai Golkar ini merancang beragam strategi untuk mematahkan ”kutukan”.
Namun, sebelum merealisasikannya, ia paham betul strategi harus dirancang berbasis pada tuntutan konstituen di daerah pemilihannya. Ia mengaku memahami karakter masyarakat di dapilnya karena ia berulang kali terpilih di dapil itu pada Pemilu 2009 dan 2014. Namun, untuk Pemilu 2019, Bambang yang kini menjabat Ketua MPR merasa tuntutan konstituen harus dipetakan ulang. Sebab, bisa jadi tuntutan berubah sekaligus untuk memastikan strategi yang digunakan tepat sasaran.
Untuk itu, ia bersama timnya menganalisis betul karakteristik, psikologi, hingga budaya dari konstituennya di tiap-tiap wilayah. Bukan hal mudah untuk memetakan ini karena setiap kelompok masyarakat memiliki kegemaran hingga tuntutan yang berbeda. ”Antara Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ada yang lemah lembut, ada juga yang keras. Kita harus menyelami karakteristik wilayah masing-masing,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Selasa (8/2/2022).
Setelah tuntas dipetakan, barulah pendekatan dimulai. Pendekatan menyasar terutama pada tokoh agama, tokoh masyarakat, ataupun tokoh organisasi kemasyarakatan kepemudaan di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran selain langsung bertemu dan membantu kesulitan yang dihadapi warga di wilayah itu. Tak sulit untuk melakukan pendekatan ini karena ia mengaku sejak terpilih menjadi anggota DPR pertama kali pada Pemilu 2009 telah rajin merawat hubungan emosional dengan mereka.
Ia pun merasa mudah untuk masuk ke wilayah itu karena keaktifannya di berbagai organisasi sekaligus posisi strategisnya di organisasi-organisasi itu. Ia misalnya menjadi bagian dari organisasi Pemuda Pancasila, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI), Dewan Pakar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam, serta Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
”Semua jaringan harus dikerahkan karena mereka sangat efektif meyakinkan masyarakat bahwa saya bisa membawa aspirasi, membawa peningkatan ekonomi, dan pembangunan desa,” tuturnya.
Tak cukup di situ, ia juga sadar betul meyakinkan calon pemilih tidak bisa hanya bergantung pada kekuatannya sendiri ataupun tim suksesnya. Struktural partai dan kader partai juga menjadi tulang punggung. Mereka yang sehari-hari berada di tengah publik di dapilnya menjadi kunci kemenangan agar membantunya meyakinkan calon pemilih memilihnya saat hari pemilu tiba.
Oleh karena itu, ia rajin menjaga hubungan baik dengan kader Golkar di Jawa Tengah VII. Tidak hanya setiap mendekati pemilu, jalinan relasi dipupuknya ketika tak ada pemilu sekalipun.
Satu hal yang juga amat dijaganya adalah saat situasi politik lokal di dapilnya ”memanas” sebagai imbas suksesi kepemimpinan partai di tingkat lokal. ”Jangan masuk ke wilayah persaingan suksesi kepemimpinan. Kita harus mendukung siapa pun yang berproses secara demokratis terpilih menjadi pimpinan partai di sana,” ujarnya.
Di luar itu, relasi yang kuat dengan para kepala daerah di dapilnya menjadi kunci kemenangan lainnya sehingga ia terus merawatnya. Ketika misalnya kepala daerah di dapilnya dihadapkan pada problem sosial, kemanusiaan ataupun pembangunan untuk publik di wilayahnya, pria yang akrab disapa Bamsoet ini mencoba untuk membantu. Posisinya sebagai anggota DPR, apalagi kala itu sebagai ketua DPR, memudahkannya untuk membantu mengatasi setiap problem dengan meneruskannya ke pemerintah pusat ataupun melalui fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan, di DPR.
”Hingga kini saya masih membantu memperjuangkan kebutuhan konstituen dan daerah. Sebagai ketua MPR, akses ke pemerintah pusat terbuka agar pusat membantu daerah melaksanakan pembangunan, misalnya. Sebisa mungkin jika ada program dari pemerintah pusat diarahkan untuk masyarakat di dapil,” kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini.
Berbagi wilayah kampanye
Yang juga menarik, pria yang akrab disapa Bamsoet ini kerap memosisikan kompetitor dari parpol lain di dapilnya sebagai rekan alih-alih sebagai musuh.
Dengan Utut Adianto, misalnya, ia berbagi wilayah saat masa kampanye Pemilu 2019 sehingga tidak saling menjegal satu sama lain agar keduanya tetap lolos ke Senayan. Salah satu caranya menginformasikan lokasi kampanye agar tidak berada di lokasi yang sama di waktu bersamaan.
”Yang diperebutkan adalah suara dari massa mengambang karena kami yakin suara Golkar tidak akan beralih ke PDI-P, begitu pula sebaliknya,” tutur Bamsoet.
