Ahli Hukum: Putusan MK Tidak Dapat Ditafsirkan Sendiri
Putusan MK yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK masih mengundang keprihatinan. Demikian pula Juru Bicara MK yang memberikan pernyataan atas putusan itu dinilai mengambil posisi politik untuk menafsirkannya.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) menutup sidang putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5/2023). MK mengabulkan permohonan uji materi terkait perubahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun. Sebelumnya, gugatan tersebut diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sejak November 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konsitusi bahwa putusan MK atas uji materi masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu memiliki kekuatan mengikat sejak putusan selesai diucapkan itu dinilai tidak tepat. Sebab, menurut pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, putusan MK tidak dapat ditafsirkan sendiri.
”Juru Bicara MK juga semestinya tidak boleh memberikan tafsir atas nama MK karena hal itu melanggar etik,” ucap Bivitri, yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/5/2023).
Sebelumnya, MK mereformulasi ketentuan masa jabatan pimpinan KPK yang sebelumnya diatur di dalam Undang-Undang KPK selama empat tahun menjadi lima tahun. Masa jabatan pimpinan KPK tersebut disamakan dengan masa jabatan pimpinan lembaga nonkementerian lain yang memiliki constitutional importanceatau secara konstitusional penting. Pengaturan itu disampaikan dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang KPK, Kamis (25/5/2023), yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Sehari kemudian setelah putusan, Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso Fajar menyampaikan bahwa putusan MK langsung berlaku prospektif, memiliki kekuatan mengikat sejak putusan selesai diucapkan. Pertimbangan keberlakuan putusan juga ada di paragraf [3.17] halaman 11 yang intinya MK memutus perkara tersebut agar putusan MK memberikan kepastian dan kemanfaatan berkeadilan khususnya bagi pemohon (Nurul Ghufron) dan keseluruhan pimpinan MK saat ini.
Dengan demikian, kata Fajar, masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang selama satu tahun ke depan hingga genap menjadi lima tahun masa jabatannya atau sesuai dengan putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. (Kompas.id, 27/5/2023).
Atas pernyataan itu, Bivitri menilai, Juru Bicara MK mengambil posisi politik. ”Dia langsung mengambil posisi politik untuk menafsirkannya supaya berlaku sekarang sehingga panitia seleksi calon pimpinan KPK tidak perlu dibentuk karena bertambah setahun. Menurut saya, tafsir itu keliru. Dia tidak berhak memberikan tafsir seperti itu mengatasnamakan MK,” ucapnya.
Akademisi hukum tata negara Zainal Arifin Muchtar memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang Pengujian Formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Dihubungi terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, Sabtu (27/5/2023), mengatakan, Indonesia memiliki permasalahan ganda karena tidak hanya legislasi yang buruk, tetapi kualitas hakim juga buruk. Dalam hal ini, Zainal menilai putusan MK atas uji materi masa jabatan pimpinan KPK itu menerabas kewenangan lembaga lain.
Saat menyampaikan pertimbangannya, MK pun menyadari bahwa pengaturan masa jabatan pimpinan KPK sebenarnya merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang. ”Akan tetapi, prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang, atau dilakukan secara sewenang-wenang, dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan/atau bertentangan dengan UUD 1945,” kata hakim konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan.
Zainal mengatakan, MK semestinya tidak boleh judicial activism, sering-sering menerabas kewenangan lembaga lain. ”MK tidak boleh judicial activism, sering-sering menerabas kewenangan lembaga lain, namun di sisi lain kualitas legislasi yang buruk membuat MK juga harus bisa menerabas undang-undang. Ketika masyarakat berharap MK dapat menerabas undang-undang, MK-nya sendiri juga bermasalah, itu gamang,” ujar Zainal.
Zainal menyebutkan, MK dapat menerapkan perangkat atau prinsip open legal policy (kebijakan hukum yang terbuka) dalam pengujian sebuah norma undang-undang. Suatu hal dinyatakan sebagai open legal policy menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Jika MK ingin menerabas dengan memasuki ranah tersebut, harus ada konteks atau alasan luar biasa untuk kepentingan-kepentingan luar bisa.
