Ketua Komisi III DPR Minta Hakim MK Konsultasi Dulu Sebelum Memutus
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto dinilai ingin menyandera calon hakim MK. Ia meminta agar calon hakim yang terpilih bersedia berkonsultasi dengan DPR sebelum menjatuhkan putusan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Bambang Wuryanto, Ketua Komisi III DPR
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Wuryanto dinilai hendak ”menyandera” calon hakim konstitusi yang mengikuti seleksi untuk mencari pengganti Wahiduddin Adams yang akan berakhir masa jabatannya sebagai hakim konstitusi pada Januari 2024 mendatang. Hal itu dikarenakan salah satu calon diminta untuk berkonsultasi lebih dahulu ke Komisi III DPR saat hendak memutus sebuah pengujian undang-undang bila nantinya terpilih menjadi hakim konstitusi.
Masyarakat sipil menilai permintaan tersebut tidak masuk akal dan merupakan bentuk dari intervensi terhadap kemandirian dan independensi hakim saat memutus perkara. Apabila hal tersebut benar-benar dilakukan, anggota DPR dapat dinyatakan melanggar kode etik sebab mereka dilarang untuk mengintervensi sebuah kasus hukum.
Permintaan agar calon hakim MK jika terpilih bersedia dipanggil ke DPR tersebut dilontarkan Bambang Wuryanto saat memberi pertanyaan kepada salah satu peserta seleksi, Firdaus Dewilmar, jaksa pada Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam proses seleksi yang berlangsung di DPR, Jakarta, Senin (25/9/2023).
Selain Firdaus, seleksi juga diikuti empat calon lainnya, yaitu Reny Halida Ilham Malik (mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta), Elita Rahmi (guru besar ilmu hukum Universitas Jambi), Aidul Fitriciada Azhari (mantan Ketua Komisi Yudisial), dan Abdul Latief (mantan hakim ad hoc tipikor pada Mahkamah Agung).
Pak Doktor ingin menjadi hakim MK mewakili DPR. Artinya, banyak masalah perundang-undangan yang mesti Dikau suarakan suara DPR. Bambang Wuryanto
Komisi III DPR akan melanjutkan proses seleksi dengan menguji tiga calon lainnya, yaitu Putu Gede Arya, Haridi Hasan, dan Arsul Sani (anggota Komisi II DPR), pada Selasa (26/9/2023) siang.
Bambang Wuryanto dari Fraksi Partai Persatuan Indonesia Perjuangan (PDI-P) melontarkan pertanyaan kepada Firdaus segera setelah yang bersangkutan menyelesaikan paparan makalahnya terkait kewenangan MK menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebelum menuju pertanyaan inti, Bambang mengurai mengenai betapa luar biasanya kewenangan yang dimiliki MK saat ini. Kepada Firdaus, ia memanggilnya dengan panggilan Pak Doktor.
”Pak Doktor ingin menjadi hakim MK mewakili DPR. Artinya, banyak masalah perundang-undangan yang mesti Dikau suarakan suara DPR. Fakta yang pernah terjadi adalah hakim MK yang berasal dari DPR itu justru men-downgrade keputusan-keputusan DPR. Nah, sekarang saya pingin tanya ke Pak Doktor, apakah nanti sebelum mengambil keputusan di MK entah itu persetujuan sebuah undang-undang terhadap UUD, Pak Doktor mesti bersedia hadir dulu di Komisi III untuk membicarakannya sebelum rapat pengambilan keputusan,” pinta Bambang Wuryanto.
TANGKAPAN LAYAR
Reny Halida Ilham Malik
Hakim MK seharusnya independen
Atas pertanyaan itu, Firdaus mengungkapkan bahwa hakim MK seharusnya independen dan imparsial. Meskipun demikian, ia tidak akan melupakan asal-muasalnya menjadi hakim MK, yaitu atas usulan DPR. ”Apakah boleh hakim MK dipanggil ke DPR? Inprinsip (pada prinsipnya), menurut saya, konsultasi boleh. Karena hakim MK itu independen dan imparsial, tapi konsultasi karena kita berasal dari DPR tidak ada salahnya,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR, Johan Budi SP, sebaliknya mengingatkan Firdaus untuk tegak lurus terhadap peraturan perundang-undangan dan konstitusi. Ia tidak mau calon hakim mengumbar janji sebab, menurut Johan, saat ini sudah terjadi inflasi janji.
”Jangan berjanji kepada kita. Berjanjilah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berjanji pada konstitusi. Tegaklah lurus pada konstitusi itu sendiri. Dan pesan saya, jangan korupsi,” pinta Johan Budi.
