Ulah DPR dan Nasib Hakim Konstitusi
Respons Presiden atas pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR dinanti banyak pihak. Begitu pula sikap Presiden mengenai nasib tiga hakim konstitusi usulan pemerintah setelah adanya perubahan aturan masa jabatan.

Prof Dr Aswanto mengucapkan sumpah sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2019-2021, Selasa (26/3/2019). Aswanto sebelum ini menjabat Wakil Ketua MK sejak 2018 sampai masa tugasnya di periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 2019.
Tiga pekan sudah berlalu sejak DPR membuat keputusan kontroversial, memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto sekaligus menunjuk Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah sebagai penggantinya. Meski menuai kritik dari berbagai kalangan, DPR tetap mengirimkan surat pemberhentian Aswanto kepada Presiden. Namun, hingga saat ini, Istana belum merespons surat penggantian hakim konstitusi tersebut.
Aswanto mengucapkan sumpah jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk pertama kalinya di Istana Negara, Jakarta, 21 Maret 2014. Ia diangkat dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor Nomor 19/P Tahun 2014. Kemudian pada 2019, ia kembali diangkat menjadi hakim konstitusi untuk periode kedua melalui Keppres Nomor 32/P Tahun 2019 yang hingga kini masih berlaku.
Drama penggantian Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terjadi pada Kamis (29/9/2022). Proses penggantiannya hanya berlangsung beberapa jam saja. Kamis pagi, Komisi III DPR sepakat untuk tidak memperpanjang jabatan Aswanto dan memberhentikannya dari posisi hakim konstitusi. Tak lama kemudian, Komisi III mengundang Guntur Hamzah dan menetapkannya sebagai pengganti Aswanto. Kamis siang, keputusan Komisi III mengganti Aswanto dengan Guntur disetujui dalam Rapat Paripurna DPR.
Baca juga : Mendadak, DPR Ganti Hakim MK Aswanto dengan Sekjen MK Guntur Hamzah
Meski mendapat kritik dari banyak pihak, termasuk sembilan mantan hakim konstitusi yang menyebut tindakan tersebut melanggar konstitusi dan UU MK, DPR bergeming. Mereka tetap mengirimkan surat persetujuan penggantian hakim MK itu kepada Presiden Joko Widodo untuk ditindaklanjuti dengan penerbitan keppres.

Para aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Aswanto dan Guntur sebenarnya kolega lama. Relasi keduanya bahkan telah terjalin jauh sebelum keduanya samasama mengabdi di MK. Mereka sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan dan sama-sama pernah mengabdi Universitas Hasanuddin (Unhas), Makkasar. Aswanto pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum Unhas (2010-2014), sedangkan Guntur tercatat sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Unhas.
Setelah pemberhentiannya disetujui Rapat Paripurna DPR, Aswanto tetap bekerja seperti biasa. Pada Kamis itu, Aswanto tengah membacakan putusan pengujian sejumlah undang-undang. Kebetulan saat itu MK menggelar sidang dengan agenda pembacaan putusan untuk 15 perkara.
Hanya saja, pada pekan berikutnya, tepatnya pada 4-6 Oktober 2022, saat MK mengelar Kongres Ke-5 MK sedunia (The World Conference on Constitutional Justice/WCCJ) di Bali, Aswanto tidak terlihat. Perhelatan internasional yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo itu diikuti oleh MK atau lembaga sejenis dari 95 negara.
Kami orang kecil hanya bekerja sesuai dengan kewenangan, tidak ada pretensi apa-apa. Dan kalau terjadi seperti sekarang, kami tidak bisa apa-apa hanya berdoa dan ikhlas, menyerahkan semuanya kepada yang Maha Kuasa. Sampai sekarang kami tidak ada info dan tetap melaksanakan tugas
Meski begitu, Aswanto tetap menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya. Pada Rabu (19/10), misalnya, Aswanto yang juga Wakil Ketua MK memimpin persidangan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan agenda mendengarkan keterangan pihak terkait, yaitu Majelis Ulama Indonesia dan sejumlah saksi. Ia menggantikan Ketua MK Anwar Usman yang berhalangan hadir karena melaksanakan tugas lain.
”Kami orang kecil hanya bekerja sesuai dengan kewenangan, tidak ada pretensi apa-apa. Dan kalau terjadi seperti sekarang, kami tidak bisa apa-apa hanya berdoa dan ikhlas, menyerahkan semuanya kepada yang Maha Kuasa. Sampai sekarang kami tidak ada info dan tetap melaksanakan tugas,” kata Aswanto saat dikonfirmasi mengenai apakah dirinya mendengar informasi lanjutan pasca- keputusan pemberhentian oleh DPR pada akhir September.
Bagaimana dengan Guntur Hamzah? Ia juga tetap menjalankan tugas kesehariannya sebagai Sekjen MK. Pada Rabu (19/10), Guntur menyerahkan arsip statis ke Arsip Nasional RI (ANRI). Ini merupakan penyerahan ke-22 arsip statis dari MK ke ANRI. Arsip yang diserahkan berupa 42 boks dokumen tekstual, tujuh video, dan 1 diska lepas (flash disk).