Persoalannya, saat ini, kata Zainal, kemampuan MK untuk memproteksi diri dari kepentingan politik lemah. Akhirnya putusan yang dibuat oleh MK bukan putusan hukum, tetapi putusan politik termasuk putusan masa jabatan pimpinan KPK. ”Kalau MK konsisten harusnya tidak disetujui,” ujarnya.
Zainal mencontohkan masa jabatan kepala daerah yang diperpendek akibat pemilu serentak. Ada kepala daerah yang seharusnya memimpin selama lima tahun, tetapi karena pilkada serentak beberapa dipangkas tidak sampai lima tahun. ”MK tidak mengabulkan itu dan menganggap itu sebagai open legal policy pembentuk UU yang menentukan. Tetapi, saat putusan KPK, MK berkata sebaliknya. Putusan tersebut tidak diambil dari logika lurus secara hukum sehingga tidak masuk akal. Ini terjadi karena berada pada ranah politisnya MK,” ucapnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) membacakan putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5/2023). MK mengabulkan permohonan uji materi terkait perubahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun. Sebelumnya, gugatan tersebut diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sejak November 2022.
Judicial activism, lanjut Zainal, seharusnya menjadi senjata pamungkas yang bisa digunakan oleh MK di luar kewenangannya hanya dalam kondisi tertentu, syarat dan ketentuan berlaku. Namun, kali Ini tidak, MK menggunakan seenaknya. Kasus yang diharapkan dapat MK gunakan malah tidak digunakan dan sebaliknya.
”Kewenangan judicial activism harus tetap dipertahankan, apalagi di tengah kondisi pembentuk UU yang buruk. Peran hakim penting, tapi dengan model hakim seperti saat ini bahaya. Kualitas hakim konstitusi harus diperbaiki,” imbuhnya.
MK harus konsisten
Deputi Direktur Bidang Organisasi Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengutarakan, MK jelas masuk ke ranah open legal policy yang selama ini mereka yakini sebagai ranah dari pembentuk UU. Menurut Charles, MK perlu konsisten terhadap putusan-putusannya sehingga MK dapat menjaga marwah dan kepercayaan publik. Terkait hakim yang mudah diintervensi, Charles menilai perlu ada pembuktian, karena jika putusan hakim tidak konsisten, patut diduga ada yang ikut memengaruhi.
”MK harus konsisten dengan putusan sebelumnya untuk menghindari prasangka bahwa MK telah diintervensi atau memutus tidak atas dasar independensi hakim,” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Dian Kus Pratiwi menyatakan, MK kurang memperhatikan implikasi putusan 112/PUU-XX/2022 secara komprehensif berkaitan dengan perubahan masa jabatan pimpinan KPK yang merupakan lembaga negara independen terhadap penyelenggaraan negara. MK dinilai terlalu jauh masuk ke ranah legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan masa jabatan pimpinan lembaga negara independen.
”Seharusnya putusan MK tidak dapat berlaku untuk pimpinan KPK pada periode saat ini karena lekat dengan pemberlakuan asas non-retroaktif yang mana hukum tidak dapat berlaku surut. Karena itu, pemberlakukan putusan MK dapat dilaksanakan pada periode selanjutnya saat masa periode ini berakhir. Di samping itu, pemberlakuan perpanjangan masa jabatan KPK ke depan guna menjaga MK dari pandangan masyarakat terhadap dugaan adanya kepentingan politis dengan pimpinan KPK saat ini,” kata Dian dalam keterangannya.
Saat ini indeks korupsi di Indonesia masih sangat tinggi, Dian menyebutkan, pemberantasan korupsi di Indonesia sangat bermasalah. Keberadaan pimpinan dalam suatu lembaga akan memengaruhi penyelenggaraan kewenangan lembaga tersebut. Pimpinan KPK saat ini mempunyai beberapa permasalahan mengenai dugaan pelanggaran kode etik. ”Apabila dilihat dari rekam jejak pimpinan KPK saat ini, tidak seharusnya dapat perpanjangan masa jabatan untuk periode sekarang,” ucapnya.