Masih terkait dengan janji, peserta seleksi lainnya, yaitu Reny Halida, saat ditanya anggota Komisi III DPR juga berjanji untuk mempertahankan produk DPR. Meskipun sudah berada di MK, apabila nantinya terpilih, Reny bahkan berjanji akan tegak lurus terhadap DPR. Sebab, ia yang pernah menjadi tenaga ahli di DPR sehingga mengetahui beratnya membuat undang-undang
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengkritik lontaran-lontaran pertanyaan yang disampaikan Bambang Wuryanto dan sejumlah anggota Komisi III yang seolah-olah menjadikan hakim MK tidak independen dengan cara ”menyandera” para calon. Pertanyaan yang diajukan seakan “mengancam”, yaitu bila Anda menganulir produk DPR, maka akan ditarik kembali atau di-recall seperti yang dialami hakim konstitusi Aswanto.
”Ini sangat disayangkan. Mestinya DPR mencari negarawan, mencari hakim MK yang berdiri di atas keadilan khususnya sebagai penjaga konstitusi. Kalau kemudian dipaksa untuk selalu mengiyakan produk DPR, ini kan justru bahaya. MK ini sebagai filter, jangan sampai produk undang-undang itu berseberangan dengan konstitusi. Kalau kemudian diberi barrier atau benteng gini, ini sama saja tidak perlu ada MK,” kata Boyamin.
KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman
Ia menyarankan agar DPR semestinya berjiwa besar. Boyamin pun meminta anggota Komisi III untuk meralat pernyataan-pernyataan yang mengancam dan secara terbuka menyatakan bahwa hakim MK yang diusulkan DPR bersedia untuk dikoreksi.
”Hakim harus independen. Kalau mereka diminta datang ke DPR sebelum memutus perkara, ini intervensi. Ini justru melanggar kode etik karena DPR dilarang mencampuri penegakan hukum,” tambahnya.
Coret nama calon pro-koruptor
Komisi III DPR juga diminta mencoret dua nama calon hakim konstitusi yang ditengarai pernah meringankan hukuman pelaku korupsi saat menjadi hakim ad hoc tindak pidana korupsi atau tipikor. Kedua calon tersebut adalah Reny Halida Ilham Malik dan Abdul Latief.
Komisi III DPR juga diminta mencoret dua nama calon hakim konstitusi yang ditengarai pernah meringankan hukuman pelaku korupsi.
Reny ditengarai mengorting hukuman pada 11 perkara korupsi, termasuk di dalam kasus suap yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan kasus korupsi Asuransi Jiwasraya Joko Hartono Tirto.
Saat menjadi hakim ad hoc tipikor untuk MA, Abdul Latief pernah membebaskan Sudjiono Timan, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), melalui putusan peninjauan kembali. Abdul Latief bersama-sama hakim agung Suhadi, Andi Samsan Nganro, Sri Murwahyuni, dan Sophian Marthabaya membatalkan vonis 15 tahun penjara untuk Timan dan membebaskannya dari kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 396 miliar.
”Putusan itu meyakitkan,” kata Boyamin.
Boyamin menyikapi dengan kritis putusan perkara Pinangki yang dinilainya tidak benar. Sebab, salah satu dasar mengurangi hukuman Pinangki adalah yang bersangkutan menyesali perbuatannya. Padahal, menurut Boyamin, Pinangki tidak menyesali perbuatan yang didakwakan, yaitu menerima suap terkait pengurusan perkara Joko S Tjandra.
KOMPAS
Ilustrasi. Mahkamah Agung memberikan diskon hukuman atas kasus suap yang menjerat bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Bekas politisi Gerindra itu mendapatkan pengurangan hukuman 4 tahun penjara, yakni dari 9 tahun menjadi 5 tahun penjara saja.
Jejak putusan
Sementara itu, Abdul Latief termasuk hakim yang memutus bebas Sudjiono Timan dengan mengabulkan PK yang diajukan istri Timan. Padahal, yang bersangkutan saat itu masih dalam status buron. Menurut Boyamin, dalam hukum ada pidana, pengajuan upaya hukum, termasuk PK, harus dilakukan terdakwa/terpidana atau keluarganya. Keluarga tersebut bertindak sebagai ahli waris apabila terpidana sudah meninggal. Saat itu, Sudjiono Timan bukan meninggal melainkan buron.
”Artinya, dari sisi formal saja tidak paham,” kata Boyamin.
Dalam uji kelayakan, sejumlah calon memang diungkap rekam jejak sebelumnya. Misalnya, Reny diungkap telah mengurangi hukuman pada 11 perkara korupsi. Adapun Firdaus ditanya terkait penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) saat menjabat sebagai kepala kejaksaan tinggi.
Dalam forum tersebut, Reny mengungkapkan bahwa putusan meringankan hukuman pelaku korupsi hanyalah sedikit dari ratusan putusan yang ia hasilkan selama menjabat sebagai hakim ad hoc tipikor selama lebih kurang 10 tahun.