”Dunia Hitam” Pasca-pemungutan Suara Pemilu
Perjuangan caleg agar terpilih bukan hanya saat masa kampanye. Tak kalah krusial pasca-pemungutan suara. Sejumlah caleg gagal menuturkan kisahnya, bisa jadi masukan bagi yang berminat maju di Pemilu Legislatif 2024.
Sejumlah partai politik telah mulai membuka pendaftaran calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Tak sedikit di antara mereka yang berminat bahkan telah mulai mengampanyekan diri agar dipilih partai masuk dalam daftar calon. Namun, ibarat pertempuran, laga para calon wakil rakyat tak sebatas memikat partai atau pemilih untuk memilihnya. Yang tak kalah krusial, laga pasca-pemungutan suara.
Menjadi wakil rakyat di daerah pemilihan (dapil) yang sama selama empat periode atau 20 tahun membuat politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Yoseph Umarhadi, yakin saat akan menghadapi Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selain sudah sarat pengalaman karena telah melalui empat kali pemilu dan terpilih, jejaring yang kuat dan kedekatan dengan konstituen di dapil Jawa Barat (Jabar) VIII (Kabupaten dan Kota Cirebon serta Kabupaten Indramayu) jadi modal utama keyakinannya. Keyakinannya besar sekalipun di dapil itu, ia harus bersaing dengan lebih dari 100 calon anggota legislatif (caleg) dari 16 partai politik (parpol) guna merebut satu dari sembilan kursi DPR di dapil tersebut.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Keyakinannya berbanding terbalik dengan realitas hasil pemilu.
Baca juga: Hadiah Paket Data hingga “Rebranding”, Kiat Parpol Ikut Pemilu 2024
Raihan suara PDI-P di dapil Jabar VIII hanya cukup untuk dikonversi menjadi dua kursi DPR. Tujuh kursi lainnya direbut oleh Partai Golkar (2 kursi) dan lima kursi lainnya direbut lima parpol, yakni Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Suara yang diperoleh Yoseph pun tak cukup untuk bisa merebut salah satu kursi yang diraih PDI-P. Tak pelak, ia harus rela tak bisa kembali ke Senayan, tempat anggota DPR/MPR berkantor di Jakarta.
Ia pun kecewa dengan hasil yang tak sesuai keyakinannya itu. Biaya besar telah dikeluarkannya agar bisa terpilih kembali meski ia tak mau menyebut nominalnya. Yang lebih mengecewakan, upayanya membina relasi puluhan tahun dengan konstituen agar bisa kembali terpilih kandas dalam hitungan hari, khususnya saat tahapan rekapitulasi suara, diduga akibat suaranya ”dicuri” calon lain.
Dugaannya ini bukan tanpa alasan. Sebelum pemungutan suara, ia berulang kali didekati seseorang yang menyebut dirinya sebagai ”koordinator”. Orang ini menjanjikan bisa ”mengarahkan” pemilih memilih Yoseph saat pemungutan suara. Lebih dari itu, orang itu menjanjikan pula bisa ”mengutak-atik” hasil pemungutan suara saat proses rekapitulasi. Dugaan keterlibatan dengan penyelenggara pemilu membuat ”koordinator” bisa menjanjikan hal itu. ”Koordinator ini meminta biaya Rp 100.000-Rp 150.000 per suara. Saya menolaknya, tetapi tidak tahu caleg lain,” ujarnya.
Kecurigaannya menguat saat tahapan rekapitulasi suara masih berlangsung, proses penghitungan suara bagi calon lain justru sudah tuntas. Tak hanya itu, ia memeroleh informasi suaranya bersaing ketat dengan caleg lain. Selisih suaranya tidak banyak.
Menurut dia, pasca-pemungutan suara, berbagai modus kecurangan terjadi saat rekapitulasi suara, terutama saat rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Kecurangan bisa terjadi karena penyelenggara pemilu setempat terlibat. Biasanya praktik kecurangan terjadi jika selisih suara di antara sesama caleg dari partai yang sama tidak besar.
