MK Ubah Masa Jabatan Pimpinan KPK dari 4 Tahun Menjadi 5 Tahun
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU KPK yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Namun, putusan ini juga diwarnai ”dissenting opinion” dan ”concurring opinion”.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Suasana sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (25/5/2023). MK mengabulkan permohonan uji materi terkait perubahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mereformulasi ketentuan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang sebelumnya diatur di dalam Undang-Undang KPK selama empat tahun menjadi lima tahun. Masa jabatan pimpinan KPK tersebut disamakan dengan masa jabatan pimpinan lembaga nonkementerian lain yang memiliki constitutional importance atau secara konstitusional penting.
Pengaturan itu disampaikan dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang KPK yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Jakarta, Kamis (25/5/2023). Ghufron menyoal Pasal 29 Huruf e yang mengatur tentang syarat minimal menjadi pimpinan KPK, yaitu 50 tahun, dan Pasal 34 yang mengatur masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun. Terkait dengan usia minimal untuk mengikuti proses seleksi pimpinan KPK, pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) mengubahnya saat revisi UU KPK tahun 2019. Semula usia minimal calon pimpinan KPK 40 tahun.
Mahkamah Konstitusi menyampaikan, pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan lembaga lain dinilai diskriminatif, melanggar prinsip keadilan, serta tidak memiliki penalaran yang wajar. Pengaturan semacam itu telah melanggar Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Oleh karena masa jabatan pimpinan KPK berubah, MK juga menyesuaikan masa jabatan Dewan Pengawas KPK yang sebelumnya juga empat tahun menjadi lima tahun atau mengikuti formulasi baru masa jabatan pimpinan KPK.
Akan tetapi, putusan tersebut tidak bulat. Dari sembilan hakim konstitusi, putusan tersebut hanya diamini oleh lima hakim konstitusi. Mereka adalah Ketua MK Anwar Usman, hakim konstitusi Arief Hidayat, Daniel P Yusmic, Manahan Sitompul, dan Guntur Hamzah. Sementara empat di antaranya mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Mereka adalah Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
Dalam pertimbangannya, MK membandingkan masa jabatan pimpinan KPK dengan 12 lembaga nonkementerian lain, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial, Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Otoritas Jasa Keuangan, Komisi Aparatur Sipil Negara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Semua lembaga tersebut memiliki masa jabatan lima tahun.
Oleh karena itu, Mahkamah berpandangan, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Peserta sidang menyimak pembacaan putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (25/5/2023). MK mengabulkan permohonan uji materi terkait perubahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun.
MK menyadari bahwa pengaturan masa jabatan pimpinan KPK sebenarnya merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang. ”Akan tetapi, prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang, atau dilakukan secara sewenang-wenang, dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan/atau bertentangan dengan UUD 1945,” kata hakim konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan.
Berdasarkan hal-hal di atas, MK tidak dapat menyerahkan penentuan masa jabatan pimpinan KPK kepada pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, penentuan masa jabatan pimpinan KPK sangat tampak adanya perlakuan yang tidak adil (injustice) yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice principle).
Oleh karena itu, MK menilai masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yaitu lima tahun, sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
”Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal lebih kurang enam bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara aquo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan,” kata Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Hakim konstitusi M Guntur Hamzah (kiri) membacakan putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Selain ada ketidakadilan, reformulasi masa jabatan pimpinan KPK juga dilakukan karena MK ingin melindungi independensi KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pengaturan masa jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih satu kali masa jabatan telah menyebabkan dalam satu periode masa jabatan presiden dan DPR (lima tahun 2019-2024) dapat melakukan penilaian terhadap lembaga KPK dua kali. Penilaian yang dimaksud adalah ketika melakukan proses seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK.
”Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK karena dengan kewenangan presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak dua kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya berpotensi tidak saja memengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat.
Pendapat berbeda
Empat hakim konstitusi (Suhartoyo, Saldi, Wahiduddin Adams, dan Enny) tidak sependapat jika masa jabatan pimpinan KPK diubah menjadi lima tahun. Keempat hakim setuju bahwa meski tidak diatur dalam konstitusi, KPK dipandang penting secara konstitusional (constitutional importance), khususnya dalam memberantas korupsi.
Namun, mereka menolak permohonan Ghufron untuk mengubah masa jabatan pimpinan KPK. Sebab, Ghufron tidak memberikan argumentasi tentang keterkaitan masa jabatan pimpinan KPK dalam konteks kelembagaan KPK. Ghufron hanya menyebutkan bahwa perbedaan masa jabatan pimpinan KPK dengan 12 lembaga nonkementerian yang masa jabatannya lima tahun itu telah memunculkan anggapan bahwa KPK berkedudukan lebih rendah dengan lembaga yang dimaksud. Padahal, menurut empat hakim MK, hal tersebut hanya asumsi belaka karena tidak ditopang oleh bukti-bukti yang cukup dan meyakinkan.
”Padahal, karakteristik independensi kelembagaan KPK tetap dijamin tanpa ada keterkaitannya dengan masa jabatan pimpinan,” kata Enny Nurbaningsih saat membacakan dissenting opinion.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) berbicara dalam sidang putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Keempat hakim konstitusi kemudian menunjukkan bahwa pengaturan masa jabatan lembaga nonkementerian memang tidak seragam. Misalnya, anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan empat tahun, kemudian Komisi Penyiaran Indonesia, baik pusat maupun daerah, hanya tiga tahun. Masa jabatan mereka berbeda dengan masa jabatan pimpinan Ombudsman atau Komnas HAM yang lima tahun.
Ketidakseragaman masa jabatan komisi negara di Indonesia tidak dapat begitu saja ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta menimbulkan keraguan atas posisi dan indendensi KPK secara struktur ketatanegaraan Indonesia. Argumentasi perubahan periodisasi masa jabatan selayaknya dikaitkan dengan desain kelembagaan.
Para hakim konstitusi yang tidak sependapat dengan reformulasi masa jabatan pimpinan KPK tersebut juga mengingatkan, jika permohonan Ghufron dikabulkan, hal itu dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari. ”Dalam kondisi demikian, Mahkamah akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang,” kata Enny Nurbaningsih.
Batas usia minimal
Selain mengubah masa jabatan pimpinan KPK, MK juga menyatakan ketentuan Pasal 29 Huruf e UU No 19/2019 (UU KPK) yang mengubah batas minimal usia pimpinan KPK 40 tahun menjadi paling rendah 50 tahun telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta memberikan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap pimpinan KPK saat ini.
Menurut MK, dalam seleksi pimpinan KPK, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat formal (syarat administrasi) dan syarat substansi seperti pendidikan dan pengalaman kerja. MK berpandangan, persyaratan pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial dibandingkan dengan batasan usia yang bersifat formal semata.
Seseorang yang memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK. Sebab, ia telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga, serta target kerja yang ingin dicapai. Oleh karena itu, MK berpendapat, pimpinan KPK dapat mencalonkan diri kembali sebagai calon pimpinan KPK periode berikutnya meskipun belum berusia 50 tahun dengan catatan memenuhi persyaratan lainnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron (tengah) didampingi Pelaksana Tugas Deputi Penindakan Asep Guntur (kiri) dan Juru Bicara KPK Ali Fikri menggelar ekspose tersangka kasus suap di Kantor KPK, Jakarta, Minggu (16/4/2023) dini hari.
MK menyatakan, Pasal 29 Huruf e UU KPK harus dimaknai calon pimpinan KPK harus berusia paling rendah 50 tahun atau sudah berpengalaman sebagai pimpinan KPK. Dalam putusan terkait pasal ini, hakim konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (concurring opinion).