Kesukaan publik pada media sosial juga tak luput dari perhatiannya. Ia bersama timnya mencermati sekaligus memetakan di mana publik di dapilnya menghabiskan waktu saat berselancar di media sosial, lantas ia ”menyusup” masuk, mencoba meyakinkan mereka dengan visi, misi, dan program kerjanya jika berhasil terpilih kembali.
Kiprahnya memperjuangkan tuntutan publik ataupun membantu publik yang kesulitan selama menjabat anggota DPR juga turut diunggahnya. Tentu dengan gaya yang mudah diterima oleh para warganet di dapilnya yang kebanyakan masih berusia muda.
Strategi ini dipertahankannya setelah ia berhasil mematahkan ”kutukan” dan terpilih kembali pada Pemilu 2019. Maka, tak heran ia kini aktif di Youtube. Lebih dari itu, ia aktif pula berkolaborasi dengan sejumlah Youtuber, seperti Raffi Ahmad, Atta Halilintar, dan Deddy Corbuzier.
Baca juga: Pemilu dan Kutukan Ketua DPR
Strategi petahana lain
Tak hanya Bamsoet, merawat relasi dengan konstituen di dapil menjadi kunci keterpilihan berulang anggota DPR dari PDI-P, Arif Wibowo. Pertama kali mengikuti pemilu pada Pemilu 2009 dari Dapil Jawa Timur IV, yang mencakup Lumajang dan Jember, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P ini kembali terpilih pada Pemilu 2014 dan yang terbaru di Pemilu 2019, dari dapil yang sama.
Merawat relasi dengan konstituen menjadi hal yang mudah diucapkan, tetapi tak semudah itu untuk mewujudkannya. Arif punya kenangan khusus terkait dengan hal ini. Suatu waktu saat masa reses anggota DPR, sekelompok petani pisang di Lumajang, Jawa Timur, menyambangi Arif Wibowo. Mereka mengeluhkan tanaman pisang yang terjangkit penyakit sehingga dikhawatirkan gagal panen. Padahal, tanaman itu menjadi satu-satunya sumber penghasilan untuk keluarga.
Para petani itu berharap ada solusi dari Arif. Mereka tak tahu dan tak mau tahu bahwa Arif ditempatkan parpolnya di Komisi II DPR yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri, pertanahan, birokrasi, dan kepemiluan. Adapun urusan pertanian menjadi tugas pokok dan fungsi dari Komisi IV DPR. Arif dibuat pusing dengan tuntutan para petani, tetapi tanggung jawab moral sebagai wakil rakyat membuatnya harus turut mencarikan solusi.
”Saya telepon Fakultas Pertanian Univeritas Jember dan Dinas Pertanian Lumajang yang lebih paham masalah perpisangan. Saya minta mereka datang bertemu petani pisang untuk menjelaskan masalah yang mereka hadapi. Itu saja mereka sudah terbantu,” kata Arif saat ditemui Kompas di rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Itu hanya satu contoh. Di luar itu, Arif kerap menerima beragam tuntutan lain yang di luar tugas pokok dan fungsi sebagai anggota Komisi II DPR. Bahkan, pernah ada permintaan dari seorang istri yang meminta tolong dicarikan suaminya yang tak pulang bertahun-tahun karena menjadi pekerja migran. Setiap keluhan dan tuntutan publik di dapilnya semaksimal mungkin dibantunya, termasuk meminta bantuan kolega di PDI-P yang menduduki jabatan di eksekutif dan legislatif.
Tak berhenti di situ, ia rajin merawat relasi dengan konstituen dengan mengunjungi warga dari rumah ke rumah. Tak jarang pula ia bersantap bersama, bahkan melepas lelah hingga menginap di rumah warga. Meski berstatus anggota DPR, pejabat penyelenggara negara, ia tak sungkan menghabiskan waktu bersama warga, termasuk memilih menggunakan sepeda motor sebagai kendaraan untuk menyambangi masyarakat. ”Lima orang pun saya datangi. Jangan lihat jumlahnya, tetapi setelah masalah selesai, mereka terutama ibu-ibu akan bilang ke keluarga, tetangga, dan komunitasnya tentang advokasi yang saya berikan,” ucapnya.
Kedekatan personal itu pula yang akhirnya membuat biaya kampanyenya bisa ditekan. Dalam tiga kali pemilu yang diikuti, mantan Ketua Dewan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Jember itu mengaku tak pernah habis lebih dari Rp 1 miliar.
Menjelang Pemilu 2019, Prajna Research Indonesia sempat merilis kebutuhan biaya untuk caleg menghadapi pemilu. Untuk tingkat DPR, misalnya, dibutuhkan biaya minimal antara Rp 1 miliar dan Rp 2 miliar. Biaya itu minimal, realitasnya biaya lebih besar dikeluarkan oleh caleg. Kajian Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menjelang Pemilu 2014 menunjukkan angka yang mirip. Pengeluaran caleg berkisar Rp 1,18 miliar sampai Rp 4,6 miliar. Namun, jika pengeluaran lain yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan juga dihitung, nilainya bisa lebih.
