Revisi Aturan Keterwakilan Perempuan Jadi Ujian Kemandirian KPU
Demokrasi yang tidak melibatkan perempuan pasti akan defisit dan berpotensi melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan masyarakat.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemandirian Komisi Pemilihan Umum saat ini tengah diuji. Pengaturan mengenai afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan di dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang sebelumnya sudah diputuskan lembaga penyelenggara pemilu tersebut untuk direvisi tetapi kemudian rencana revisi ditolak Komisi II DPR, menjadi batu ujinya.
KPU diharapkan lulus dari ujian kemandirian tersebut dan segera merevisi Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 agar sejalan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Pemilu sudah secara tegas memerintahkan bahwa daftar calon anggota legislatif memuat paling sedikit 30 persen perempuan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”KPU harus konsisten melaksanakan apa yang diperintahkan konstitusi Pasal 22E UUD 1945 bahwa pemilu dilaksanakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang mandiri. Ini independensi KPU sekarang diuji. KPU harus lulus ujian, jangan sampai tidak lulus,” kata Valina Singka Subekti, akademisi yang juga mantan anggota KPU, dalam konferensi pers yang digelar Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, Minggu (21/5/2023).
Hadir dalam konferensi pers tersebut, para pegiat dan pemerhati pemilu seperti Ramlan Surbakti, Endang Sulastri, Lena Maryana, Hadar N Gumay, Feri Amsari, dan lainnya. Pada kesempatan tersebut, Valina mengajak seluruh masyarakat sipil untuk mengawal dan mendorong agar KPU percaya diri untuk tetap merevisi PKPU No 10/2023 sesuai dengan harapan masyarakat.
Seperti diketahui, KPU sudah mengusulkan revisi terhadap Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 yang intinya jika dalam penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di tiap dapil menghasilkan pecahan, dilakukan pembulatan ke atas. Revisi ini diajukan setelah ada protes dari masyarakat sipil terhadap pengaturan PKPU yang menyebutkan jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Pengaturan semacam ini dinilai merugikan karena berpotensi mengurangi keterwakilan perempuan di parlemen nantinya. Namun, usulan revisi tersebut ditolak oleh Komisi II DPR.
Valina Singka Subekti mengatakan, pengaturan tentang keterwakilan perempuan di dalam PKPU No 10/2023 merupakan sebuah kemunduran. KPU sebaiknya memperbaiki PKPU tersebut sesuai dengan yang dijanjikan dalam konferensi pers bersama Bawaslu dan DKPP sebelumnya meskipun Komisi II DPR meminta KPU untuk tetap melaksanakan PKPU yang sudah ada.
Senada dengan Valina, Hadar N Gumay juga berharap agar KPU lulus dari ujian kemandirian tersebut.
”KPU harus lulus, Bawaslu harus lulus, dan DKPP harus lulus. Kalau tidak, mereka menghancurkan pemilu ini,” tegas Hadar.
Perlu dasar yang jelas
Akademisi yang juga Ketua KPU periode 2004-2007, Ramlan Surbakti, mengungkapkan, KPU perlu menjelaskan alasan dilakukannya perubahan aturan terkait 30 persen keterwakilan perempuan di dalam PKPU No 10/2023. Menurut dia, sebuah perubahan kebijakan harus dilakukan atas dasar yang kuat seperti evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu sebelumnya. Perubahan kebijakan atas dasar evaluasi yang benar biasanya dilakukan oleh lembaga profesional.
”Kalau KPU lembaga yang profesional, untuk mengubah satu kebijakan harus ada dasar yang kuat. Karena suatu kebijakan yang sudah dilakukan dan undang-undangnya tidak berubah, mengapa peraturan pelaksananya kok diubah? Atas dasar apa?” kata Ramlan.
Menurut dia, KPU perlu menyampaikan alasan perubahan tersebut tidak hanya kepada partai politik, tetapi juga kepada masyarakat dan kalangan perempuan. Hal tersebut penting agar tidak berkembang anggapan bahwa perubahan tersebut dilakukan atas dasar pesanan.
Lena Maryana Mukti, Duta Besar RI untuk Kuwait yang pernah menjabat Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan yang juga hadir dalam konferensi pers, mengatakan, afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan bukanlah beban. Sebab, pada kenyataannya, perempuan yang berada di kepengurusan partai turut bekerja keras dalam membangun, membesarkan, dan menjalankan roda organisasi partai politik.
Di PPP, menurut Lena, bukan sekadar ada 30 persen perempuan di struktur partai, melainkan mereka juga ada di struktur harian partai. Dengan demikian, para perempuan tersebut juga turut di dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan-kebijakan yang digariskan partai. ”Kita juga tahu bahwa perempuanlah yang memberikan suara secara setia kepada partai politik dan caleg,” katanya.
Baginya, demokrasi yang tidak melibatkan perempuan pasti akan defisit dan berpotensi melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan masyarakat. Sebab, kebijakan yang merugikan perempuan sudah pasti bakal merugikan masyarakat. Untuk itu, ia mengimbau agar partai politik tidak menjadikan kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan menjadi sebuah beban.
Dalam kesempatan tersebut, Hadar N Gumay menyimpulkan, penyelenggara pemilu saat ini memang bermasalah. Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah cara untuk menata kembali agar pemilu yang tinggal 267 hari dapat berjalan baik dan berkualitas. Ia menduga, ada problem besar yang sebenarnya ingin dilindungi.
”Kita harus cari jalan untuk mengoreksinya. Kalau memang (penyelenggara pemilu) harus diganti, diganti. Ini supaya kita bisa berharap tahapan yang tersisa bisa dilaksanakan secara jujur, profesional, dan dengan integritas tinggi,” ujar Hadar.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, ada niat yang tidak benar dari KPU saat membuat regulasi keterwakilan perempuan dalam PKPU No 10/2023. Sebab, para anggota KPU bukannya tidak mengetahui aturan keterwakilan perempuan di dalam UU Pemilu.
”Dari awal saya sudah mendeteksi bahwa ini tidak akan berujung baik. Beberapa senior sudah menyebutkan bahwa tidak ingin menjalankan ketentuan UUD dan UU. Oleh karena itu, motifnya sudah jahat, berniat melakukan hal-hal tertentu yang merusak kepemiluan kita,” kata Feri.
Untuk itu, ia menyarankan agar masyarakat sipil membawa persoalan ini ke ranah hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mempersoalkan regulasi yang ada dan mengajukan ke DKPP untuk mempersoalkan para penyelenggara pemilu.
”KPU, Bawaslu, dan DKPP laporkan ke DKPP karena sudah melakukan tindakan pembohongan publik sehingga perlu disidangkan. Jadi, kita sidangkan DKPP ke DKPP. Ini memang problematis. Dulu kita bertanya siapa yang mengawasi pengawas. Namun, sekali lagi, ini bukan menang kalah, melainkan untuk membuktikan ke publik bahwa kita mengetahui apa yang mereka lakukan,” kata Feri.