Jatuh Bangun Caleg Pendatang Baru Menembus Parlemen
Pemilu 2024 baru digelar dua tahun lagi. Namun, penjajakan lebih dini menjadi keniscayaan bagi yang ingin maju sebagai caleg, terutama jika baru pertama kali ikut pemilu. Bagaimana kiat-kiat agar bisa menembus parlemen?
Setelah memutuskan masuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan maju di Pemilu Legislatif 2019, Johan Budi langsung diberi penugasan yang tak mudah oleh partainya. Pertama kali mengikuti pemilu, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ini justru dipercaya bertarung di daerah pemilihan Jawa Timur VII, yang kerap dijuluki salah satu ”dapil neraka”. Disebut dapil neraka karena figur-figur unggulan ditempatkan oleh partai politik peserta pemilu di sana.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur (Jatim) VII, yang meliputi Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, Ngawi, dan Magetan, bisa dibilang sebagai basis dari Partai Demokrat. Pada Pemilu 2009, Demokrat merajai wilayah ini dengan 417.529 suara (tiga kursi), sedangkan PDI-P hanya meraih 259.807 suara (satu kursi). Begitu pula pada Pemilu 2014, Demokrat menang kembali dengan 362.990 suara (dua kursi), sedangkan PDI-P hanya 339.228 suara (satu kursi).
Jika didalami lagi, suara terbanyak di dapil tersebut selalu diambil oleh anak Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Edhie ”Ibas” Baskoro Yudhoyono. Bukan sesuatu yang mengagetkan karena Pacitan merupakan kampung halaman Susilo Bambang Yudhoyono atau kerap dipanggil SBY. Menilik hasil Pemilu Presiden 2009, pasangan calon presiden SBY dan calon wakil presiden Boediono pernah meraih suara yang sangat signifikan di sana, yakni 95,2 persen suara.
Namun, berbicara dapil Jatim VII, pertarungan sengit bukan hanya terjadi di antara Demokrat dan PDI-P. Dari pemilu ke pemilu, partai-partai politik selalu menerjunkan tokoh-tokoh andalannya untuk bertarung di wilayah ini. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2019, misalnya, ada Jessica Tanoesoedibjo yang merupakan anak Hary Tanoesoedibjo (Partai Perindo) hingga mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen (Purn) Anang Iskandar (Partai Persatuan Pembangunan).
Baca juga : Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Selain menghadapi kompetitor dari parpol lain, Johan harus menghadapi calon anggota legislatif (caleg) unggulan dari partainya sendiri, Budiman Sudjatmiko. Pada Pemilu 2019, aktivis Reformasi 1998 itu digeser partainya dari semula berkontestasi di dapil Jawa Tengah (Jateng) VIII, yang meliputi Cilacap dan Banyumas, ke dapil Jatim VII. Di dapil Jateng VIII, Budiman tak tergoyahkan. Ia selalu berhasil masuk ke Senayan, tempat anggota DPR berkantor di Jakarta, pada Pemilu 2009 dan 2014.
Johan menyadari ketatnya persaingan di dapil Jatim VII. Namun, itu tak kemudian membuat dirinya ciut. Ia hanya berpikir, jika menjadi caleg, itu artinya harus sering berdialog dan berdiskusi dengan konstituen. Karena itu, ia mengaku selalu menyempatkan diri untuk terjun ke dapil setidaknya jelang akhir pekan di sela-sela kesibukannya yang kala itu menjabat Juru Bicara Presiden Joko Widodo.
”Buat saya, sama saja dapil itu, tak ada dapil neraka, tak ada dapil surga. Yang penting, bagaimana kita meyakinkan masyarakat,” ujar Johan.
Dalam berkampanye, Johan mengaku tidak ada strategi khusus. Ia lebih senang datang ke pelosok-pelosok desa dan bertemu masyarakat dalam kelompok kecil. Mungkin hanya 15-20 orang. Melalui kelompok kecil itu, menurut dia, kekuatan emosional akan terbangun. Materi kampanye pun lebih mudah tersampaikan.
Johan pun merasa beruntung karena penyelenggaraan pileg berbarengan dengan pemilu presiden (pilpres). Dengan begitu, ia bisa sekaligus membawa program-program calon presiden Jokowi dan calon wakil presiden Ma’ruf Amin dalam setiap pertemuan dengan masyarakat. Cara itu ampuh mengantarkan Johan ke Senayan dan mengalahkan suara Budiman. PDI-P pun akhirnya sukses mengunci dua kursi di dapil Jatim VII, bertambah satu kursi dari pemilu sebelumnya.