Tampil di media
Adapun anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Nasir Djamil, yang berhasil empat kali terpilih di pemilu calon anggota DPR, dari Pemilu 2004 hingga 2019, plus sekali terpilih di pemilu calon anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam pada Pemilu 1999, punya trik lain.
Trik tersebut adalah tampil intens di media massa. Cara itu dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas kepada konstituen bahwa ia bekerja menyampaikan pesan-pesan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan ataupun pesan lain yang ada di dapilnya.
Momentum lain yang tak boleh dilewatkan untuk tampil di media ialah ketika ada momentum-momentum penting dan menarik perhatian publik. Dengan demikian, ia bisa menyampaikan ide dan gagasan. Bahkan, ketika harus berganti dapil dari Aceh I ke Aceh II pada Pemilu 2019, ia tetap bisa lolos terpilih sebagai anggota DPR.
”Bagi saya, ini adalah ’kampanye’ sehingga biaya kampanye menjelang pemilu tidak menjadi besar akibat sering tampil di TV. Tampilan-tampilan di TV itu memengaruhi persepsi publik kepada kita sebagai anggota DPR. Bahkan, ada yang tahu nama, tetapi belum tahu orangnya sehingga ketika kampanye dikasih lihat wajah saya di Youtube saat mengisi dialog acara di TV, akhirnya mereka ingat dan termotivasi untuk memilih saya,” tutur Nasir.
Di luar itu, ia bersyukur aktif berpolitik di PKS. PKS memiliki andil besar dalam melanggengkan jalannya ke Senayan karena militansi kadernya. Tak hanya itu, suasana kompetisi di antara caleg, meski berasal dari parpol yang sama, dilihatnya tak seketat di parpol lain. Antarcaleg dari PKS di dapil yang sama kerap bekerja sama. Kalaupun persaingan terjadi, tak saling menjatuhkan.
Efek petahana
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan, ada sejumlah hal yang membuat anggota legislatif petahana kembali berulang terpilih di pemilu selanjutnya.
Pertama, kemampuan mereka menjadi tokoh dan merawat ketokohan di dapil. Ketokohan ini hanya bisa dibangun jika punya hubungan kuat dengan konstituen. Faktor kedua ialah seorang anggota DPR mesti memiliki basis yang terwakili yang berbentuk infrastruktur simpul-simpul kelompok komunitas atau kelompok masyarakat yang dipelihara serta ideologi.
”Kalau tidak bisa menjaga ketokohannya dan berujung tidak terpilih lagi, berarti ada masalah di ketokohannya dan komunikasi politiknya dengan konstituen tidak baik,” ujarnya.
Baca juga: Adu Jaringan Politik dan Popularitas di Dapil Kaya
Faktor-faktor ini menjadi penting karena sistem pemilu legislatif menerapkan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sejak Pemilu 2009. Sistem ini mengharuskan calon pemilih memilih langsung caleg. Memang ada aspek raihan suara parpol turut berkontribusi, tetapi ketokohan caleg dipandangnya lebih kuat dalam menentukan keterpilihan caleg, bahkan bisa turut mengerek raihan suara parpol.
Di Amerika Serikat, menurut dia, tingkat keterpilihan kembali anggota legislatif mencapai sekitar 85 persen karena kemampuan mereka merawat relasi dengan konstituen. Untuk Indonesia, tingkat keterpilihan kembali masih di bawah itu, misal merujuk pada hasil Pemilu 2019 ada di angka 50,26 persen.
Selain itu, menjadi penting pula bagi parpol untuk menghargai para anggota legislatif yang telah bersusah payah menjalin relasi dengan konstituen di dapil. Di pemilu sebelumnya, sering dijumpai, parpol justru memindahkan mereka ke dapil lain. Padahal, untuk membangun kedekatan dengan konstituen dan meyakinkan mereka untuk memilihnya, butuh waktu yang tidak sesaat, terlebih dengan kecenderungan calon pemilih dari pemilu ke pemilu yang kian pintar dan rasional dalam memilih.
Tak hanya itu, parpol juga harus mempertimbangkan pentingnya keterpilihan kembali anggota legislatif agar jalannya fungsi-fungsi legislatif tak terseok-seok. Sebab, anggota legislatif yang terpilih kembali memiliki pengalaman dan jaringan yang telah terbangun daripada anggota legislatif yang baru terpilih sehingga saat terpilih kembali mereka bisa langsung menjalankan fungsi-fungsi legislatif.
Hanya saja, dalam mempertimbangkan hal-hal tersebut, penting pula bagi parpol memperhatikan pentingnya regenerasi. Kaderisasi parpol bakal terhambat jika anggota legislatif berulang kali terpilih di pemilu.