”Lebih berat berhadapan dengan sesama calon dalam satu partai karena selisih satu suara pun kalau kalah, ya, kalah,” ujar Yoseph.
Namun, untuk membuktikan praktik ”utak-atik” suara saat proses rekapitulasi suara, ia kesulitan. Ia tak memiliki bukti formulir C1 hasil penghitungan suara di seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Tak lain karena untuk menempatkan orang mengawasi seluruh TPS plus proses rekapitulasi suara di tingkat selanjutnya butuh biaya besar.
Memang, menurut dia, di setiap TPS ada saksi dari parpol. Namun, sebagai saksi parpol, mereka akan lebih mengikuti perintah dari ketua DPC parpol di wilayah itu, bukan caleg.
Baca juga: Jatuh Bangun Caleg Pendatang Baru Menembus Parlemen
Dugaan kecurangan itu lantas terbukti pascapemilu usai. Salah satu anggota penyelenggara pemilu di dapil Jabar VIII diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Setelah serangkaian sidang, DKPP memutuskan menjatuhkan sanksi. Bahkan, menurut Yoseph, orang itu sempat mendatanginya dan mengakui bahwa dua hari sebelum pemungutan suara, ia bertemu caleg lain untuk membuat kesepakatan.
”Saya mengatakan ke teman-teman, saya tidak mungkin dikalahkan calon-calon lain kalau wasitnya tidak ikut bermain,” tuturnya.
Namun karena DKPP sebatas memeriksa dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu, putusannya tidak bisa mengubah hasil pemilu. Yoseph pun tetap gagal melenggang ke Senayan.
Dengan pengalaman kegagalannya di Pemilu 2019, Yoseph berpesan agar pada Pemilu 2024, netralitas dan integritas dari penyelenggara pemilu diperbaiki. Kongkalikong penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu merupakan akar terjadinya pemilu yang tidak adil.
Baca juga: Jurus Jitu Para Penghuni Setia Senayan
Tak hanya Yoseph Umarhadi, politisi Partai Nasdem, Akbar Faizal, juga gagal terpilih dari Dapil Sulawesi Selatan (Sulsel) II (Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo, Soppeng, Parepare, Barru, Pangkep, dan Maros) saat Pileg 2019. Padahal, di dua pemilu sebelumnya, 2009 dan 2014, ia berhasil melenggang ke Senayan dari dapil tersebut. Pada 2009 dengan ”kendaraan” Partai Hanura, baru pada 2014 dengan Nasdem.
”Menjadi peserta pemilu di Indonesia itu seperti bertarung secara bebas, masuk ke dalam hutan belantara, menggunakan seluruh senjata yang ada, mulai bazoka, pistol, sampai ranting yang diruncingkan, agar bisa mengamankan diri,” kata Akbar.
Tak terkecuali saat rekapitulasi suara. Praktik manipulasi suara jamak terjadi. Peserta pemilu berkongkalikong dengan penyelenggara pemilu untuk memuluskan pembajakan suara rakyat itu. ”Pokoknya, pakai cara yang sopan sampai melibatkan dunia hitam,” ujarnya.
Untuk mencegah hal itu, Akbar telah berupaya menempuh segala cara. Dari mulai merekrut saksi sendiri hingga memaksimalkan jaringan atau relasi yang ada untuk mengawal suara pasca-pemungutan suara.
Ia tak mau bergantung pada saksi dari parpolnya. Sebab, meski turut membiayai saksi parpol bersama caleg lain, loyalitasnya diragukan. Biasanya saksi dari parpol bakal lebih condong kepada caleg yang memberikan uang paling besar.
”Dalam banyak kasus, saksi parpol itu dikapling oleh caleg yang paling besar membiayainya sehingga dia akan fokus pada satu caleg itu. Kita tidak bisa menjamin saksi itu tidak bekerja sama dengan penyelenggara pemilu untuk memindah suara kita,” tutur Akbar.
Segala ikhtiar telah diupayakannya tetapi ia tetap kandas. Ia meyakini, tak hanya kecurangan saat proses rekapitulasi suara, kekalahannya juga buah dari dinasti politik yang mencengkeram dapil-nya. Sejumlah caleg terpilih di dapil Sulsel II saat Pileg 2019 merupakan bagian dari dinasti politik.