”Saya, kan, waktu itu agak dikenal di publik dan sama sekali saya tidak bagi-bagi uang, tidak pakai begitu. Saya juga tidak menyangka bisa jadi (anggota legislatif dapil Jatim VII) karena, kan, pertarungannya ketat, ya,” ucap Johan yang kini duduk di Komisi II DPR yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri, reformasi birokrasi, dan kepemiluan.
Konsistensi
Tantangan berat sebagai pendatang baru di pileg juga dilakoni Illiza Sa’aduddin Djamal. Di Pileg 2019 yang pertama kali diikutinya, ia diputuskan partainya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), untuk maju sebagai caleg di dapil Aceh I yang meliputi 15 kabupaten/kota. Tantangan berat karena pada pemilu sebelumnya, PPP tak berhasil meraih kursi dari dapil tersebut.
Dan lagi, di Provinsi Aceh, raihan suara dan penguasaan kursi di pemilu sebelumnya didominasi setidaknya dua partai politik (parpol), yakni Gerindra dan Demokrat. Kecenderungan pemilih pun lebih memilih pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk Pilpres 2019. Dengan begitu, sangat sulit bagi Illiza mengharap tuah elektoral dari pilpres karena PPP kala itu memutuskan untuk mengusung capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin.
Baca juga : Adu Siasat Partai Politik, dari Isu Populis hingga ”Big Data” Pemilih
Illiza merasa ujian kian berat ketika Ketua Umum PPP saat itu, Romahurmuziy atau dikenal Romy, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat dalam kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama.
Kabar itu bak petir di siang bolong karena antara penangkapan Romy dan waktu penyelenggaraan pemungutan suara Pemilu 2019 hanya berselang sekitar satu bulan. Ditambah lagi, ia telah menyiapkan kaus bergambar Romy untuk disebar ke calon pemilih dengan harapan popularitas Romy bisa turut mendongkrak elektabilitasnya selain PPP.
”Tetapi, bagi saya, namanya pejuang, bukan pecundang, saya coba untuk memastikan masyarakat bahwa mereka itu, ya, pilih kami, pilih partai. Kalau anggap saya bagus, ya, jangan bawa-bawa yang lain. Kalau mau pilih, ya, pilih. Kami berkomitmen selalu ada untuk mereka. Kami bekerja, bukan sekadar duduk-duduk saja,” tutur Illiza.
Daerah yang belum terjamah
Proses kampanye Illiza tetap dilanjutkan di tengah berbagai terpaan tantangan tersebut. Sama seperti Johan, ia fokus pada daerah-daerah pelosok yang menurut dia belum begitu kuat terjamah oleh caleg dari partai lain, termasuk caleg dari partainya. Dari 15 kabupaten/kota, yang ia fokus datangi kemungkinan tak lebih dari setengahnya. Namun, ia sungguh-sungguh memaksimalkan kampanye di daerah yang ia pilih tersebut.
Meski diterpa sejumlah ujian berat, posisinya sebagai satu-satunya caleg perempuan di dapil Aceh I dilihatnya sebagai kekuatan. Hal itu dianggapnya sebagai ”senjata” ampuh karena ia memiliki diferensiasi isu dengan caleg lain. Ia pun lebih sering mengundang ibu-ibu dan orang tua untuk mengikuti kegiatan majelis taklim atau mengangkat isu-isu tentang perjuangan terhadap perempuan.
”Jadi, memang pemilih perempuan itu menjadi kekuatan juga bagi saya, ibu-ibu dan orang tua. Pendekatannya pun pendekatan emosional. Setelah terpilih, saya juga balik ke tempat-tempat yang telah saya datangi,” ujar Illiza yang kini menjadi bagian dari Komisi X DPR yang membidangi urusan pendidikan, riset, olahraga, dan kepariwisataan.
Keterbelahan masyarakat
Tak hanya menembus Senayan, para caleg pendatang baru untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga menghadapi ujian yang berat agar bisa terpilih. Apalagi jika caleg itu berangkat dari parpol yang juga pendatang baru di pileg.
Ini seperti dialami William Aditya Sarana. Di pemilu pertamanya pada 2019, ia harus berjuang mengenalkan dirinya ke masyarakat di dapil DKI Jakarta IX (Cengkareng, Kalideres, Tambora di Jakarta Barat). Ia juga harus mengenalkan partainya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang kala itu belum dikenal luas oleh publik, tak terkecuali di dapilnya. ”Mereka kenalnya PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia). Selalu begitu,” kelakar William, yang saat maju di Pemilu 2019 masih berusia 23 tahun.