Guntur Hamzah (kiri) saat disahkan menjadi Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi saat Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang 1 Tahun Sidang 2022-2023 di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Kamis (29/8/2022).
Sebelumnya, mengacu pada laman resmi MK, Guntur juga menyaksikan penyerahan piala bergilir Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SKID) Award periode September pada 10 Oktober lalu. SKID Award merupakan ajang penilaian kinerja antarunit kerja di MK.
Situasi canggung
Aktivitas di MK memang berlangsung seperti biasa. Namun, apakah interaksi antara hakim dan Sekjen MK masih bisa berjalan seperti dahulu sebelum ada tindakan sepihak DPR mengganti Aswanto dengan Guntur? Jika ada situasi kecanggungan dan ketidakenakan, wajar saja hal tersebut terjadi.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, sebelum ada perubahan status berdasarkan undang-undang, maka sembilan hakim konstitusi yang ada sah dan konstitusional. Tak terkecuali Hakim Konstitusi Aswanto yang tetap aktif bekerja seperti biasa.
”Soal suasana internal nanti akan selesai dengan sendirinya. Alamiah saja. Kita dari luar, tidak bisa ikut campur. Presiden tidak boleh dan tidak mungkin menerbitkan keppres dengan alasan apa pun untuk memberhentikan satu hakim dan mengangkat yang baru,” kata Jimly.
Baca juga : Pemberhentian Aswanto Jadi Preseden Buruk
Sebelumnya, Jimly bersama delapan mantan hakim konstitusi lain, seperti Mahfud MD dan Hamdan Zoelva, menyatakan langkah DPR memberhentikan Aswanto dan mengangkat penggantinya melanggar konstitusi dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Pasal 23 Ayat (4) UU MK mengatur, pemberhentian hakim konstitusi hanya dapat dilakukan berdasarkan usulan Ketua MK.

Pelanggaran Pemilu Masih MarakKetua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie (kanan) didampingi anggota DKPP Saut Hamonangan Sirait memberikan keterangan pers di Media Center Gedung Bawaslu, Jakarta, Selasa (6/5/2014).
Ada dua pola pemberhentian hakim konstitusi, yaitu pemberhentian dengan hormat karena berakhir masa jabatannya atau memasuki usia pensiun dan pemberhentian dengan tidak hormat karena melanggar etik atau hukum.
Lanjutkan jabatan
Penggantian Aswanto bermula dari adanya surat Ketua MK tentang perubahan ketentuan masa jabatan hakim konstitusi sebagai dampak dari pemberlakuan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Sebelumnya dalam UU No 24/2003 diatur, masa jabatan hakim konstitusi adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya. Namun, di dalam UU MK terbaru (UU No 7/2020), jabatan hakim MK tidak lagi mengenal sistem periodisasi tetapi diganti dengan sistem pensiun dengan usia maksimal 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun. Ketentuan ini juga berlaku untuk hakim konstitusi yang tengah menjabat saat ini (Pasal 87 Huruf b).
Putusan MK terkait pengujian norma ini menyatakan tentang perlunya tindakan hukum berupa konfirmasi dari lembaga pengusul, yakni DPR, presiden, dan Mahkamah Agung (MA). Konfirmasi dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa jabatan hakim konstitusi tidak lagi berdasarkan periodisasi, melainkan usia dan lama mengabdi.
DPR kemudian merespons dengan memberhentikan Aswanto dan menunjuk Guntur sebagai pengganti. Sementara Ketua MA Muhammad Syariffudin memberikan respons berbeda. Melalui surat tanggal 14 Oktober 2022, MA menyetujui hakim MK yang diusulkan MA, yakni Anwar Usman, Suhartoyo dan Manahan MP Sitompul, melanjutkan jabatan mereka. Sementara Presiden sampai saat ini belum merespons surat konfirmasi dari MK tersebut.