Untuk mencegah terjadinya kecurangan di pemilu selanjutnya, menurut Akbar, penggunaan teknologi informasi dapat membantu.
Baca juga: Cek Ombak Dahulu, Arungi Lautan Pilpres Kemudian
Berdasarkan data penanganan pelanggaran Pemilu 2019 oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terdapat 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, serta 1.475 pelanggaran hukum lainnya selama Pemilu 2019. Tak sedikit di antaranya terkait ”pencurian” suara saat proses rekapitulasi suara.
Adapun mengutip dari laporan kinerja DKPP tahun 2019, tahapan rekapitulasi penghitungan suara selain pemungutan dan penghitungan suara disebut sebagai tahapan krusial karena banyaknya pengaduan dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu di tahapan-tahapan itu. Dari 506 pengaduan, sebanyak 37,3 persen di antaranya atau sebanyak 189 pengaduan terkait tahapan rekapitulasi suara.
Manipulasi suara pun berada di peringkat ketiga modus pelanggaran kode etik tertinggi sepanjang 2019 setelah modus kelalaian pada proses pemilu dan pelanggaran hukum. Jumlahnya mendekati 200 teradu.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan, proses rekapitulasi suara di semua jenjang seharusnya terbuka. Terbuka berarti orang bisa mendengar yang disampaikan, melihat, termasuk merekamnya. Namun, di lapangan, tetap ditemui berbagai bentuk pelanggaran, mulai yang ringan dan bersifat administratif sampai yang bersifat pidana.
”Biasanya pelanggaran pidana berupa menaikkan suara. Saksi ini kan saksi parpol, bukan saksi caleg. Apalagi juga terjadi bahwa sesama petugas saling menutupi atau bekerja sama. Itu terjadi tapi persentasenya kecil,” kata Rahmat.
Modus menggelembungkan suara sangat beragam, seperti saat pencatatan di komputer, meski petugas membacakan, semisal, hanya lima suara, tetapi oleh operator ditulis tujuh. Bahkan pernah terjadi seorang operator yang telah mendapat pesanan caleg tertentu memasukkan angka suara yang seharusnya 20 menjadi 120. Utak-atik suara caleg juga kerap terjadi dengan modus tukar suara.
Menurut Rahmat, manipulasi suara lebih rawan terjadi saat rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Sebab, proses di kecamatan diberi toleransi waktu yang panjang, yakni bisa sampai tujuh hari. Kecurangan bisa terjadi dengan memanipulasi formulir DAA1 yang berisi hasil C1 dari seluruh TPS pada satu desa atau kelurahan.
”Karena menunggu lalu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Seharusnya langsung saja dihitung KPU setempat, tidak perlu menunggu tujuh hari. Kalau sudah sampai tingkat kabupaten/kota, maka transfer suara menjadi sulit dilakukan,” tutur Rahmat.
Baca juga: Adu Siasat Partai Politik, dari Isu Populis hingga ”Big Data” Pemilih
Bagi para caleg di pemilu mendatang, Rahmat menyarankan agar salinan formulir rekapitulasi suara yang ada di Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) dipotret atau direkam. Formulir yang dipegang Panwascam ini disebutnya sebagai data publik yang dapat dijadikan data untuk mengajukan sengketa hasil pemilu.
Untuk melakukan kerja ini, akan lebih baik jika caleg bertumpu pada ”kekuatannya” sendiri. Jangan kemudian menggantungkannya pada saksi parpol yang bisa jadi hanya terfokus mengamankan suara parpol atau caleg tertentu di dapil tersebut.
”Mestinya tidak terlalu susah dilakukan para caleg kalau (mengawasi rekapitulasi suara) di tingkat kecamatan,” kata Rahmat.
Jadi, sudah bulat tekad maju di Pemilu Legislatif 2024? Pastikan strategi yang disiapkan termasuk untuk mengantisipasi segala potensi kecurangan, tak terkecuali pasca-pemungutan suara.