Tak hanya itu, William menghadapi ujian berat karena latar belakangnya. Sebagai anak muda, beragama Kristen, dan beretnis Tionghoa, ia kerap dipandang sebelah mata. Ia menyebut ini seperti label ”triple minority”. Ironisnya lagi, dengan label itu, dia sempat mendapat perlakuan tak menyenangkan saat berkampanye di salah satu lokasi. Warga tidak ingin bersalaman dengan dia. Menurut dia, ini merupakan imbas dari Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2017 yang kental dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan.
Dari situ, ia mulai menyusun strategi, memetakan wilayah-wilayah di dapilnya yang memungkinkannya meraih suara. Salah satunya, ia melirik basis pendukung dari calon gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau kerap disapa Ahok, pada Pilgub DKI 2017.
”Walaupun kecewa dengan keterbelahan itu, saya lihat ada harapan karena Pilgub 2017 itu, kan, Pak Ahok (Basuki) suaranya tidak kosong-kosong amat, ada 42 persen,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
William pun menekankan pentingnya blusukan bagi mereka yang baru maju di pileg. Cara itulah yang ia terus gunakan bahkan sampai setelah terpilih dan kini duduk di Komisi A DPRD DKI Jakarta. Ia bahkan selalu membagikan kartu nama yang sudah berisi nomor telepon genggam pribadinya agar masyarakat bisa setiap saat mengadu kepadanya ketika menjumpai persoalan. Tak hanya itu, ia juga mengaku memberikan konsultasi hukum gratis kepada warga, terutama yang berada di dapilnya.
”Jadi, penting sekali, caleg harus bisa diakses masyarakatnya karena selama ini, kan, berjarak, ya, antara wakil rakyat dan rakyatnya,” kata William.
Ikatan emosional
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menyampaikan, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan bagi caleg baru sebelum maju kontestasi.
Pertama, caleg baru harus mengukur diri terlebih dahulu tingkat pengenalan dirinya di masyarakat. Artinya, jika caleg itu berani menyatakan maju, ada beberapa prasyarat minimal, seperti caleg tersebut mengenal daerah itu, caleg dikenal di daerah itu, dan caleg memiliki jaringan di daerah itu.
”Tanpa pengenalan, tanpa jaringan, sulit untuk maju menjadi caleg,” ujar Yunarto.
Kedua, dalam kondisi sekarang, ada dua pendekatan untuk bisa menarik perhatian konstituen. Pertama, pendekatan yang sifatnya bertahap, dimulai dengan mengenalkan diri melalui atribut atau alat peraga kampanye. Kedua, melihat situasi pandemi Covid-19, yang lebih efektif adalah mereka yang berani turun langsung dan mau tidak mau melakukan kegiatan yang memiliki nilai tambah (added value), entah berupa bantuan sosial atau bahan pokok.
Ia menyampaikan, tidak mudah bagi caleg baru untuk meraih simpati publik. Apalagi, lawannya merupakan caleg petahana.
Untuk itu, menurut Yunarto, mau tidak mau yang bisa dilakukan oleh caleg baru adalah mencari diferensiasi. Diferensiasi yang dimaksud bisa dalam bentuk turun ke masyarakat lebih intens dibandingkan petahana, berkomunikasi lebih sering dengan lebih banyak warga dibandingkan petahana, serta harus mampu menjadi penyelesai masalah yang terjadi di dapilnya dibandingkan para petahana.
”Nah, yang membedakan sisi emosional, ada ikatan yang terbangun secara langsung sehingga kemudian membuat orang tidak sekadar mengenal, tetapi kemudian merasa dekat,” ujar Yunarto.
Baca juga : Tok! Pemilu Serentak Digelar 14 Februari 2024
Peluang itu harus dilihat oleh caleg baru. Sebab, Yunarto melihat caleg lama sering kali menyepelekan soal kontinuitas merawat suara di dapilnya. Mereka terpilih, kemudian jarang, bahkan tidak pernah terjun lagi ke dapilnya.
”Padahal, ikatan emosional itu yang membuat continuity-nya berlanjut, kontinuitasnya ada. Itu yang sering kali terjadi, biasanya incumbent ketika sudah jadi, bisa berubah, lebih banyak menghabiskan waktunya nongkrong di DPP dan DPW,” ucap Yunarto.