Perempuan mampu menyumbang kursi DPR/DPRD bagi partai. Kehadirannya di legislatif mampu melahirkan regulasi yang berpihak kepada perempuan.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·3 menit baca
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengirim somasi kepada Komisi Pemilihan Umum, Jumat (19/5/2023). Isinya meminta KPU segera mengubah Pasal 8 Ayat 2a Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Somasi dikirimkan karena KPU belum merevisi pasal itu sesuai pernyataan KPU dalam jumpa pers bersama Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Rabu (10/5).
Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, Rabu (17/5), fraksi-fraksi di Komisi II meminta Peraturan KPU (PKPU) No 10/2023 tetap dilaksanakan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pembahasan mengenai isi PKPU No 10/2023, khususnya Pasal 8, berlangsung singkat. Juru bicara dari sembilan fraksi menyatakan, PKPU selaras dengan Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu. Rapat dengar pendapat ini menjadi medium konsultasi KPU dengan Komisi II DPR meski undang-undang menyatakan KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah lembaga mandiri.
KPU berkonsultasi dengan Komisi II setelah ada tuntutan dari politisi perempuan, Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), dan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) untuk merevisi Pasal 8 Ayat 2a PKPU tersebut, Rabu (10/5).
Tuntutan muncul karena dalam simulasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, PKPU itu akan berdampak pada jumlah keterwakilan 30 persen perempuan di 38 daerah pemilihan jika semua parpol mendaftarkan bakal calegnya penuh mengikuti kursi yang tersedia.
Situasi ini dapat terjadi karena Pasal 8 Ayat 2 PKPU Nomor 10/2023 mengatur: dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh) hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah atau 50 (lima puluh) atau lebih hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas (Kompas, 9/5/2023).
Mengabaikan UU
Dalam rapat dengar pendapat, KPU menyebutkan jumlah bakal caleg perempuan sudah di atas 30 persen. Tidak ditanyakan oleh anggota Komisi II dan tidak dirinci lebih jauh oleh Ketua KPU sebaran perempuan bakal caleg itu. UU Pemilu mengharuskan jumlah keterwakilan 30 persen untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Rapat lalu menyimpulkan PKPU itu tak melanggar UU Pemilu karena jumlah 30 persen terlampaui. Komisi II mengabaikan fakta isi PKPU No 10/2023 melanggar UU Pemilu sehingga seharusnya diperbaiki.
Alasan lain yang dikemukakan fraksi bermacam-macam. Umumnya berpendapat, tahapan pemilu, yaitu pendaftaran bakal caleg ke KPU, sudah berjalan. Ada pula wakil fraksi yang menyatakan sulit mencari bakal caleg perempuan.
Adanya PKPU itu menyelamatkan partai dari sanksi jika tidak dapat memenuhi ketentuan 30 persen wakil perempuan. Di sisi lain, hak politik normatif perempuan tidak dipenuhi seperti dalam ketentuan UU Pemilu.
Berdampak luas
Sikap Komisi II DPR yang menggampangkan penyelesaian tuntutan perbaikan PKPU dapat berdampak panjang.
Jika KPU memenuhi permintaan Komisi II dan Bawaslu serta DKPP tidak menjalankan tugas pengawasan kepada KPU, kesadaran akan pentingnya keterwakilan perempuan masih jauh dari yang diidealkan.
Ketua KPPRI Diah Pitaloka dalam silaturahmi perempuan bakal caleg, anggota dan pimpinan parpol, dan MPKP di kediaman anggota Dewan Perwakilan Daerah, GKR Hemas, di Jakarta, Senin (15/5) malam, memberi catatan.
Dalam Pemilu 2019, dari 30 persen perempuan yang dicalonkan, ada 21 persen yang lolos ke DPR. Hal ini menunjukkan, perempuan ketika diberi kesempatan dapat berkontribusi bagi raihan kursi partai. Tidak hanya itu, dengan jumlah 21 persen perempuan di DPR telah menghasilkan UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebelumnya lahir UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No 44/2008 tentang Pornografi. Semua undang-undang itu melindungi masyarakat, tetapi terutama perempuan sebagai korban terbesar.
Banyak penelitian membuktikan, negara yang mengabaikan perempuan mengalami masalah peningkatan kesejahteraan. Penelitian terbaru oleh tiga guru besar, yaitu Valerie Hudson dari Texas A&M University serta Donna Lee Brown dan P Lynne Nielsen dari Brigham Young University, di 176 negara menemukan, negara yang mengabaikan peran dan hak-hak kesetaraan perempuan menjadi lebih tidak stabil dan rentan kekerasan.
Valerie dkk dalam buku The First Political Order: How Sex Shapes Governance and National Security Worldwide (2020) menunjukkan, negara yang menjalani praktik sindroma patrilineal/fraternal berkemungkinan 3,5 kali memiliki pemerintahan otokratik, tidak efektif, dan lebih korup. Sindroma ini merupakan paduan, antara lain, perlakuan tidak setara dalam norma dan praktik terhadap perempuan dalam hukum keluarga dan hak atas properti, pernikahan usia dini anak perempuan, lebih memilih anak laki-laki, dan kekerasan terhadap perempuan.
Ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah diinternalisasi anak-anak dan anggota keluarga. Mereka membawa perilaku itu ke masyarakat. Mengubah budaya memerlukan waktu panjang. Perundang-undangan dapat mempercepat perubahan. Karena itu, penting memberi perempuan tempat di dalam lembaga pengambilan keputusan. Menjadi kewajiban negara, dalam hal ini KPU, Bawaslu, DKPP, dan parpol, mempermudah perempuan menjadi anggota legislatif.