Jika mengikuti logika DPR dan MA yang menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya, tiga hakim MK dari usulan pemerintah dalam posisi penuh ketidakpastian. Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Apakah pemerintah akan mengganti hakim konstitusi seperti yang diputuskan DPR atau mengikuti MA yang menyatakan ketiga hakim MK usulan MA dapat melanjutkan jabatannya?
Menurut Jimly, MA sebenarnya juga tidak berwenang untuk menyetujui ataupun tidak menyetujui tiga hakim konstitusi yang diusulkan MA melanjutkan jabatannya sesuai dengan ketentuan UU terbaru. Menurut dia, status surat Ketua MK tertanggal 21 Juli tersebut hanya basa-basi saja.
”(MA) sengaja untuk ikut bermain politik atau bisa juga karena tidak mengerti masalah. Sedih sekali jika seorang Ketua MA Republik Indonesia, negara demokrasi terbesar dunia ke-3 di dunia, tidak mengerti aturan konstitusi negaranya sendiri,” ujarnya.
Ditanya mengapa DPR dan MA memberikan respons berbeda dan kesalahan berjemaah dalam mengartikan surat Ketua MK, Jimly mengungkapkan, ”Kalau berjemaah, berarti ada komplotan terstruktur.”

Mahkamah Konstitusi menerima lebih dari 300 gugatan sengketa perselisihan hasil pemilhan umum pada Jumat (24/5/2019). Untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut, MK membentuk tiga panel hakim
Jimly menyarankan agar ”gonjang-ganjing” pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto itu dibahas dalam pertemuan konsultasi antara Ketua DPR, Ketua MA, dan Ketua MK. Pertemuan itu untuk memastikan tidak adanya keppres pengangkatan hakim konstitusi baru sampai ada kekosongan jabatan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku.
Asal-usul mengenai perlunya tindakan hukum berupa konfirmasi ke lembaga pengusul tersebut sebenarnya bermuara pada putusan MK nomor 96/PUU-XVIII/2022. Dalam pertimbangan hukum putusan 96/2020 halaman 130 disebutkan, Pasal 87 Huruf b harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan aturan baru agar dapat berlaku selaras dengan aturan lama.
”Bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada Lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing Lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung),” demikian bunyi putusan MK.
Hal yang menjadi persoalan adalah ketika konfirmasi yang seharusnya dimaknai sebagai pemberitahuan saja kemudian ditafsirkan berbeda oleh DPR dan MA. MK sebagai pihak yang membuat putusan tidak mengeluarkan reaksi apa pun. Hingga kini, belum ada pernyataan apa pun yang keluar dari MK atas pemberhentian sepihak Aswanto oleh DPR ataupun surat konfirmasi dari MA.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan empat perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/2/2019).
Bulan September lalu bisa jadi bukan bulan ”September ceria” buat Aswanto. Tak hanya untuknya seorang, pemberhentian Aswanto juga bisa menjadi awan gelap bagi negara demokrasi konstitusional di Indonesia. Sebab, kekuasaan kehakiman yang seharusnya merdeka ternyata bisa diintervensi oleh cabang kekuasaan lainnya.